07 • Satu Pesan di Malam Berhujan

54 13 0
                                    

“Senyum manis, wajah tampan, suara bagus, dia hanya gadis biasa yang mudah jatuh cinta pada keindahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Senyum manis, wajah tampan, suara bagus, dia hanya gadis biasa yang mudah jatuh cinta pada keindahan.”

🌼🌼🌼🌼🌼

Gemericik air di luar jatuh kian menderas, suaranya terdengar datang bersamaan dengan hembusan angin malam. Dingin suasana di sini, akhirnya membuat aku terjaga dari perjalanan panjang mimpiku.

Mata bulatku kini terbuka sempurna, berpendar pada ruangan gelap yang kosong.

Mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal empukku, aku mengerjap menerima cahaya dari layar kecil itu. Baru pukul 2, masih terlalu dini untuk memulai pekerjaanku. Namun, sudah dipastikan aku tidak akan terlelap setelah bangun dari tidurku. Kebiasaan buruk ini sulit sekali aku hilangkan, setiap hari malah semakin menjadi-jadi.

Tanganku terulur, menghidupkan lampu tidur di samping ranjang. Mengambil kacamata berbingkai hitam, aku mulai melihat ke sekeliling dengan jelas. Ternyata selain kosong, ruangan ini juga tampak sepi dan dingin. Tapi, ruang di dadaku tampak menghangat meski aku tidak memiliki seseorang yang bisa aku sebut sebagai kekasih.

Menghembuskan napas pelan, aku mencoba menenangkan debar yang terasa berantakan. Lagi-lagi aku memimpikan anak laki-laki dengan suara indahnya itu. Aku mendengarkan lagi nyanyian merdu milik laki-laki yang aku sukai sampai hari ini. Anak laki-laki yang bahkan tidak pernah aku sapa sebelumnya. 

Perantara kagum membawaku terlalu jauh untuk sampai di titik jatuh cinta. Senyum manis, wajah tampan, suara bagus, aku hanya gadis biasa yang mudah jatuh cinta pada keindahan.

Menaruh telapak tangan dingin di kedua sisian pipiku yang terasa hangat, mungkin sudah memerah akibat aku yang terlalu bawa perasan pada mimpi singkat tadi.

Padahal, aku hanya mengingat bagaimana Calix memanggilku siang tadi. Lian, nama panggilannya untukku. Ya Tuhan, aku malah jatuh cinta lagi. Aku malah bermimpi lagi. Apa menang semudah itu Calix membuatku jatuh cinta? Atau hanya aku yang mudah terbawa perasaan?

"Cuma mimpi, Lilian. Ini pasti gara-gara ucapan Ares, dan oh my god—" aku tidak melanjutkan kalimatku, aku terlalu malu untuk mengatakan pertemuan pertamaku dengan laki-laki yang aku damba.

Sejujurnya, tawaran Ares sangat menggiurkan. Mendadak aku ingin Calix tahu lebih banyak tentangku. Lihat, aku menjadi serakah. Aku ingin Calix tahu banyak selain namaku. Tapi, aku juga serius dengan kalimatku. Ya, aku tidak ingin lebih jauh tenggelam dalam harapanku sendiri. Lebih baik begini, jauh dan diam-diam mendoakan.

"Nggak apa-apa Lilian, jangan menyesal. Kamu punya hutang malu yang tidak akan pernah bisa kamu bayar. Bayangin kalau Calix ingat kamu pernah ...." Aku berigidig ngeri, kembali menyentuh pipi sendiri yang terasa panas.

Dulu sekali, aku sengaja menumbalkan diri di ruang musik sekolah. Hari itu setelah ujian nasional selesai, untuk memenuhi syarat nilai kelulusan, aku harus menjalani ujian praktek. Salah satunya praktek seni musik.

THE SILENT SUN (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang