16. Kerinduan yang Mendalam

351 24 1
                                    

jgn lupa pencet love yah

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo enjoy

~~~~~

BTS – Epiphany

~~~~~

“Berhentilah memberiku harapan, karena aku tau karena kau memanfaatkan hanya untuk pelampiasan.”

~~~~~

Kehidupan kota memang luar biasa buruknya, entah dari suhu udaranya, kemacetannya, dan berbagai polusi suara di sekitar yang memekakkan telinga. Sebagai manusia desa yang baru saja menginjakkan kaki ke kota, Elang merasa kaget ketika membuka jendela di mana suara berisik langsung mengahampirinya. Namun ia juga takjub dengan bangunan bagus dan tinggi menjulang yang dia lewati sepanjang jalan.

“Ada apa El? Kamu butuh sesuatu atau mau minum gitu?”

Ardiyanti melemparkan pertanyaan kepada sang cucu ketika melihat Elang hanya diam dan termenung mengamati keadaan sekitar. Mungkingkah cucunya itu merasa tidak nyaman dan ingin segera pulang ke desa?

“Ah tidak mungkin, El kan sedang marah terhadap bundanya itu,” ucap Ardiyanti lirih.

“El, ada apa sayang?” tanyanya sekali lagi.

“Ah engga Nek, kota ternyata macet yah,” ujar Elang santai.

Ardiyanti menganggukkan kepala paham, biarkan saja mungkin Elang hanya perlu beradaptasi sebentar di sini dan nanti akan sudah terbiasa

Melepaskan pandangan mata dari sang cucu, perempuan paruh baya itu memusatkan perhatian kepada sang anak yang sedari tadi senantiasa diam seribu bahasa. Adi seperti anak perawan yang habis diperkosa saja, diam tidak banyak bicara. Seharusnya Widya yang diam termenung bukannya Adi, namun kenapa justru sang anak yang seperti ini?

Ardiyanti sampai sekarang juga masih bingung dukun mana yang digunakan Widya untuk menyetir Adi hingga seperti ini, di bawa ke psikiater juga tidak ada perubahan. Anaknya itu hanya tersenyum saat menerima panggilan telfon dari Widya ataupun hanya sekedar membaca pesan dari perempuan itu. Bahkan Adi menetralkan ekspresi wajahnya saat menerima proyek besar bernilai milyaran.

“Nak habis ini kita cari makan dulu yah, kasihan Elang sedari tadi belum makan.”

Seolah tersadar dari lamunannya, Adi menoleh ke belakang menatap anaknya cukup lama yang sedang memperhatinkan keadaan jalan sekitar. “Adi bisa ngga, Ma?” tanyanya tanpa suara terhadap sang mama.

Sang lawan bicara menganggukan kepala, ia menggengam tangan sang anak dengan kuat memberi semangat. “Bisa, insyaallah bisa Di.”

Dia tahu jika Adi merasa khawatir tidak bisa merawat Elang dengan baik, meskipun anaknya ini kasar namun dia berubah menjadi ayah yang baik terhadap anaknya. Ardiyanti sendiri juga tidak tahu kenapa dia begitu menyanyangi Elang, mungkingkah karena Elang cucu satu-satunya?  Atau mungkin dia juga terkena guna-guna dari Widya untuk menyayangi Elang?

Astagfirullah mikir apa sih, udah tua masih negatif thinking aja ke orang,” ujarnya dengan menepuk keningnya pelan.

***

Waktu yang begitu cepat berlalu membuat Elang tidak sadar bahwa ia sudah beradaptasi dengan kehidupan kota di sini. Teman-temannya juga sudah banyak, Elang menyukai rumah di sini karena semua serba ada. Mbak yang selalu menyiapkan keperluannya yang hampir menyamai sang Bunda. Fasilitas yang diberikan ayahnya memang tidak maiin-main, kamarnya saja begitu luas dengan berbagai hiasan kesukaannya.

“Ayah terlalu baik kepadaku,” ucapnya lirih menatap keadaan kamarnya.

Jika dulu kamarnya dingin karena suhu di desa memang sejuk, di sini kamarnya dingin karena ada 2 AC di atas ranjangnya. Kasurnya juga jauh lebih empuk dibanding kasur busa miliknya di desa. Dia terlena,  dia terlena dengan kebaikan hati sang ayah untuknya.

“Ayah baik banget sama El, Bunda.”

“Bunda apa kabar?”

Butiran air membasahi pipi putihnya, semakin berat rasanya jika mengingat sang Bunda. Ponsel yang berada di genggamannya hanya dia pandangi dengan sayu, bahkan sebulan di sini tidak ada panggilan suara dari sang bunda. Nomor dengan emoticon love di samping tulisan Bunda itu terlihat kosong, benarkah sang Bunda sudah tidak menyayanginya?

“El kangen Bunda hikss.”

Elang tidak bisa menyembunyikan rasa kangennya jika sudah berada di kamar, dia menjadi pemuda rapuh yang merindukan sosok sang bunda. Elang merasa durhaka terhadap sang bunda sejak perpisahan yang tidak sopan itu, namun apa yang bisa dia perbuat jika seperti ini akhirnya?

Ia segera menyeka air matanya saat mendengar deru suara mobil sang ayah yang memasuki rumah, sang ayah pasti akan masuk ke kamarnya untuk sekedar menepuk bahu ataupun mencium keningnya.

“Apa si El pakai nangis segala, kamu di sini hidup serba berkecukupan daripada harus tinggal sama Bunda. Walaupun Ayah gila kerja tapi kebutuhanmu enak tinggal bilang mbak, kalau dulu beli buku aja harus nunggu Bunda pulang kerja.”

Elang seperti membohongi dirinya sendiri, apa yang dia ucapkan tidak sama dengan apa yang ada di hatinya. Dia merindukan sosok sang Bunda melebihi dari siapapun yang ada di dunia, mungkinkah keputusannya pindah ke sini ini salah?

“El…. Udah tidur Nak?”

Seruan dari luar membuat Elang segera menarik selimut dan memejamkan mata, sang ayah tida boleh mengetahui jika matanya merah karena menangis.

Suara derit pintu yang dibuka memunculkan pria tinggi besar memasuki kamar sang anak, tersenyum lembut memandangi duplikat dirinya yang sedang tidur nyenyak itu. Ia mengatur suhu AC sesuai dengan kebiasaan Elang yang tidur dalam suasana sejuk, ia tidak ingin anaknya merasa tidak nyaman di sini.

“Kamu benar-benar duplikat Ayah, El.”

Adi berujar dengan menaikan selimut sebatas dada Elang, ia mengedarkan pandangan menatap keadaan kamar yang senantiasa rapi namun tidak dengan meja belajar Elang yang berantakan. Mungkin saja anaknya terlalu lelah hingga lupa membereskan meja belajarnya.

“Jangan membuatmu lelah hanya karena belajar El, uang ayah cukup hingga kamu mempunyai tiga cucu,” ujar Adi dengan sedikit kekehan. Ia memutuskan berjalan ke arah meja belajar anaknya untuk membereskan kertas-kerta yang berserakan itu, gerakannya terhenti saat melihat ponsel sang anak masih menyala.

“Bunda?”

Adi memfokuskan pandangan terhadap dua sosok yang tersenyum cerah ke arah kamera, Adi ikut menyunggikan sudut bibirnya mengetahui hal tersebut. “Kamu kangen Bunda ya El?”

Setelah merapikan meja Elang, Adi kembali berjalan ke arah ranjang dan mendudukan diri di samping sang anak. Pria itu menyadari dengan detail bahwa hampir di setiap tubuh Elang adalah foto copy darinya, warna kulit, hidung, alis, hingga bibir pun sama seperti dirinya. “Kenapa bisa semirip ini sih sama ayah, orang asing pun tahu sekejap mata kalau kamu anak ayah.”

“Ayah kasian sama Bunda yang nggak dapet apa-apa di kamu, padahal selama ini yang urus Elang kan Bunda yah. Ayah minta maaf nggak ada di proses pertumbuhan kamu El, ayah minta maaf.”

“Bunda hebat El bisa ngurus kamu sendirian, ditambah Bunda juga kerja keras buat kamu. Ayah malu dengan kemandirian Bunda, Elang beruntung punya Bunda Widya.”

Setelah mengucapkan itu, Adi membenarkan rambut Elang yang menutup mata. Ia menunduk dan memberikan kecupan singkat di kening sang anak.

“Eh?” Adi memegang bibirnya kaget, dengan segera meletakkan punggung tangan di kening sang anak. “El panas?” tanyanya kepada diri sendiri.

Setelah mengecek leher dan juga pipi Elang, Adi segera berteriak memanggil Ardiyanti. “Mama…. Mama….”
.
.
.

STAY SAFE

atas segala kesalahan yg pernah ayy buat mhn dimaafkan yah, salam sayang ayiek evrytanadha istri haechan 🙏🏻

31 January 2024

AsmaralayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang