2. Mimosa

664 75 2
                                        

“Angkat gak?” Disini, berselimut dingin angin malam Haerin mati-matian untuk tidak terserang emosi.

Minji menggeleng, lagi.

Abg labil ini memang seringkali menyulut emosi seorang Haerin yang sudah terbukti memiliki anger issue.

Minji kata dia sangat suka akan hal itu, suka sekali.

“Tai lo, serius.”

Dengan kecepatan kilat Minji menarik lengan si pemilik mata kucing itu agar kembali duduk rapi pada tempatnya.

“Gue abisin dulu makanan gue, bisa sabar dikit gak? Lagian ni telpon gak penting-penting amat,” Minji berujar santai, sementara Haerin sudah malas menanggapinya.

“Bentar,” sejurus kemudian Minji melangkah cepat menjauh.

Haerin tidak perduli.

Begitu pikirnya lima detik yang lalu. Dan yah, dia pun juga tidak tahan harus terus berpura-pura acuh. Sekarang Haerin memang terlihat fokus melahap baksonya, tapi kuping justru di atur sedemikian rupa agar menajamkan pendengaran sekiranya obrolan Minji entah dengan siapa itu, dapat terdengar.

Lalu dia langsung berpura-pura fokus pada ponsel saat sadar yang diperhatikan kini telah gerak mendekat.

“Lo udah selesai belum?”

“Udah.”

“Bagus deh, gue mau ada urusan abis ini,” Minji balik badan, merogoh saku jaket dan mengeluarkan dompet berisi selembar uang kecil, bibirnya sontak terukir simple, “Jadi berapa bang?”

“34 Neng.”

“Makasih ya.”

“Lo kalo gak niat ngajakin gue santai mending gausah, Ji. Serius,” Haerin melengos, meninggalkan Minji yang menyempatkan diri untuk meneguk tetes terakhir es jeruk miliknya.

Saat sudah selesai dia pun buru-buru menghampiri Haerin ke parkiran.

“Lain kali mah kalo gak punya waktu mending gak usah sok ya, Ji. Gue juga lagi sibuk.”

Langkah Minji belum selesai tapi kalimat itu seakan menghantam nya tepat di ulu hati. Bukan salah Minji juga kalau dia mendadak punya jadwal di lain tempat. Serius.

Tiba-tiba dadanya terasa sesak, Minji juga tidak mau harus berpisah cepat dengan Haerin.

Haerin sendiri sudah menyimpan diri rapi pada motor milik Minji, siap meluncur kemana angin malam itu membawanya pergi.

Minji lebih memilih diam, tidak ada minat untuk menanggapi perkataan milik Haerin tadi.

“Lo udah gila ya anjing?! Kecepatan anjay!” Padahal dia sudah effort maksimal untuk mengeluarkan teriakan itu akan tetapi Minji tak mengindahkan nya, dan membuat Haerin semakin jengkel saat Minji tak kunjung menanggapi justru lebih menaikkan kecepatannya.

“Minji anjing rok gue naik!”

ckit!

Motor otomatis berhenti mendadak, rengkuhan kuat pada pinggang nya kini melonggar. Minji terus melepas jaket, tanpa turun tanpa suara, ia berikan benda itu pada Haerin yang tak kunjung menerima.

“Cepet ambil, Rin. Gue mau buru-buru.”

Haerin tidak berkutik.

Minji lupa kalau remaja itu, punya sifat dendam yang membatu di hatinya. Sadar kalau dia lebih tua Minji seringkali harus merendahkan diri.

Dia mengaku salah, kenapa juga tadi harus merajuk pada Haerin yang memiliki jiwa pendendam? Aneh.

Minji lalu turun, menatap Haerin yang kini juga membalasnya tajam.

22.09

Entah berapa lama dua insan ini menikmati angin di Stadion hingga lupa kalau hari sudah malam dan anginnya semakin kuat setiap saat.

Tanpa obrolan lebih lanjut, setelah selesai mengikat jaket pada pinggang Haerin, Minji dalam diam kembali menarik gas dengan tempo cepat, mengundang kalungan lengan pada tubuhnya.

Dibalik helm Minji tersenyum tipis, sangat tipis agar tak terlihat oleh Haerin yang diam-diam juga memperhatikan nya dari kaca spion.
























.

❶ ColdplayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang