05 • Jatuh Cinta Pada Siapa?

82 19 0
                                    

"Perasaan manusia itu sama seperti lautan, tidak ada yang tahu apa yang pernah hidup dan mati di dalamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Perasaan manusia itu sama seperti lautan, tidak ada yang tahu apa yang pernah hidup dan mati di dalamnya."

............................

Menatap meja kosong di samping, aku menghela beberapa kali lalu menatap laki-laki yang sibuk dengan pena dan bukunya. Ares memang tidak pernah absen membawa benda itu, setiap kali dia berbicara akan menemuiku. Katanya, setiap kali melihatku, otaknya yang suram dan dangkal ketika menulis, mendadak dipenuhi ide gemilang.

Sepertinya, praduga yang aku taruh pada Ares benar adanya, karena kesal aku dengan sengaja meneguk habis minumanku dengan tidak sabaran. Melihat hal itu, Ares malah tertawa.

"Tidak usah sedih begitu, yang telepon Calix tadi bukan kekasihnya. Dia sama sepertimu, jomblo."

Aku menggerling malas, kemudian melihat kembali apa yang dilakukan Ares.

"Apa pentingnya membahas temanmu? Itu, kan—tunggu, tadi kamu janji akan menjelaskan sesuatu, kan? Coba sekarang jelaskan! Ah, enggak, jangan sekarang. Sekarang, aku tidak ada tenaga untuk marah pada orang lain. Lebih baik kita bahas soal pekerjaan yang sudah tertunda, aku kerja sampai malam begini gara-gara kamu, Ares!" Aku menggerutu, seraya mengeluarkan map bening dari dalam tas yang aku bawa.

"Lili, terkadang aku penasaran," ucap Ares terlihat tidak ingin membahas masalah pekerjaan sama sekali. Atau menjelaskan perihal yang menganggu isi kepalaku sampai sekarang.

"Soal perasaan manusia, apakah dalamnya tanpa dasar?"

Aku terdiam, memilih mengamati lengan Ares yang sibuk memutar pena di antara jari-jari tangannya. Kemudian, aku menggedikkan bahu pelan. "Kenapa tanya soal perasaan? Sedang jatuh cinta?"

Ares menggeleng, bibir kecilnya menghilang masuk ke dalam. Terlihat sangat lucu, sampai tanpa sadar aku tersenyum karenanya.

"Hanya ingin tahu saja."

"Ini menurutku, kamu boleh setuju atau tidak sama sekali. Perasaan manusia itu sama seperti lautan, tidak ada yang tahu apa yang pernah hidup dan mati di dalamnya. Apa yang tersimpan di dalam sana adalah misteri, rahasia antara dia dan pemiliknya."

Ares kemudian tersenyum, dia mengangkat naik pandangannya dan mempertemukan iris mata pekatnya pada jernihnya mataku yang terlihat lelah.

"Apa yang pernah hidup dan mati di dalamnya, itu artinya perasaan manusia tidak akan pernah bisa kita lihat dengan mata saja, ya? Karena ketika kita menunjukkan perasaan kita pada seseorang, yang melihat bukan mata lagi, tapi hati kita. Iya, kan?"

Aku hanya mengangguk kecil.

"Kenapa? Mau cerita apa? Insomnia mu makin parah?" Ares menggeleng pelan kemudian kembali memainkan penanya.

"Nggak, nggak ada yang makin parah. Apa  boleh aku menggunakan kalimat tadi sebagai pengantar untuk cerita baru yang hendak aku tulis?"

Kembali mengangguk, aku hanya tidak ingin banyak bicara. Sebab, ini juga merupakan tugas dari pekerjaanku. Aku harus memastikan penulis yang berada di bawah naungan perusahaan, dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.

THE SILENT SUN (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang