✎ Chapter (20)

13 2 0
                                    

Lelaki itu mengemudi mobil nya dengan tak terkendali, tak peduli dengan beberapa klakson yang mulai menegur nya karna laju mobil nya yang melebihi standar cepat.

Ia menginjak pedal gas dengan keras, tangan nya meremas kuat setir mobil yang kini ia pegang, rahang nya mengeras, berusaha menahan sesak di dada, satu bulir keringat kini mulai turun membasahi pelipisnya, hingga satu sorotan lampu motor melintas dengan begitu cepat tepat di hadapan nya, dengan sigap Gavin membanting setir nya ke arah kanan.

Ia memejamkan matanya, hampir saja lelaki itu mengalami kecelakaan, Gavin melirik sejenak ke arah luar, untung saja pengemudi motor itu juga tak apa-apa, tapi beberapa orang kini mulai mengerumuni mobil nya, mungkin khawatir takut terjadi apa-apa karna sang pemilik tak kunjung keluar.

Akhirnya Gavin memutuskan untuk membuka sedikit kaca mobil nya, lalu memberitahu pada mereka bahwa dirinya baik-baik saja.

Lelaki itu lalu kembali melajukan mobil nya dengan pelan, memarkirkan nya di Alfamart yang kebetulan berada tak jauh dari sana, ia keluar untuk membeli sebotol air putih dingin, setelahnya langsung kembali ke dalam mobil.

Gavin meraih handpone nya yang tergeletak di jok samping, lalu mulai menekan nomor Naura, guna menghubungi nya, rasanya di saat seperti ini satu-satu nya obat yang ia punya adalah gadis itu.

Satu kali, dua kali, hingga lima kali, saat ia berusaha menghubungi, saat itu juga seseorang yang di telfon di ujung sana menolak panggilan nya.

Gavin mengacak rambut nya frustrasi, ia tak tahu pasti kemana kini ia harus pergi jika Naura saja malah berlagak seakan tak membutuhkan nya lagi.

Ia memejamkan lagi matanya dengan perlahan, lalu detik selanjutnya lelaki itu mulai melajukan lagi mobil hitamnya ke suatu arah yang akan menjadi tujuan nya.

***

Semilir angin malam menyapa dingin kulit nya, Gavin sedikit merapatkan kembali jaket yang melekat di tubuhnya, padahal rasanya baju yang ia gunakan sudah tebal, namun angin malam masih saja bisa membuat bulu kuduk nya berdiri karna kedinginan.

Seakan tak peduli dengan jam yang kini sudah menunjukkan pukul 8 malam, lelaki itu berjalan perlahan melewati beberapa pusara yang berjejer rapi di sana, satu tangan nya membawa sebuket mawar putih yang begitu segar, itu favorit ibunya.

"Assalamualaikum Ma" sapa lelaki itu hangat, Gavin lalu mulai duduk tepat di samping pusara sang ibu, untuk beberapa saat dirinya hanya terdiam, menatap dalam ke arah pusara yang kini berada tepat di depan nya.

"Mama bahagia kan di sana?" Seolah mengajak sang ibu untuk berbicara, Gavin mengusap lembut batu nisan tersebut.

"Gavin gak papa kok Ma" lanjutnya lagi, "Gavin cuma kangen aja sama Mama" ujarnya parau.

"Ma? Gavin boleh nangis ga sih?" Tahan nya, lelaki itu lalu mengusap buliran air mata yang kini mulai berjatuhan membasahi kedua pipinya.

Ia menarik nafas dalam, mencoba menahan debaran jantung nya yang kini terasa begitu tak karuan.

"Gavin cuma bisa nangis kalo di hadapan Mama doang" lanjutnya lagi, lalu untuk beberapa menit kemudian lelaki itu hanya larut dalam tangisan nya, menenggelamkan wajah tampan nya di balik jaket ia gunakan untuk menutup wajah sendu nya.

"Gavin pulang dulu ya, semoga Mama tenang di sana, Gavin harap semoga nanti Tuhan bisa satuin kita lagi di surga sama-sama" lelaki itu kini kembali berdiri, lalu mulai berjalan lesu meninggalkan pusara sang ibu.

✰✰✰✰

Sudah 15 menit berlalu sejak kedatangan nya tadi pagi di sekolah, Naura masih setia berdiri di area parkiran mobil, seakan menunggu seseorang yang bahkan sampai saat ini tanda kemunculan nya saja belum ada.

BEFORE I DIE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang