11 - Soal Cinta Sejati

39 12 0
                                    

🌺🌺🌺🌺🌺

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌺🌺🌺🌺🌺

Aku menghela napas panjang dengan senyum mengembang setelah melihat persentase jumlah pembaca, dan data-data lainnya setelah chapter baru di publish. Kalau begini terus, naskah yang sedang aku kerjakan ini berpotensi naik cetak setelah tamat.

"Ada yang mau kopi? Aku mau turun ke bawah," ucapku selesai mengembalikan laman web bacaan novel online perusahaan.

Beberapa orang mengangkat tangannya, Mona, Faiz, Vivi, dan Raka memang tidak pernah absen ketika aku mengajukan pertanyaan tadi. Aku mengangguk kecil setelah mengunci layar laptop.

"Pahit ya Lili," ucap Vivi yang selalu mengeluh mengantuk ketika bekerja, namun ketika malam datang dia terjaga sampai pagi datang.

"Siap, yang lain seperti biasa, kan?"

"Iya Lili, makasih banyak, saranghae buat lo!" Seru Mona, membuat aku menggeleng pelan.

"No, thank's!" ucapku seraya mengambil dompet kecil yang selalu menemaniku pergi ke kafe lantai bawah perusahaan.

Dadaku berdebar tiba-tiba setiap kali mengingat ucapan Ares yang terdengar sungguh malam itu, saat malam berhujan. Waktu di mana Calix menemuinya hendak pergi bekerja san dinner di sore hari itu sudah terjadi sepekan yang lalu. Sejak malam itu, sebenarnya kepalaku berisik sampai matahari bersinar. Aku tertidur, namun tidak sepenuhnya terlelap.

Berjalan lurus melewati lift yang baru saja terbuka, aku menghela napas panjang. Kakinya kemudian melangkah pergi, menuju pintu tangga darurat. Aku benci Tempat kecil seperti itu, ia pikir rasanya menyesakkan sampai tidak ada celah untuk bernapas.

Menuruni anak tangga dengan hati-hati, aku mengencangkan volume musik—seorang teman yang selalu menemani ke mana pun aku melangkah. Aku bahkan mengaktifkan mode jangan ganggu ketika sedang sibuk mendengarkan alunan musik kesukaanku.

"Oy, Lili!" panggil seorang lelaki tidak membuat langkahku terhenti, aku menjadi gadis tuli untuk sementara waktu.

"Astaga, musiknya terdengar sampai sini," ucap lelaki itu lalu menuruni anak tangga dengan cepat.

"Lilian, jangan kaget, gue Ares!" ucap anak lelaki yang hampir kena bogem mentah setelah menepuk bahuku sembarangan.

"Ares! Kebiasaan!" keluhku akhirnya menghentikan alunan musk yang baru berjalan setengah putaran.

Aku menatap Ares sengit, seolah siap menerkamnya hidup-hidup.

"Ampun Bu Editor! Maaf, nggak niat ngagetin, tapi kamu kalau sudah pakai alat ini, teriakanku sudah tidak mempan!" Aku mendelik sinis menaggapi ucapan lelaki ini.

Sangat menyebalkan, setiap pukul 1 lebih, Sres seolah sudah menungguku di depan pintu dan nengejutkanku di sana. Meskipun aku tahu akan swlalu ada Ares, aku tetap terkejut.

THE SILENT SUN (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang