Minji menyunggingkan senyuman tapi sekarang tidak nampak manis, justru lebih ke mengerikan sebab senyum itu ia tambah dengan alis yang naik turun.
Tanpa sebab dia bertingkah aneh, lagi. Dan untuk yang ke ribuan kalinya Haerin hanya bisa memandangi nya maklum.
“Apalagi sih, Minji? Lo tau gak kalo senyum lo itu keliatan ngeri banget sekarang?”
Minji menggeleng, masih dengan ekspresi yang sama.
“Ngomong, jangan tiba-tiba kambuh gitu gila nya, gue gak bisa bahasa alien.”
“Kata Kak Yunjin ini lo yang obatin ya?” Minji menunjukkan lengannya yang ditempelkan plesteran bergambar karakter gary ke kamera ponsel.
“Lah baru sadar?”
“Iya. Kaget tau gue.”
Haerin tersenyum penuh arti, dia lalu melepas ballpen di tangan untuk mengambil ponsel yang bersandar rapi pada tumpukan buku, “Jemput, Ji.”
Ya, otomatis menggila lagi otak salah satu rakyat Neptunus ini saat telinganya mendengar dua kata langka bin ajaib dari Haerin itu.
Minji masih mematung di posisi dengan point mata yang terbuka lebar, tidak menunjukkan sikap manis sama sekali. Harusnya, Haerin kabur saja dari makhluk aneh ini.
“Gak mau ah.”
“Kenapa? Gue kangen tau,” Haerin mengerucutkan bibir kontan membuat kadar keimutan pada dirinya jadi over.
AH ANJING IMUT BANGET JANCUOOOOK! begini kira-kira isi batin milik Minji sekarang, meski yang dilihat wajah datarnya namun pikiran berkata lain. Kusut tak berbentuk.
“Haha... Tumben banget begini. Kerasukan apaan lo?” Minji memaksakan tawa, menutupi gugup yang dengan tidak elite nya menyerang diri.
“Gak tau,” Haerin menggeleng, sekarang wajahnya terlihat sendu.
Aneh, semuanya aneh.
“Kapal abis bensinnya, gak ada duit. Lagian diluar hujan, males tau.”
Itu kalimat dari Minji sebelum panggilan video berakhir sepersekian detik setelahnya membuat Haerin tercengang tak tahu mau apa.
✱✱✱
Rintik hujan sore ini kian menghilang. Cahaya mentari pun sedikit demi sedikit akhirnya kembali unjuk diri, memberikan sepercik kebahagiaan pada sekumpulan pecinta petrichor.
Dan disinilah Minji berada, setia menunggu sang pujaan hati selesai dengan urusannya, dia memilih untuk duduk manis dihadapan Haerin yang tadi sempat minta jemput namun ia tolak mentah-mentah. Alibi untuk menutupi keterkejutan nya yang alay.
Meski Haerin punya segudang jadwal pelajaran dan latihan-latihannya, namun itu semua tidak cukup untuk dapat menghalangi hubungan tidak jelas mereka berdua. Dimana ada kesempatan disitu dia akan kabur dari tuntunan orang tua yang makin hari makin banyak mau.
Tidak ada salahnya merindu sebentar, daripada harus terus pacaran dengan buku dan kawan-kawannya mending selingkuh dengan Minji.
Iyakan, pemirsa?
“Udah?”
Haerin mengangguk menanggapi, lalu menggaet lengan Minji untuk dibawa keluar dari ruangan penuh aroma buku itu.
“Kalo sibuk sama tugas-tugas tuh bilang Rin, jangan ngilang lagi. Gue beneran bisa gila soalnya.”
“Ya kalo sempet ngabarin, gue kabarin.”
Minji sontak menghentikan langkah, menatap Haerin dalam diam. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun, cuma lurus saja namun terasa menusuk sampai ke ulu hati Haerin.
“Apa? Gue gak salah,” bela si makhluk bermata kucing.
“Jadiin gue prioritas,” tutur Minji seolah memaksa kentara dari intonasi suara.
“Orang tua yang nomor satu, Ji. Gue gak bisa.”
Lalu Haerin mengambil langkah lebih dulu sedangkan Minji mengikutinya dalam diam, membiarkan Haerin mendominasi arah mereka sore ini.
Tiba-tiba rasa sesak datang begitu saja, Minji mengutuk diri sendiri yang makin hari semakin aneh. Terlebih saat mengingat mimpi-mimpinya.
“Minji,” dia menarik lengan yang lebih tua dengan halus saat manusia itu justru terlihat diam saja tak bergerak, “Duduk disini.”
Lalu Haerin menaruh kepalanya pada pundak Minji.
Menikmati angin sore yang damai di taman kampus adalah hal klasik yang ingin Minji ulangi momentumnya bersama satu orang, cukup satu orang ini saja.
“Rin.”
“Hm?”
Senyap, Haerin dengan sabar menunggu kalimat Minji, namun tak kunjung lanjut justru getaran pada bahu yang ia rasa membuat Haerin sontak meluruskan tubuh menghadap Minji guna memastikan kalau dia baik-baik saja, tapi tidak.
Tidak sama sekali.
“Heh, lo kenapa?”
“Lo pernah kebayang gak?” Minji mengawali, “Sakit banget rasanya tiap bangun gue harus ditampar kenyataan kalau mimpi gue ya cuma mimpi.”
“Gue sering mimpi punya keluarga lengkap, dan itu indah banget Rin,” lanjutnya dengan senyum manis.
“Jangan hancurin mimpi orang tua lo Rin, gue bakal dukung lo. Kapanpun lo butuh bantuan bilang aja, dan kalo emang lo gak bisa nerima gue ya gak papa. Gue ikhlas kok, sekarang. Rasa, ‘kan emang gak bisa dipaksa,” untuk pertama kalinya tutur kata dari Minji ini melukai Haerin tepat dihatinya, tanpa permisi remuk begitu saja.
Rasa yang sering ia tolak, yang sering ia mainkan, yang sering ia hindari ternyata setulus ini sekaligus sangat rapuh.
Untuk hari ini hingga ke depan sampai waktu yang tak ditentukan Haerin berjanji, ah tidak...
Haerin akan bersumpah, akan ia serahkan seluruh rasanya pada Minji.
Dan akan menghancurkan siapa saja yang lancang mengusik bahagia Minji, bahkan tak terkecuali dirinya sendiri.
“Ji.”
“Iya?”
Haerin tersenyum, membawa ibu jarinya menuju wajah si lawan bicara untuk ia usap lembut, menghapus jejak yang sekarang ia benci eksistensi nya. Lagi-lagi Haerin bersumpah, siapa saja yang berhasil menimbulkan liquid bening ini pada Minji, dia tak akan segan menghancurkannya hingga berkeping-keping kalau perlu.
“Saranghaeyo.”
_
tbc apa end ya, ges? hm.
KAMU SEDANG MEMBACA
❶ Coldplay
FanficTry again, until you solve this coldplay! _ ⚠︎END, slowburn, wlw relationship, harshwords, cringe, local au, 18+ for some action, also some triggered issue! ©bimilday, 2023.