Bab 47 - Ketergantungan

16.7K 1.6K 63
                                    


Bab 47 – Ketergantungan



Satria masih santai di meja makan menikmati sarapannya, ketika kemudian dia mendengar ibu tirinya berteriak memanggil nama Melisa dengan nada panik. Segera Satria menghentikan aksinya, lalu dia bangkit dan mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Satria menuju ke kamar Melisa, dia menuju ke arah kamar mandi tempat dimana Rina terdengar memanggil-manggil nama Melisa, dan sampai di sana, alangkah terkejutnya Satria ketika mendapati Melisa sudah terbaring tak sadarkan diri dengan darah diantara kedua kakinya.

Mata Satria membulat seketika. Jantungnya berdebar-debar seolah-olah akan meledan saat itu juga. Ketakutan tiba-tiba saja melanda dirinya, membuatnya dengan spontan mendekat ke arah Melisa dan mencoba menyadarkan perempuan itu.

"Mel! Melisa!" Satria merasa devaju, seperti ketika Melisa tenggelam di dalam kolam renang saat itu. Dia panik, dia takut, dan dia bingung, dari manakah datangnya perasaan-perasaan itu?

"Kamu apain dia? Astaga..." Rina yang panik kini bahkan sudah menangis dan menyalahkan Satria. Tanpa banyak bicara lagi, Satria membopong tubuh Melisa, menggendongnya keluar dan menuju ke arah mobilnya.

Secepat kilat, Satria membawa Melisa menuju ke rumah sakit terdekat. Sialan! Dia bahkan mengabaikan Rina yang memanggil-manggil namanya. Dia tak peduli, Melisa harus segera di bawah ke rumah sakit, karena percaya atau tidak, Satria merasa sangat bersalah saat ini...

****

Di depan pintu IGD, Satria berjalan mondar-mandir, sesekali dia melihat kemeja putihnya yang sudah ternoda dengan darah Melisa ketika dia menggendong perempuan itu tadi, sialan! Satria tak pernah merasa sepanik ini dan setakut ini. Entah bagaimana bisa rasa panik dan rasa takutnya membeludak membuncah menjadi satu ketika melihat Melisa tak sadarkan diri seperti itu.

Dokter yang tadi memeriksa Melisa keluar dari IGD, membuat Satria segera menghampirinya hingga sang dokter segera menjelaskan keadaan Melisa.

"Kami sudah berhasi menghentikan pendarahannya. Beruntung segera dibawa kemari, karena telah beberapa menit saja, bayinya tidak bisa diselamatkan." Satria baru bisa menghela napas panjang. "Pasien sekarang masih belum sadar, namun, pasien harus dirawat inap agar kami bisa mengontrol keadaannya. Pasien tidak boleh banyak bergerak dan harus bedrest total selama dua minggu."

Satria hanya mengangguk mendapati kabar itu. untuk pertama kalinya, Satria merasa menjadi orang tolol saat ini. Dia tak pernah seperti ini sebelumnya, namun karena Melisa dan bayinya, semuanya berubah.

"Saya mohon, agar lebih diperhatikan lagi kondisi pasien," pesan Dokter pada Satria sebelum doker pergi meninggalkan Satria.

Satria memejamkan matanya, menghela napas lega ketika dia berhasil membawa Melisa ke rumah sakit dengan tepat waktu. Karena jika tidak, Satria tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu dengan Melisa atau bayi-bayinya.

****

Di ruang inap, Melisa masih belum menyadarkan diri. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Satria sendiri masih setia menunggu di sebuah tempat duduk tepat di sebelah ranjang yang ditiduri Melisa. Dengan spontan, Satria bahkan sudah meraih jemari Melisa, menggenggamnya, sesekali mengecupnya. Entah kenapa, dia benar-benar merasa tak ingin terjadi sesuatu yang serius dengan Melisa dan bayinya.

Tujuan Satria semalam hanya ingin memberi pelajaran bagi Melisa, agar Melisa tahu jika perempuan itu hanya miliknya dan perempuan itu tak bisa menolaknya. Namun, Satria tidak menyangka bahwa akan berakhir seperti ini. Karena jika Satria tahu akan berakhir seperti ini, maka dia tak akan pernah melakukan hal keji itu pada Melisa.

Satria mengecup kembali punggung tangan Melisa. Jemarinya yag lain mengusap lembut perut Melisa, kemudian dengan spontan Satria berkata "Maaf..." hanya satu kata namun menyimpan beribu makna.

Tak berapa lama kemudian, pintu ruang inap Melisa dibuka, menampilkan sosok Rina Adiraja yang segera masuk ke dalam dan melihat bagaimana kondisi Melisa. Dengan spontan, Satria berdiri seketika. Dia tak menyangka bahwa Rina tahu dimana dia membawa Melisa.

Prihatin dengan kondisi Melisa, Rina segera menghampiri Satria dan tanpa basa-basi lagi, tamparannya mendarat pada pipi Satria.

"Kamu keterlaluan, Satria! Dimana hati nuranimu?! Bisa-bisanya kamu menyakiti Melisa sampai seperti ini?!" Rina berseru keras. Sungguh, dia benar-benar marah. Rina memposisikan diri sebagai ibu Satria dan juga ibu Melisa. Dia benar-benar tidak suka dengan sikap Satria yan seenaknya sendiri hingga membuat Melisa berakhir seperti ini.

Satria sendiri hanya dia membeku. Andai saja dia tak merasa bersalah, mungkin dia sudah melawan balik perlakuan ibu tirinya ini. Namun kini, satria merasa bersalah, dia merasa pantas mendapatkan hal ini, bahkan seharusnya lebih dari sebuah tamparan saja.

"Apa kamu nggak kasihan sama dia? Dia sekarang hidup sebatang kara dan emua itu karena kamu! Dia dibenci keluarganya karena kamu! Dia kehilangan masa depan dan cita-citanya karena kamu! Dan ketika dia berjuang mati-matian untuk bayi kalian, kamu hampir saja membuatnya kehilangan satu-satunya alasan kenapa dia masih bertahan hidup sampai sekarang! Diaman hati nuranimu!" Rina menyembur Satria, berseru di hadapan Satria, sedangkan Satria tidak bisa menjawab apapun.

"Apa kamu tahu? Dia hanya ingin kamu melepaskannya! Dia tidak peduli dengan semua warisan dari ayah kamu, asalkan kamu mau melepaskannya! Dia hanya ingin itu Satria!" Rina kembali berseru keras pada putra sambungnya itu.

"Aku tidak akan pernah melepaskannya," kali ini, Satria menjawab tapi tanpa menatap ke arah ibu tirinya itu.

"Kenapa? Toh bukannya kamu sudah punya kekasih? Kamu akan menikahi kekasihmu, kan? jadi lepaskan Melisa! Biarkan dia hidup bahagia dengan bayi-bayinya tanpa gangguan dari kamu!" seru Rina lagi.

Satria tak mampu menjawab. Karena dia tahu bahwa sampai kapanpun, dia tidak akan pernah mau melepaskan Melia. Satria tak tahu kenapa dia dia melakukan hal itu, dan dia tak ingin mencari tahu alasan kenapa dia ingin melakukannya.

"Kenapa Satria? Kamu nggak bisa jawab? Kenapa kamu nggak bisa lepasin Melisa? Mau tante kasih tau alasanya kenapa?" tanya Rina yang masih tampak berapi-api, "Karena kamu tidak bisa hidup jauh dari Melisa! Kamu tidak bisa hidup tanpa Melisa! Karena itulah kamu tidak akan bisa melepaskan Melisa," ucap Rina denan puas karena sudah menyadarkanhal itu pada Satria.

Satria segera menatap Rina seketika. Ibu tirinya itu tampak sangat puas menjelaskan apa yang dia lihat dari diri Satria. Apa yang dikatakan Rina memang tak sepenuhnya salah. Satria memang merasakan deimikian. Saat ini satu-satunya orang yang membuat Satria tampak lebih hidup adalah Melisa, namun, Satria tak pernah mau mengakuinya. Melisa adalah perempuan rendahan, karena itulah Satria tak mau mengakui apa yang dia rasakan pada perempuan itu.

Kini, Rina seolah-olah sedang membuka matanya, membuatnya sadar dan mengakui bahwa apa yang dia rasakan pada Melisa adalah rasa yang nyata. Dia tak suka fakta itu, dia merasa aneh, dia tak suka mengakui bahwa hidupnya kini seolah-olah bergantung pada orang lain, seorang perempuan lemah seperti Melisa.

Ya, Satria memiliki ketergantungan pada diri Melisa, perempuan itu membuatnya candu, perempuan itu membuatnya menjadi lebih hidup, dan Satria benar-benar tak menyukai fakta itu...

-TBC-

NANTIKAN BAB 48 - TERGUNCANG... 

Bagi yang pengen baca cepat, kalian bisa merapat ke KARYAKARSA yaahh...s udah tamat di sana dan sudah ada special partnya.... seruuu abiiisss pokoknaaa mahhh wkwkwkkwwk... 

Bayi untuk Sang CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang