Bab 2 – Ke Singapura bersama
Melisa bangun pagi-pagi sekali. Sudah menjadi kebiasaan untuknya bahwa dia akan bangun pagi lalu biasanya membantu ibunya untuk menyiapkan dagangannya. Ya, ibunya berdagang nasi bungkus yang biasanya dititipkan di warung-warung kecil. Tiba-tiba Melisa jadi teringat akan ibunya, apa dia akan melakukan semua pekerjaannya sendiri?
Melisa menuju ke kamar mandi, membersihkan diri, sebelum kemudian dia keluar dari kamar Naya. Naya sendiri masih tertidur pulas, Melisa tersenyum melihatnya.
Semalam, Naya sesekali mengigau. Melisa sedih ketika mengingatnya. Kini, melihat Naya yang masih tidur pulas membuat Melisa sedikit menghela napas lega.
Melisa akhirnya meninggalkan Naya. Dia keluar dari dalam kamar Naya, lalu menuju ke arah dapur. Rupanya, para pelayan keluarga Adiraja sudah sibuk di sana. Melisa akhirnya memutuskan pulang saja, karena toh di rumah Naya sudah banyak pelayan. Lagi pula, dia juga harus bersiap-siap untuk berangkat kerja nanti.
Melisa mendekat ke arah seorang pelayan, kemudian berkata padanya "Bi, nanti kalau Naya atau Ibu mencari saya, tolong dibilang kalau saya sudah pulang, ya... soalnya saya juga harus kerja."
"Baik, Non," ucap si Bibi. Akhirnya, Melisa memilih segera pergi. Dia juga tak ingin terlalu kesiangan nantinya.
Ketika Melisa menuju ke arah pintu utama dan akan membukanya, pintu tersebut rupanya sudah lebih dulu dibuka oleh seseorang dari liar. Orang itu adalah Satria.
Satria tampak baru saja kembali dari joging. Pria itu juga tampak terkejut ketika mendapati Melisa sudah berada di balik pintu.
"Permisi." Tak ingin membuang lebih banyak waktu, Melisa akhirnya memutuskan untuk segera pergi. Lagi pula, berada di sekitar Satria membuat Melisa merasa tak nyaman. Apalagi ketika Satria menatapnya seolah-olah dia adalah perempuan murahan.
"Pagi-pagi sekali." Suara Satria menghentikan langkah Melisa seketika.
"Ya. Karena saya harus kerja."
"Ohh, kamu tak perlu sok rajin saat di hadapan saya. Toh, kamu sudah dapat apa yang kamu mau, bukan?" sindir Satria.
Melisa jelas tahu betul apa yang dimaksud oleh Satria. Satria masih menuduhnya yang tidak-tidak. Percuma juga untuk meyakinkan pria itu.
"Permisi, selamat bertemu di kantor." Setelah itu, Melisa memutuskan untuk berjalan cepat meninggalkan rumah Naya. Sedangkan Satria hanya menatap kepergian Melisa dengan tatapan yang sulit diartikan.
****
Sudah sejak jam tujuh, Melisa sampai di kantor. Dia menuju ke meja kerjanya yang brada di depan pintu ruang kerja sang direktur utama. Mengingat hal itu, membuat Melisa kembali merasa sedih.
Mulai hari ini, dia tak akan lagi bekerja dengan ayah Naya. Padahal, banyak hal baru yang ingin dia pelajari dari pria paruh baya itu. Melisa tahu bahwa cepat atau lambat, Satrialah yang akan menggantikan posisi Bayu Adiraja. Masalahnya adalah, apakah mereka nanti kedepannya akan bisa bekerja dengan baik?
Satria benar-benar melihatnya seperti ia adalah seorang perempuan murahan yang mendekati ayahnya karena harta. Melisa tidak akan nyaman bekerja dengan orang yang terang-terangan tak suka padanya. Apa dia harus mengundurkan diri saja? Lalu bagaimana dengan ibu dan adik-adiknya?
Ping
Pintu lift terbuka menampilkan sosok pria yang tampak sangat rapi, begitu tampan dengan setelannya yang mahal, serta begitu menawan dengan ekspresinya yang dingin dan tegas.
Pria itu adalah Satria Adiraja. Boss barunya. Segera Melisa bangkit dan memberikan hormat, begitupun dengan teman-teman sesama sekretaris pribadi. Satria melewati mereka dengan eksprsi wajah yang sangat arogan. Lalu, dia menghentikan langkahnya saat tepat berada di hadapan Melisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi untuk Sang CEO
RomantizmDemi wasiat dari ayahnya, Satria Adiraja harus menikah dan memiliki anak dari seorang perempuan miskin yang bernama Melisa Amelia yang merupakan sekretaris pribadi ayahnya itu. Bukan tanpa alasan, selain karena wasiat tersebut, Satria mau tak mau ha...