17. The Vaccine

395 68 8
                                    

Haerin mendengus, lagi. Entah untuk yang ke berapa kalinya dalam kurun waktu tidak lebih dari sejam ini. Sekarang posisi nampak rapi, mereka tengah duduk berhadap-hadapan di ruang tamu manusia aneh itu—ralat, Minji maksudnya.

“Duh, pusing banget njir.”

“Ngeluh lagi gue getok kepala lo pakai ni panci serius,” Haerin menggeram kesal, “Coba ini diminum dulu ish, lo denger gak sih!”

Minji mengangkat kepalanya yang sedari tadi menempel di atas meja, demi melihat wajah suram milik Haerin.

“Kok lo bisa ada disini sih?” Minji bertanya dengan point alisnya yang terangkat sebelah, “Apa jangan-jangan gue masih mimpi—aduh!”

Hm kan.

“Iya ampun!” Minji mengatup kedua tangannya secepat kilat saat Haerin terlihat kembali mengangkat sendok kayu siap untuk memukul kepala Minji lagi kalau dia masih diam tak menurut. Ini pertanda kalau emosi anak itu sedang tidak baik-baik saja.

“Nurut gak?” Vokalnya merendah tajam, sontak membuat Minji mengangguk lantas menghabiskan teh madunya.

Dalam diam Minji kemudian lanjut menghabiskan makanan yang mereka pesan online sejam yang lalu.



✱✱✱


Haerin tersenyum kecut saat Minji lebih dulu turun dari motor tanpa menoleh. Padahal biasanya dia akan membantu untuk melepas helm. Tapi hari ini rupanya,

skip dulu gaksieee, batin Minji.

Entah apa alasannya, semenjak selesai makan tadi siang hingga sekarang sikap Minji berubah dingin sekali, bahkan rasa-rasanya dapat mengalahkan hawa di hutan kota saat ini.

Dengan langkah terburu Haerin membuntuti Minji yang sudah berjalan cepat didepan sana, sedikitpun saja dia tak terlihat ada niatan untuk sekedar menoleh. Hal itu otomatis membuat Haerin berdecak kesal, merasa tak dianggap.

“Harusnya disini gue yang  punya sikap cuek,” Haerin menghentakkan kaki kesal namun tetap mengikuti langkah tidak jelas milik Minji.

“Kan ceritanya lo yang ngejar-ngejar gue, kok jadi kebalikannya—Minji, lo denger gak sih!”

“Balik Rin, gue lagi gak mood liat muka lo.”

Wtf,” Haerin menganga tak percaya dengan apa yang dia dengar. Apalagi setelah yang dia lakukan semalam? Oh tidak bisa, dia tak akan mudah mundur begitu saja.

“Dasar gak punya hati!”

Minji terkekeh kecil, terus mengangguk setuju akan kata Haerin.

“Kayaknya gue juga gak punya utang sama lo, iyakan?” Minji memalingkan sedikit wajahnya, namun siluet Haerin tak nampak. Entah diposisi mana remaja itu berada, dia tak perduli.

“Gue udah jagain lo semalaman penuh dan ini balasan lo? Serius Ji, kayaknya lo emang sakit jiwa deh.”

Minji berbalik sempurna. Kini netra keduanya saling menabrak milik masing-masing. Hawa dingin dari pohon-pohon disekitar mereka pun tak dapat mengalahkan panasnya ketegangan keadaan saat ini.

“Gue gak ngapa-ngapain, ‘kan? Dan gue gak ada tuh minta tolong sama lo, itu murni dari lo nya sendiri, terus sekarang lo mau apa? Tanggungjawab? Tanggungjawab dari apa? gue gak perkosa lo, ‘kan anjing!”


plak!

Sekali bajingan ya tetep bajingan,” napas Haerin memburu, emosinya kini telah memuncak penuh, “Terserah lo anjing, seharusnya emang gue gak pernah mau luluh sama makhluk gak punya hati kayak lo ini. Bener kata Hyein dan orang-orang, lo tuh cuma berandal gak punya rumah!”

“Rin gue—”

“Apalagi? Salah gue ngomong kayak gitu? Silahkan sakit hati, gue gak perduli!”

Minji mengusap kasar wajahnya ketika Haerin sudah melangkah pergi menjauh.

Sakit, iya. Tapi Haerin juga pasti merasakan hal yang sama. Saling menyerang dengan kalimat bukanlah hal yang bagus, justru terlihat kekanak-kanakan. Minji akui, dia bersalah atas semuanya disini.

Tiba-tiba rasa sesal datang, untuk apa dia mementingkan emosinya sedangkan Minji tahu betul dan sudah sangat jelas kalau rasa rindunya lebih besar?

Tanpa alay, Minji lari mengejar Haerin yang masih belum terlalu jauh diseberang sana.

“Haerin!”

“Bodoamat anjing gak usah panggil-panggil gue!”

Minji tersenyum kecil saat mendengar kalimat balasan dari Haerin itu, terdengar cuek tapi dia tahu jelas dibalik itu semua ada maksud lain.

“Putri Sanjaya!”

Kalau sudah seperti itu, Haerin paham apa yang akan terjadi—

Minji menarik sebelah lengan Haerin untuk sekarang dia bawa kedalam dekapannya. Sebentar dia merutuki diri yang tak pernah berolahraga, karena sekarang napasnya terasa hampir habis akibat berlari mengejar Haerin yang padahal tak seberapa jauh berjarak dengannya.

“Harusnya gue yang minta tanggungjawab, gara-gara lo ngilang gue hampir gila—gak deh, kayaknya sekarang emang udah gila.”

Tidak ada lagi Haerin yang penuh emosi, seakan perasaan itu menyublim entah kemana sekarang dia justru tersenyum lebar mendengar detak jantung Minji yang berdebar-debar.

Padahal itu muncul akibat berlari tadi, namun—ah sudahlah, biarkan saja dua makhluk ini saling merindu sebentar dengan tenang tanpa ada konflik didalamnya.

“Lo tau gak sih kalo lo itu freak banget, Ji?”

Minji mengangguk, semakin menenggelamkan wajah pada bahu Haerin.

“Lo sering bilang gitu Rin, yaiyalah gue tau.”

“Dasar freak!”
















.

❶ ColdplayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang