Langkah gontai mencerminkan rasa malas Haerin pagi ini. Niat untuk uring-uringan seharian di kasur lenyap seketika saat dua orang paling ia takuti sudah berdiri diambang pintu kamarnya pagi tadi.
Tuan dan Nyonya Sanjaya. Strict parents dan punya berjuta-juta aturan yang wajib bagi Haerin untuk dia turuti.
“Suntuk amat neng, ceria dikit dong,” Hyein sigap merangkul bahu kawannya itu ketika dirasa memang terlihat seperti zombie dengan penampilan yang seadanya, “Kaget gue, kirain tadi siapa, jelek banget soalnya mirip gembel di simpang tiga.”
“Btw, lo tadi bilang ke gue nitip absen kok tiba-tiba muncul gini,” Hyein tidak henti-hentinya buka mulut, “Eh iya soal materi minggu...”
“Yaelah lo mah,”Hyein melepas rangkulannya dengan point bibir maju ke depan.
Haerin sendiri tidak perduli dengan temannya itu, dan memilih melangkah cepat menuju ruangan. Sampai disana pun dia langsung merebahkan kepala pada tumpukan tangan yang ia jadikan bantalan.
“Jangan ganggu gue.”
“Idih?” Hyein mencibir geli, “Kepedean banget si orgil.”
✱✱✱
Mata Haerin memicing, mencoba menerka-nerka apa betul dengan penglihatannya saat ini. Dan kalau tidak salah, jaket itu memang sering menjadi acuan karena terlalu menyatu dengan image orang itu.
Tak pernah ganti, sama sekali.
Dengan segera dia merogoh totebag nya, mengetik sesuatu dengan cepat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Haerin kembali menyimpan ponselnya. Tanpa ia sadari, semenjak tadi ada sepasang mata yang menatap curiga dan penuh waspada terhadap dia.
“Siapa?”
“Bukan, siapa-siapa.”
“Bohong, muka lo dari yang awalnya kesel mendadak jadi cerah lagi pasti dari Minji ‘kan?” tebak Hyein tepat pada sasaran.
“Tu tau,” jawab Haerin tanpa mengalihkan atensi dari mangkok mie ayamnya.
“Masih berhubungan ternyata,” bisik Hyein tersirat jelas nada kecewa.
Haerin diam sebentar sebelum menatap Hyein penuh harap, “Kayaknya gue gak bisa tarik ulur begini lagi deh, serius.”
“Terus?” Alisnya naik sebelah, dan dia akan bersiap menumpahkan semua emosinya jika Haerin menjawab dengan...
“Apa gue mulai terima Minji ya?”
“Anjing lo, udah gak waras emang. Sama aja gila nya kayak Minji, emang bener orang sakit jiwa tuh harusnya gabung aja,” Hyein menarik napas dalam setelah mengungkapkan kekesalannya.
Seakan masih belum puas, Hyein memotong pentol bakso dengan sangat kasar hingga kuah meleber kemana-mana, dia juga masih menyimpan banyak kalimat untuk membodohi Haerin.
“Lo gak tau kan kalau si Minji kuliah disini?”
Fakta itu, menarik perhatian Haerin. Tentu saja dia melihat Minji disini alasannya pasti akan seperti itu. Tapi, yang ada dipikiran Haerin tadi Minji sedang berteman saja tidak lebih.
Nyatanya... Justru seperti itu ya?
“Udahlah Rin, gue harus mohon gimana lagi sih sama lo? Minji tuh orgil, lo kalo sama dia ntar jatuhnya toxic relationship,” Hyein menatap Haerin penuh harap.
“Tapi, lo gatau rasanya gimana. Gue akuin dia tuh gak jelas, aneh, orgil, sinting, tapi gue dapat apa yang gue mau selama ini cuma dari dia. Tiap hari gue dibikin spesial.”
Hyein mendesah pasrah, “Lo belum kenal dia lebih dalam lagi Rin. Mungkin nanti lo bakal tau sendiri, gue gak berhak ikut campur, ‘sih.”
“In, maksud gue—”
“Gue dukung semua pilihan lo. Cuma, nanti kalo seandainya si Minji makin gak jelas, jangan lo ujug-ujug nangis dateng ke gue,” dia mengancam sambil menodongkan garpu tepat ke arah wajah Haerin.
Yang diperlakukan seperti itu tersenyum tipis, lalu segera menjauhkan benda tersebut dari wajahnya. Kengerian.
“Iyadeh, tapi gue gak janji,” diakhiri dengan cengiran nya.
“Yeu, tai.”
Barusan Haerin ingin mencomot bakso milik Hyein, siluet didepan sana otomatis menghentikan pergerakan nya. Dia lalu melirik Hyein yang terlihat sudah fokus pada layar laptop.
Hyein yang kebingungan langsung menengok kemana arah pergi nya Haerin yang terlihat sangat buru-buru.
Rupanya Minji datang menjemput.
Diseberang sana Haerin melambaikan tangan, lalu memberi isyarat pada Hyein kalau nanti dia akan memberikan pesan.
Dan Hyein sendiri sebetulnya masih kesal dengan dia, dan tak ada niat untuk balas lambaian Haerin, yang ia lakukan hanyalah mengacungkan jari tengah tinggi sekali untuk salam berpisah dengan Haerin sore itu.
Diujung jalan manusia Sanjaya ini mencibir kesal melihat balasan kawannya itu.