Ini kisah tentang Lilian Anantari, perempuan cantik yang gemar menyimpan cintanya sendirian pada anak laki-laki bernama Calix Vallerion.
Bagi Lilian, Calix adalah matahari pada langit sore yang indah. Lilian yang jatuh cinta setiap hari selalu menik...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Bagaimana, kalau aku mulai berharap lebih, pada manusia yang tidak bisa diharapkan?”
🌺🌺🌺🌺
Jatuh cinta, katanya. Aku, Lilian Anantari sudah tidak lagi muda untuk menyimpan cinta sendirian, padahal usiaku sudah dikatakan matang untuk menikah. Tapi, aku mengerti sedikit tentang definisi cinta itu buta. Ya, buta, layaknya aku yang tidak pernah sekalipun melihat lelaki yang lebih menarik dibanding Calix, cinta pertamaku.
Siapa yang menduga kalau hari seperti ini akan tiba padaku? Sebuah pertemuan dengan lelaki pemilik senyum hangat itu? Lelaki yang diam-diam sering aku doakan kebahagiaannya.
Anak laki-laki yang sering mencuri degup ku, saat tanpa sengaja aku mendengar namanya.
Calix Vallerion, anak laki-laki di masa lalu yang menyandang gelar cinta pertama anak perempuan bernama Lilian Anantari. Anak laki-laki yang aku cintai dalam diam dari dulu sampai hari ini.
Selama itu pula, tidak ada satu kalimat pembicaraan yang bisa menghubungkan aku untuk dekat dengannya. Ah pernah, sekali seumur hidup. Namun, aku tidak mau menceritakan kejadian memalukan itu. Aku menjaga perasaanku dengan apik sampai hari ini, jadi aku tidak ingin kehilangan sensasi mendebarkan setiap kali aku mencari sosok Calix yang sedang menuruni anak tangga saat pulang sekolah.
Aku yang membatu di tempat, akhirnya tersadar saat Ares mencekal lenganku, dia menyeretku masuk ke dalam toko.
"Kamu demam, atau kepanasan, Lili? Kenapa wajahmu merah sekali? Eh tunggu—kamu kenal Calix?" Ares terkekeh seraya mengucapkan kalimat tadi, mungkin dia melihat rona kemerahan di pipiku.
Sial, meski tidak terlalu dekat, hubungan aku dan Ares sudah sampai di tahap peka terhadap ekspresi yang kami perlihatkan. Ketika marah, ketika malu, ketika bosan, aku dan Ares sudah mengenali topeng itu. Mungkin, Ares sudah membaca raut wajah malu yang merona di pipiku, seperti sedang jatuh cinta.
"En-enggak, enggak kenal." Sial, melihatku gelagapan menjawab pertanyaan sederhana dari Ares tadi, laki-laki itu mungkin tambah penasaran.
"Masa? Kalau nggak salah kalian satu almamater, kan? Waktu SMA?" Kenapa Ares mencoba membuka kartu yang sudah aku kubur selama ini, sih?
Calix tersenyum tipis, debarnya berhasil dicuri lagi. Tanpa aku duga, tubuh jangkung Calix sudah berdiri tepat di hadapanku, dia memamerkan senyum manisnya untuk aku. Ya Tuhan. Aku tidak sanggup, mau pulang saja.
"Temannya Ares, ya?" tanya anak laki-laki itu kemudian mengerutkan sedikit alisnya "Eh? Wajahmu tidak asing, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Kalimat tanya dari laki-laki yang aku suka, kini sudah tumbuh menjadi bunga mekar dalam dadaku yang gersang. Sebuah kalimat yang menjadi awal pembicaraan mereka, sejak 7 tahun lalu. Aku menyukainya.
Aku menyukai bagaimana satu degup lolos begitu saja. Aku memang sulit jatuh cinta. Sekalipun jatuh cinta, aku akan terus jatuh pada satu orang yang sama.
"Ya, teman kerja. Eh—itu tidak mungkin, saya baru pertama kali melihatmu," jawabku mencoba mereda degup yang kian berantakan.
Demi Tuhan, tanganku mendadak dingin seperti es. Aku memilin jari, dengan gestur gelisah yang tidak bisa lagi disembunyikan.
"Ah begitu, ya? Kalau begitu perkenalkan, namaku Calix Vallerion, panggil saja Calix. Lalu, siapa namamu?"
Namun, sepertinya beginilah takdir mempermainkan cinta manusia. Tampak semu, abu. Kalimat tanya ini, membuatku kembali jatuh, pada cinta yang tidak pernah bisa aku katakan.
"Lilian Anantari. Panggil Lilian saja," jawabku dengan senyum tipis.
Wah, bukan main. Jantungku resmi meledak sekarang ini, aku sebenarnya sudah mati dalam keadaan jatuh cinta. Semoga saja aku tidak mati menjadi setan gentayangan yang penasaran.
"Salam kenal, Lilian."
Calix kemudian mengulurkan tangannya, tidak aku duga Ares malah menjabat lengan lelaki itu dengan senyum mengembang.
"Ya, salam kenal, Calix. Oh iya, sudah beres urusannya? Saya boleh pergi membawa Ares?" Calix terdiam, begitu juga Ares yang masih tersenyum tipis.
Sebelum Calix menjawab, aku sudah melayangkan lagi satu kalimat untuk memarahi Ares.
"Ares, masker kamu ke mana? Lupa, ya? Debu bisa menjadi sangat serius untukmu," ucapku mendapat decakan malas dari Ares, padahal dia tadi menolongku.
Calix bisa langsung tahu kalau aku menyukainya, begitu tangan kami bersentuhan. Sebab, kedua tanganku gemetaran dan sedingin es. Seluruh tubuhku sudah tahu harus bereaksi bagaimana jika itu menyangkut manusia bernama Calix.
Ares mendelik kemudian merangkul aku tanpa aba-aba. Lenganku dengan cepat menepis lengan Ares yang menimpa bahuku.
"Lili, aku bukan balita!"
"Kena debu, pileknya sebulan. Diam dulu bisa? Jangan banyak protes!"
Ares menyerah, kemudian Calix tertawa melihat aku dan Ares. Sejujurnya, sedari tadi aku ingin pergi. Meski lelaki berwajah pucat ini tidak pernah tahu wajah lelaki yang disukai aku, sepertinya dia cukup peka dengan sikap yang aku tunjukan.
Lalu, aku juga menjadi sedikit khawatir, ketika satu pertanyaan melintasi isi kepalaku. Bagaimana kalau Ares tahu, Calix yang aku suka dari dulu adalah temannya?
Baiklah, aku akan mengakui sesuatu. Lebih tepatnya menceritakan sesuatu dengan sangat jelas.
Seperti yang diketahui, aku pernah bercerita pada Ares, kalau aku sudah menyukai seseorang sejak lama. Namun, aku memilih menjadi pengecut, dan tidak akan pernah berani mengungkapkan cinta itu. Aku pikir, mengakui perasaanku akan banyak merugikan.