15 - Khawatir

28 14 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.......................

Pernah tidak, terkagum-kagum pada satu objek yang ada di muka bumi ini? Entah figure atau panorama, setiap kali mata melihat, senyum tipis meruai sebagai bentuk kagum. Jantung berdebar sebagai tanda jatuh cinta. Aduh, indah sekali lisan manusia.

Giliran berharapnya pada manusia, patah hatinya baru mengadu pada yang maha kuasa. Iya, itu manusia, dan manusia itu adalah aku.

"Tangganya rusak parah, kita benar-benar tidak bisa memakai itu untuk turun."

Aku menghela napas pelan, tidak ada cara lain untuk melunakkan keras kepalanya Ares. Dia pasti akan bersikeras membawaku turun dan pergi ke rumah sakit, apa pun caranya. Jadi, daripada berdebat lebih panjang, aku harus mencoba memberanikan diriku. Pulih, mungkin kata-kata itu pantas untuk aku sekarang ini.

"Aku percaya pada kalian, tapi, aku benar-benar lemas. Aku tidak bisa berjalan," ucapku dengan napas terengah.

Aku benci napas panas yang keluar dari hidungku, tapi aku lebih membenci aku yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk diriku dan malah merepotkan banyak orang.

"Ares, kamu bisa menggendongku?"

Lelaki itu menggeleng, kemudian menaikkan satu kakinya. Aku baru sadar, ada perban yang melingkari pergelangan kakinya. "Kakiku terkilir, Lili."

Calix mengamati, dia duduk di sofa dekat jendela, sofa yang sering aku duduki sambil mengamati air langit yang jatuh. Aku jadi bisa melihat bagaimana gambaran diriku saat melihat ke luar sana.

"Aku tidak sengaja jatuh di tangga kantormu," jelasnya membuatku menghela napas.

"Kamu harus pergi ke dokter, aku tidak bisa  membiarkanmu mengurung diri di sini, hanya karena patah hati," ucap Ares membuat Calix menoleh lalu pandangan kami bertemu.

Aku membuang muka, tidak sanggup menatap lelaki itu lebih lama. Sebelum berpaling, aku menemukan satu senyum hangat Calix. Kali ini, aku yakin untukku. Tidak seprerti dulu, senyum malu-malu yang dia sembunyikan dengan kepala tertunduk. Sampai hari ini, aku belum menemukan jawaban, untuk siapa senyum itu, atau kenapa dia menyembunyikan senyumnya.

"Patah hati apanya," gerutuku malu sekali.

Dasar si Ares mulutnya ada-ada saja.

"Bilang saja ...."

"Kalau tidak jadi pergi, kalian saja yang pergi. Kepalaku pusing, aku mau tidur lagi saja," ucapku kesal, aku memang sedang sakit, tapi keahlian si Ares memang begitu. Dia memang senang sekali membuat aku emosi.

"Apa kamu mempertimbangkan usulanku? Bagaimana kalau aku yang gendong?"

Aku terdiam, Ares menghela pelan. Apa-apaan dia itu bisanya membuatku kesal saja.

"Gendong saja, daripada harus aku seret," ujar Ares membuatku ingin memukulnya.

"Tidak apa-apa?" tanya Ares membuatku mengangguk kecil, aku tidak mau banyak bicara.

THE SILENT SUN (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang