Delapan

5.6K 370 5
                                    

Aiden menatap datar pada jarum suntik di depannya. Lebih tepatnya yang di sodorkan oleh Tomi ke arahnya.

Tanpa ragu Aiden pun menerima uluran jarum suntik itu dari tangan Tomi. Tapi sebelum Aiden menariknya, Tomi lebih dulu menekan lengannya. Menahan lengan Aiden agar tidak menjauh.

"Anda yakin akan menggunakan ini, lagi?" Ragu-ragu Tomi mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

Aiden mendongak, menatap Tomi yang kini berdiri di depannya. Tanpa ragu dia pun mengangguk.

"Kamu tau kan, aku tidak bisa mundur lagi?"

"Masih ada cara lain, tuan." Sela Tomi terdengar tak terima dengan jawaban Aiden. "Anda tidak perlu menggunakan obat sialan itu lagi, anda bisa ketergantungan jika terus menggunakan obat itu?"

"Dan bermimpi buruk lagi?" Tanya Aiden terdengar tidak percaya.

"Tidak." Geleng Aiden tegas. "Lebih baik aku terus menggunakan ini dari pada terus-terusan hidup dalam kegelapan. Dan melihat mereka meninggalkanku satu per satu."

Tomi tau masalah bosnya. Tapi dia juga tidak bisa membiarkan bosnya itu hidup dalam keadaan seperti ini terus-menerus.

"Apa bedanya dengan anda menggunakan ini, tuan? Anda juga bisa berakhir lebih mengerikan jika tuan Rick mengetahuinya."

"Itu artinya kamu harus tutup mulut, Tomi!" Balas Aiden penuh penekanan. "Jangan biarkan orang-orang Daddy mengetahui apa yang kita lakukan saat ini. Jika mereka tau, dan semua ini sampai di telinga Daddy. Bukan hanya aku yang akan terkena masalah, Tomi. Tapi juga kamu!" Ancam Aiden terdengar tidak main-main. Dan sayangnya semua itu tidak pernah salah. Sejauh itu lah Tomi mengetahui semua itu. Bagaimana mengerikannya ayah bosnya itu jika mengamuk.

Tomi menggeram, namun tangannya tetap melepaskan lengan Aiden. Membiarkan Aiden menyuntikkan obat dalam jarum ke dalam tubuhnya. Hingga berangsur-angsur dia pun memejamkan matanya.

Ada perasaan tenang ketika obat itu masuk ke dalam tubuhnya. Aiden lebih bisa mengendalikan dirinya, juga emosinya.

"Saya rasa, saran tuan Rick tentang menemui psikiater tidak ada salahnya di coba, tuan. Mungkin anda bisa benar-benar sembuh tanpa membohongi semua orang."

Aiden tetap memejamkan kedua matanya. Enggan membuka mata, atau sekedar menyahut ucapan Tomi.

"Saya rasa, lambat laun tuan Rick akan curiga dengan sikap anda yang tiba-tiba berubah tenang seperti ini. Apalagi kebohongan kita ini menyeret nyonya Kiara."

Mendengar nama Kiara di sebut, Aiden pun membuka kedua matanya. Sorotnya berubah tajam detik itu juga. Jelas dia tersinggung dengan kata-kata sekertarisnya.

"Daddy tidak akan curiga jika diantara kita tidak ada yang membuka mulut, Tomi."

"Tapi ini terlalu tiba-tiba, tuan?"

"Tidak ada yang tiba-tiba, semua berjalan sesuai rencana kita. Dan sejauh ini tidak ada yang mengetahuinya, kan?"

"Tuan--"

"Kembalilah bersama Daddy besok, Tomi. Ikuti semua kata-kata Daddy, jangan membuatnya curiga sedikit pun." Tomi menggeleng tegas. Menolak perintah Aiden.

Bagaimana dia bisa meninggalkan Aiden di resort ini hanya berdua dengan Kiara? Dia bahkan tidak yakin jika Aiden akan terus bersikap tenang tanpa obat itu.

Dan sejauh ini, hanya Tomi yang bisa mendapatkan obat itu tanpa mendapatkan curiga sedikit pun dari orang-orang Rick.

"Turuti semua keinginan Daddy, buat seolah-olah aku akan baik-baik saja tanpa kamu dan Daddy. Aku akan membuktikan pada Daddy jika aku akan baik-baik saja bersama Kiara di sini."

"Saya tidak mau ambil resiko, tuan. Apalagi di kota ini ada nona Kathy. Dia bisa kapan saja muncul di depan anda. Dan jika anda tidak dalam pengaruh obat, saya tidak bisa jamin apa yang akan terjadi pada anda juga orang-orang di sekeliling anda."

"Kamu tidak perlu khawatir, aku bisa mengurusnya!" Sela Aiden cepat. "Lagipula, aku sudah memperingatkannya untuk tidak pernah muncul di hadapan ku."

"Lalu bagaimana dengan tempo hari, ketika dia tiba-tiba berada di depan anda? Anda masih tidak bisa memprediksi keadaan, kan?" Aiden mendengus, memijit pelipisnya yang terasa berdenyut keras.

Dengan kedua siku bertumpu di atas meja, Aiden pun memijit pelipisnya kuat-kuat. Guna mereda rasa nyeri di kepalanya.

"Kita belum bisa menjamin keadaan, tuan. Lebih baik kita kembali  bersama. Atau jika tidak, saya akan tetap berada di sini dengan anda." Aiden menatap Tomi protes. Tidak setuju dengan ide yang dia sodorkan.

"Tidak ada pilihan, tuan. Jika anda kehilangan kontrol, kita akan ketahuan oleh tuan Rick. Dan bisa di pastikan detik itu juga kita akan tamat. Atau lebih parahnya, tuan Rick bisa mengirim kita ke LA."

"Kau mengancam ku?" Sentak Aiden terdengar marah. Kedua matanya sudah berkilat penuh emosi.

Tanpa ragu Tomi pun menggeleng. "Saya hanya mengingatkan, tuan. Kita tidak bisa gegabah, ada banyak kemungkinan yang terjadi jika kita sedikit saja lengah."

"Sialan." Maki Aiden kesal.

Setiap berdebat dengan Tomi, dia selalu kalah. Apapun yang di katakan Tomi selalu benar. Dan sayangnya dia tidak akan bisa protes kali ini. Itu pun jika dia tidak ingin ayahnya mengetahui kebohongan nya.

Sembuh dalam waktu beberapa hari, dan kesembuhan itu hanya karena satu wanita adalah hal yang tidak masuk akal sebenarnya. Itu pun jika saja ayahnya peka dengan kondisinya.

Tapi beberapa hari ini, ayahnya tidak mengetahui itu. Yang artinya ayahnya mempercayai kebohongannya.

"Aku sudah berjanji pada Kiara untuk tetap tinggal beberapa hari." Tiba-tiba Aiden mengatakan kegusarannya.

Tidak mungkin dia kembali lebih cepat dari waktu yang telah di tentukan. Rencananya bisa gagal total jika saja semua itu terjadi.

"Jika begitu saya akan tetap tinggal." Balas Tomi kalem. Tidak peduli jika saat ini Aiden menatapnya penuh dendam.

"Kamu taukan jika Daddy membutuhkan mu untuk masalah kasus itu?" Aiden mencoba peruntungannya. Berharap Tomi akan berubah pikiran, dan mengikuti ayahnya untuk kembali.

"Tuan Rick pasti tidak akan keberatan jika saja saya tetap tinggal di sini untuk menjaga anda. Terutama ada nona Kathy. Dan saya yakin nyonya Anne pasti sependapat dengan saya."

"Tomi sialan." Teriak Aiden menggelegar. Penuh kebencian bercampur kesal. Tanganya bahkan sampai menggebrak meja untuk melampiaskan rasa kesalnya.

Asistennya itu, sama sekali tidak bisa di ajak kompromi. Dia malah semakin gencar melemparkan ancamannya. Hingga membawa-bawa kedua orang tuanya lagi.

"Baiklah. Kita kembali besok." Lanjut Aiden, masih dengan suara lantangnya.

Yang langsung di angguk-ki patuh oleh Tomi. Tidak lupa dia pun mengukir senyum tipis dibibirnya. Senyum yang menurut Aiden sangat memuakkan di matanya.

"Terima kasih, tuan. Dengan senang hati, saya akan mempersiapkan segalanya." Sebelum undur diri, Tomi menyempatkan menunduk sopan. Yang di balas dengusan penuh kekesalan oleh Aiden.

Asistennya itu sama sekali tidak merasa bersalah sedikitpun. Dia malah dengan santainya akan mempersiapkan segalanya. Geram Aiden dalam hati.

Marriage Proposal(SELESAI); Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang