7. Salah Siapa?

401 37 4
                                    

~~~~~

Selamat membaca
Monggo enjoy

~~~~~

Daun Jatuh – Resah Jadi Luka

~~~~~

“Selalu ada sebab di balik setiap perubahan sifat.”

~~~~~

“Selamat pagi Ibu Widya, tumben banget hari ini Ibu dateng agak siang.”

“Heh, punya mulut dijaga dikit napa. Ceplas ceplos aja kayak pelawak lenong, dikira Bu Widya besti lu?” ucap salah seorang karyawan kepada karyawan lain yang menegur bosnya dengan sedikit tidak sopan. Lagipula datang pagi atau malam juga tidak masalah karena ini kantor milik Bu Widya, tidak ada aturan resmi yang mengharuskan bos datang setiap pagi di kantor ini.

Memang terkadang temannya ini mengada-ngada, beruntung Bu Widya tipe orang yang tidak langsung menggunakan hati, tidak seperti mantan bosnya yang terdahulu sedikit-sedikit potong gaji, sedikit-sedikit lembur, sedikit-sedikit pecat. Ah enaknya menjadi bos bisa melakukan apa saja.

“Maafin Sindy, Bu. Ini anak memang nggak lulus SD makanya nggak bisa jaga omongan, kami minta maaf ya Bu.”

Widya tersenyum singkat, berlalu meninggalkan segilintir karyawannya yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ia memilih untuk langsung pergi ke ruangannya.

“Tuhkan gara-gara lo si Bu Widya jadi badmood.”

Sindy yang disalahkan merasa tidak terima. “Lah engga ege, emang basic-nya Bu Widya dari tadi udah nggak mood, lo mah nyalahin gue terus.”

“Lah emang dasarnya lo tuh tempatnya salah hahaha….”

“Anjing.”

Meninggalkan kedua karyawannya yang sedang berdebat, Widya membuka laptop miliknya dan menyiapkan berkas yang akan dia urus untuk pengiriman beberapa bulan ke depan. Fokusnya benar-benar tidak bisa dipisahkan antara masalah pribadi dengan pekerjaan kantor, ini tidak boleh molor karena hubungannya dengan pihak luar negeri.

“Fokus Widya, jangan biarkan pikiran lain merengsek masuk ke dalam otakmu untuk saat ini, ada masa saat kamu akan memikirkannya. Kerja ya kerja, urusan pribadi jangan terlalu dipikirkan karena tidak penting,” ujar Widya menyemangati dirinya sendiri.

Jari lentik itu menari dengan lincah di atas keyboard menuliskan sebuah surat permintaan kepada salah satu pembelinya jika pengiriman akan mengalami keterlambatan karena kurangnya karyawan yang ada, Widya menyelesaikan tugasnya dengan cepat mengesampingkan dirinya yang setengah lemas karena kekurangan makan.

Widya tidak dapat melupakan dengan cepat peristiwa buruk yang menimpanya, bagaimana bisa dilupakan jika peristiwanya saja baru terjadi beberapa hari kemarin. Jika uang hilang mungkin bisa dia lupakan, namun tidak dengan harga diri yang dia terima. Ia bersumpah tidak sudi memafkan seseorang yang telah menyakitinya bahkan jika dia harus mendekam di dalam penjara karena telah melakukan kesalahan.

“Aku memang tidak mengenalmu Tuan, namun wajah bajinganmu akan selalu terkenang dalam ingatanku.”

Widya meremas stylus pen di tangannya dengan kuat, ia menahan amarah yang membuncah sebisa yang dia mampu tahan mengingat ini adalah kantor. Menangis juga tidak ada gunanya karena air matanya telah habis terkuras, percuma dan justru membuatnya sesak napas.

Suara ketukan pintu dari luar mengalihkan atensinya, Widya melihat wajah gelisah Amel yang menunggu dirinya untuk dipersilahkan masuk. “Masuk Mel.”

“Ibu nggak ada janji yah hari ini?”

Widya menggeleng mendengar pertanyaan Amel, memang benar jika dia tidak memiliki janji pertemuan untuk hari ini. “Ada siapa Mel?” sang lawan bicara terlihat gugup, membuatnya langsung mengambil keputusan untuk mempersilahkan masuk tamu tersebut, “suruh masuk aja Mel,” tambahnya.

Amel mengangguk dan segera keluar, tidak lama setelah kepergiaan Amel ada dua orang berseragam yang memintanya untuk segera datang ke kantor mereka.

“Dengan Ibu Lavani Widyaningtias?”

“Iya dengan saya sendiri Pak,” ujar Widya tegas.

“Ibu di mohon ke kantor sekarang untuk dimintai keterangan.”

Widya memandang dua pria di depannya dengan pandangan menyelidik, ini hanya orang suruhan atau benar-benar anggota? “Mohon maaf Pak, di mana surat tugasnya?”

Salah satu dari mereka tersenyum, mengeluarkan dua amplop surat yang berstempel kepolisian. “Ini surat tugas dan surat perintah penankapan terhadap Ibu Widya, mohon dibaca dengan teliti jika masih tidak percaya dengan kami.”

Widya meletakkan semua kertas setelah dia membaca dengan teliti apa isi di dalamnya, perempuan itu keluar dari ruangannya dan menghampiri Amel yang berdiri kaku di sebelah mejanya. “Tolong siapkan pengacara terbaik Ibu, suruh dia segera menyusul Ibu di kantor polisi.”

Amel mengangguk dengan kaku, perempuan itu segera paham dengan perintah sang atasan walaupun sedikit tegang karena kedatangan tamu yang tidak diundang. Sedangkan Widya berbalik arah berucap kepada dua polisi tadi yang justru diam di tempat tidak segera bergerak. “Mari berangkat Bapak, Bapak yang mengantar saya ke kantor atau saya yang mengantar Bapak ke kantor?”

***

Satu jam sudah lewat sejak dia di introgasi oleh beberapa polisi di depannya, membuatnya harus bertahan di kantor ini hingga surat keputusan yang lain siap. Widya melihat bagaimana pengacara yang dia amanahkan kepada Amel telah sampai sejak dua puluh menit yang lalu dan langsung menjalankan tugasnya, entah apa yang pengacaranya itu perbuat.

“Hukum dia dengan hukuman yang setimpal Pak, pembunuh berantai sepertinya memang seharusnya dilenyapkan dari muka bumi ini,” seru seorang pria paruh paya menggebu-gebu, dia jelas tidak terima jika anak semata wayangnya dalam bahaya. Bertaruh dengan nyawa sedangkan sang pelaku masih bebas bekerja layaknya orang yang tidak melakukan kesalahan.

“Tolong jaga sikap anda Tuan, ini kantor polisi.”

“Bagaimana bisa saya menjaga sikap terhadap seseorang yang mencoba menghabisi nyawa anak saya Pak?” Perdebatan kecil terjadi antara pria berjas hitam dengan anggota polisi itu, mengundang perhatian beberapa orang yang juga ada di dalam ruangan. “Lihat wajah tidak bersalah ini Pak, lihatlah betapa angkuhnya pembunuh ini!” tunjuknya ke arah Widya.

“Papa!”

Suara seseorang menginstrupsi semua orang, perempuan paruh paya yang diketahui istri dari pria yang tengah teriak-teriak tadi mulai menenangkan sang suami. Perempuan itu tidak datang sendiri, ada dua orang pria tampan di belakang mereka yang juga tergesa-gesa memasuki ruangan, satu di antara mereka membuat Widya merasa mual dan ingin pingsan.

“Sayang? Sayang bagaimana dengan keadaanmu, kamu baik-baik saja?”

“Iya Pa, Adi baik-baik saja,” ucap sang anak tanpa melepas pandangan dari seorang perempuan yang memandangnya tajam.

“Syukurlah Nak, Papa telah menemukan pelaku yang melukaimu tempo hari, dia akan mendapat hukuman yang setimpal.”

Adi menggeleng dengan kasar, pria muda itu tidak bisa berkata-kata saat beradu pandang dengan sosok di depannya. Mentalnya hancur, rasa malu dan bersalah mengerubungi jiwanya. “Cabut laporan Papa, Adi mohon cabut laporan Papa,” ucapnya pelan kepada sang papa.

Ardiyanti mengangguk menyetujui ucapan sang anak, perempuan itu mengusap lengan sang suami menyakinkannya untuk mencabut laporan. Pandangannya beralih ke arah perempuan yang tidak mengalihkan pandangan dari anaknya, jika biasanya adalah pandangan kagum dan mendamba dari perempuan muda yang lain, maka kali ini adalah pandangan penuh kebencian, amarah, dan juga rasa jijik yang menyelimuti.
.
.
.

STAY SAFE

semangat puasanya cantik 😖❤️

9 April 2023

AsmaralayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang