07 Toko kue Lisandra

29 3 1
                                    

Aku dan Reyyan berjalan menuju pos penjaga sekolah. Untuk memberikan surat izin keluar kami pada bapak penjaga disana. Kami berdua sudah mendapatkan surat izin keluar dari sekolah dari masing-masing kepala asrama.

"Cuma kita aja yang pergi?" tanyaku menatap ke arah Reyyan yang berada di sisi kiriku. Cowok itu menjawab tanpa menoleh kepadaku, dia terus menatap ke depan.

"Iya, kalau rame-rame pastinya gak bakalan boleh sama kepala asrama." katanya, aku menganggukkan kepalaku. Kini kami sudah sampai di depan pos penjaga, memberikan surat itu dan akan pulang sebelum jam 5 sore.

"Makasih pak, kami pergi dulu." ucapku pada bapak itu, pria paruh baya itu tersenyum dan mengangguk.

"Kita naik bus aja ya?" tawar Reyyan menggenggam tanganku. Aku mengangguk, saat kami sudah dihalte, aku dan Reyyan duduk dulu untuk menunggu bus datang. Berselang dua menit kemudian sebuah bus berwarna kuning datang dan kami bergegas masuk karena takut tertimpa hujan. Langit sudah mulai mendung, dan lebih parahnya kami tak membawa payung sama sekali.

Langit yang tadinya berwarna abu-abu kini sudah robek dan menumpahkan rintik-rintik air hujan yang membasahi bumi. Suara rintikannya yang berirama dan aroma menyengat khas tanah yang basah karena hujan mulai tercium.

Lima menit berlalu, hujan masih tak kunjung berhenti, tapi sudah agak reda daripada tadi. Reyyan terus menggenggam tanganku, dan menyenderkan kepalanya di pundakku. Kurasa dia akhir-akhir ini sering sekali murung. Entah karena apa aku pun tak tau menahu. Aku ingin bertanya tapi lebih baik jangan, dan menunggu dirinya saja yang memberitahukan sendiri.

Bus sudah berhenti, kami berdua turun. Dan tepat di depan kami di seberang jalan sana adalah toko kue Lisandra. Ibunda dari Jingga.

Reyyan melepaskan jaketnya dan di tutupkan ke atas kepala kami. Untuk melindungi dari air hujan yang masih terus turun.

Kami sampai di depan toko kue itu, aku dan Reyyan langsung masuk terlihat toko itu agak sepi daripada biasanya. Karena terakhir kali aku dan Eliza kemari disini terlihat sangat ramai.

Aku menghampiri seorang ibu-ibu yang sudah kepala 5 yang kini sibuk mengelapi meja.

"Eh, maaf ibu tidak menyadari ada pelanggan." ucapnya agak terkejut melihat kami berdua berdiri di dekatnya.

"Tidak apa-apa bu, ehm.. apa benar ini dengan ibu Lisandra?" tanyaku padanya. Wanita itu mengangguk, walaupun sudah tua dia masih terlihat sangat cantik dan elegant.

"Iya, dengan saya sendiri." katanya, lalu menarik dua kursi untuk kami.

"Duduk dulu, biar ibu bawakan pesanan kalian." katanya lagi.

Kami di persilahkannya untuk duduk berhadapan dengan dia. Dengan secangkir teh dan coklat hangat pesanan kami berdua juga kue-kue yang manis yang mana ada tertera di menu.

Aku mengeluarkan surat dan jepit rambut itu dari saku dan menyodorkannya pelan ke hadapan ibu Lisandra.

Ku lihat wajahnya berubah menjadi sedih. Di ambilnya jepit rambut itu dan di usap pelan.

"Jingga.." gumamnya masih terdengar di telingaku dan Reyyan.

"Apakah kalian teman jingga?" tanyanya pada kami.

Aku mengangguk kecil. "Mungkin ini sudah terlalu lama, dan kami juga baru menemukan surat dan jepit rambut itu, bu." jawabku sedikit berbohong. Ah tidak memang aku berbohong, tak mungkin kan aku menceritakan hal yang kurang baik di dengar itu?

"Ini jepit rambut kesayangannya..."

Aku terdiam menggigit bibir bawahku dengan kuat. Namun sesaat kemudian Reyyan memegang tanganku dan dari matanya seolah berkata, 'tidak apa-apa, jangan gigit bibirmu.'

INDIGO COUPLE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang