Haerin melirik bergantian antara gedung di depannya dengan Minji yang kini tengah duduk sembari minum es kelapa dengan santai. Dalam pikiran Haerin dia merasa aneh dengan sikap Minji sekarang, makhluk itu terlihat seperti tanpa beban. Meskipun sikap tersebut memang menjadi kebiasannya.
Haerin jadi penasaran sekarang, tentang semua yang berkaitan dengan Minji.
“Udah lumayan lama misahin diri sih. Males, disitu banyak nyamuk. Tapi overall, orang-orangnya asik kok,” Minji menggeser duduk, kemudian menepuk-nepuk bangku di samping memberi isyarat pada Haerin yang langsung saja menurut.
“Keluarga yang lain?” tanya Haerin.
Minji menggeleng, “Waktu ingetan pertama gue muncul pun, gue tau nya udah ada disono. Udah dibuang dari dulu kali.”
Toyoran keras disamping kepalanya membuat Minji mengaduh, si pelaku justru dengan sigap mengambil alih minuman di tangan Minji yang kini sudah merasa jengkel dan mencoba sebisa mungkin menahan amarah.
“Tolol, gak boleh ngomong gitu,” Haerin berujar santai dengan fokus total mengarah pada es kelapanya.
Sedangkan Minji hanya bisa mendengus kesal, “Ya emang kenyataan nya begitu, lagian gue harus bersuka cita gitu bisa tinggal di panti?”
Haerin berdecak, “Ish, ya gak gitu Minji. Tau ah, lieur aing!” Dia kemudian berbalik, “Mang, es nya segelas lagi ya.”
“Siap neng!”
Minji pun memicingkan mata, “Siapa yang bayar?” katanya.
“Lo lah, siapa lagi? Gue pengangguran btw,” sahut Haerin enteng membuat Minji lagi-lagi hanya bisa membuang napas kasar.
“Enak banget ngomong,” desis Minji, mau tidak mau dia harus mengeluarkan dompetnya lagi. “Untung gue sayang, kalo gak udah gue jual lo di pasar malam,” ucap Minji saat sudah duduk kembali di samping Haerin.
“Gue mau yang itu Ji,” Haerin berujar terlampau imut.
Tanpa banyak pikir Minji segera menukar gelas penuh miliknya dengan yang kosong ditangan Haerin. Dalam hatinya bermonolog, ‘Gapapa, masih awal bulan. Puas-puasin dulu jajan nangisnya nanti aja.’
“Abis ini mau kemana?”
Haerin menggeleng, “Terserah, gue belum mau pulang, ‘sih.”
“Ke kost gue aja, mau gak?”
“Oh, jadi lo tinggal di kost? Daerah mana?”
Minji tidak menjawab, justru cepat-cepat memasang jaketnya. Dia terus menarik lengan Haerin pergi menjauh dari sana, sesaat setelah dia menyesap tetes terakhir minumannya.
✱✱✱
“Ngapain?” Haerin menatap curiga pada Minji yang sibuk mondar-mandir sewaktu dia mengunci rapat semua akses udara di kostnya.
“Hujan diluar, ntar tampias!” Minji lalu cepat-cepat berlari mencari penerangan cahaya karena lampu yang tiba-tiba padam.
“Aduh!”
“Minji?!” Haerin segera berlari menyusul Minji, ketika mendengar teriakan darinya, “Ya ampun, makanya hati-hati dong!” Bentak Haerin tidak sengaja, lebih ke menutupi rasa khawatirnya sendiri.
“Sini gue bantu, duh,” Haerin mengulurkan tangan membantu Minji berdiri, “Udah tau gelap, makanya hati-hati, jadi orang jangan tolol mulu bisa ‘kan?”
Minji mendengus dalam rangkulan Haerin, tidak ada rasa salah tingkah bisa berjarak sedekat itu dengan Haerin. Sekarang yang ada, justru perasaan jengkel.
“Tololin lagi gue nya, Rin.”
“Dasar tolol, udah tua masih tolol,” Haerin makin semangat mengumpat, sedangkan Minji hanya bisa pasrah.
Haerin lalu tertawa kecil setelah menjatuhkan tubuh Minji di lantai membuat manusia itu lagi-lagi mengerang sakit di bokong nya. Dua kali jatuh dengan posisi yang sama pula.
“Lo dendam banget ya sama gue?” Minji manyun kesal menunjukkan bahwa dia tak main-main, meski percuma karena keadaan sekarang gelap total.
Haerin lalu berinisiatif menyalakan lampu pada ponselnya. Dan sekarang meski remang-remang setidaknya Haerin bisa tahu dimana Minji, berjaga-jaga kalau manusia itu tiba-tiba berubah jadi makhluk lain.
“Galau amat muka lo,” celetuk Haerin, namun tak ada jawaban, “Lo kesel sama gue? Padahal gue dah bantuin loh.”
Minji masih diam, tidak bergerak tidak apa. Seperti patung.
“Woy, Minji!”
Senyap.
“Lo kalo kayak begini gue pulang ya, gak perduli ujan gue terobos,” kesal Haerin yang sebenarnya lebih ke takut kalau saja yang di sampingnya itu bukan Minji melainkan makhluk penunggu kost.
“Si anjing, gue beneran pulang nih!”
“Sakit Rin,” gumamnya.
“Hah apa? Gak kedengeran ogeb, ujannya lebat banget cok, genteng lo berisik!”
“Kepala gue sakit!”
Haerin ber-oh ria, kemudian menelisik jidat Minji yang memang sedikit kemerahan itu. Usut punya usut rupanya tadi terantuk ujung meja.
“Sakit banget njir,” Minji mendesis saat jemari Haerin menyentuh jidatnya.
“Bentar,” Haerin kemudian meraih ponsel, sebagai penerangan untuk dia menuju dapur meninggalkan Minji seorang diri dalam kegelapan senja hari itu.
Tidak lama, Haerin kembali dengan sewadah air dan es.
“Lepas baju lo.”
Minji hampir saja tersedak ludah sendiri saat mendengar tutur kata Haerin, dia lantas menggeleng cepat dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Haerin berdecak memutar bola matanya malas, “Gue gak minat sama tubuh lo, please deh.”
“Lah terus?”
“Gue butuh kain, Minji!”
.
KAMU SEDANG MEMBACA
❶ Coldplay
FanfictionTry again, until you solve this coldplay! _ ⚠︎END, slowburn, wlw relationship, harshwords, cringe, local au, 18+ for some action, also some triggered issue! ©bimilday, 2023.