3. Voodoo

534 74 0
                                        


Kelulusan tidak pernah berasa se-simple ini.

Mungkin itu yang dirasakan Haerin sekarang, setelah mengantar Orang tuanya ke parkiran sekolah untuk pergi ke tempat sibuk yang lain.

Helaan nafas lolos begitu saja, nasib. Tapi, mau bagaimana lagi? Disini, tidak ada objek yang pantas disalahkan. Selain, takdir tentu saja. Alasan cliche yang membuat Haerin muak untuk menjalani hidup esok hari.

“Anak-anak pada nunggu, katanya mau fotbar dulu.”

Haerin menoleh, lalu sinar mentari siang dengan sigap menyambut netra coklat miliknya. Membuat penglihatannya sedikit memburam.

“Ayo, Haerin! Sehari aja gak bikin gue naik darah bisa?”

“Bentar kali,” Haerin berdecak sebal, turun dari posisi duduk dengan niat setengah hilang.

Hyein merengut tapi sepersekian detik kemudian merubah ekspresi menjadi kembali ceria. Setidaknya, dia harus bagi kesan bagus pada hari terakhir berada di sana.

Btw, gue tadi ada liat si Minji.”

Pernyataan Hyein itu sukses merebut semua perhatian Haerin.

“Serius?”

Mendengar intonasi itu membuat Hyein merutuki diri sendiri sebab keceplosan, harusnya tadi dia tidak bilang hal itu pada Haerin. Tapi apa boleh buat, sudah terlanjur.

“Gak guna gue bohong, yang ada usus gue bakal lo jadiin menu angkringan.”

Haerin segera menoleh belakang, mencari motor yang ia kenal. Namun, nyatanya memang tidak ada. Atau, asumsi lain Minji tidak parkir di sana.

“Nah, ntu orangnya,” Hyein menunjuk dengan dagu tepat kearah objek yang mereka jadikan topik.

Haerin diam, terlihat sedang menimang-nimang sesuatu di pikirannya.

Hyein yang melihat itu otomatis paham dan langsung memutar otak, segera saja dia menarik lengan kawannya pergi sejauh mungkin dari sana. Meski itu artinya dia harus keliling mencari jalan lain untuk bisa sampai ke kelasnya, dia tidak perduli.

Yang terpenting baginya Minji dan Haerin tidak boleh bersama selagi dalam pengawasan Hyein. Camkan ini.













;

“Rin, jangan diem mulu gitu dong.”

Sebelah alis Haerin terangkat, atensinya tidak lepas dari layar ponsel yang satu jam ini sudah terhubung panggilan video.

“Gue lagi males ngomong, serius.”

“Harus pake cara apalagi sih biar lo bisa bales perasaan gue, Rin? Capek gue,” celetuk Minji acak terkesan bercanda dari intonasinya.

Meski begitu, Haerin dapat mendengar jelas hembusan nafas lelah dari ujung sana.

Benar, mungkin memang tidak harus seperti ini. Haerin tidak boleh selalu menggantungkan dia, tetapi menerima Minji pun juga bukan hal yang ingin Haerin ambil sebagai pilihan.

“Kalo gue ada salah sama lo gue minta maaf Rin, tapi please kasih gue kejelasan.”

Haerin lagi-lagi diam. Bingung harus menanggapi seperti apa, kalau dibilang banyak yang ingin ia ungkapan, itu benar.

Tapi rasanya, semua itu hanya sampai di relung hati. Bagaimanapun, Minji yang seperti ini tidak akan pernah bisa diterima oleh pihaknya tentu saja.

Dia masih belum mengenal Minji.

“Rin,” panggilan kesekian itu menyadarkan Haerin dari lamunan mendadak.

“Lo sendiri mau ngebuktiin apa selain omongan lo yang gak berdasar itu?” tembak Haerin langsung pada intinya, membuat Minji otomatis bungkam.

“Gue baru lulus Sekolah, Ji. Banyak hal yang harus gue capai. Gue bukan lo yang bebas, hidup gue bukan punya gue sepenuhnya. Kalo lo paham, gue rasa lo gak harus selalu mojokin gue melulu seolah-olah gue yang egois disini.”

“Ya.”

Topik tiba-tiba mati begitu saja, baik Haerin maupun Minji sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.


“Rin,panggilnya setelah sekian menit hening.

Wajah Haerin otomatis terangkat untuk melihat sepasang mata yang menatap nya teduh. Senyum tipis terbit begitu saja tanpa dipinta dan Haerin sendiri tidak berniat untuk menutupi itu.

Haerin sering dengar kalau diluaran sana Minji suka dilihat sebagai makhluk tak berperasaan. Tetapi saat dengan Haerin, dia justru berbeda 180 derajat dari apa yang orang bilang.

Dengan fakta demikian pasti banyak yang tidak percaya.

Tapi itu kenyataan.

“Gue jatuh banget sama lo, gimana dong?


















.

❶ ColdplayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang