13. Rencana

345 24 8
                                    

jgn lupa pencet love yah

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo enjoy

~~~~~

Denny Caknan cover Teteg Ati

~~~~~

“Percayalah bahwa tidak ada takdir yang salah mempertemukan jodoh yang sudah ditulis namanya oleh Tuhan.”

~~~~~

“Wah sepupu gue makin kaya aja nih, bagi duit napa.”

Diam tidak ada jawaban, pria yang tengah menggoda sepupunya itu merasa tidak bosan untuk menganggunya. Sepupunya yang dulu dingin dan sekarang bertambah dingin layaknya kulkas mahal dimiliki crazy rich ibu kota. “Senyum atuh Pak Adi, senyum sedikit nggak buat uang anda berkurang kok.”

“Tutup mulutmu Bima, aku tidak akan segan untuk mengirim dirimu dinas di luar kota besok pagi.”

Ucapan singkat dari Adi membuat Bima meliriknya dengan sinis, mentang-mentang memiliki kekuasaan pria itu bersikap dengan semaunya. Memang uang selalu berbicara di dunia yang fana ini, entah kaya, miskin maupun setengah kaya dan miskin menurutnya butuh uang untuk menyambung kehidupan yang akan datang.

“Heleh gitu aja diambil hati bang, jangan serius-serius amat jadi orang tuh daripada nanti cepet tua.”

“Emang udah tua, mau di muda-mudain juga nggak bisa,” ujar Adi singkat.

“Ya jangan jujur amat bung, tapi nggak masalah sih mau lo tua atau muda kan yang penting punya banyak uang pasti cewek juga bakalan nempel.”

“Udahlah nggak usah kebanyak omong, mau mampir ke rumah nggak?”

Bima menggeleng mendengar ajakan sepupunya, ia menggeleng dengan tegas. “Nggak dulu bro, lo lupa kalau gue udah ada malaikat kecil di rumah? Cinta banget gue sama anak gue, imut banget kayak gue waktu kecil.”

“Yaudah pulang duluan yah, bye.”

Melihat wajah bosan Adi yang selalu mendengarkan ceritanya membuat Bima menahan senyum, Adi mungkin saja cemburu karena hanya dia sendiri yang belum menikah diantara teman-temannya yang lain. Tentu ia tahu perkara apa yang membuat sepupunya itu belum menikah hingga sekarang, namun dia hanya memilih diam tidak ingin ikut campur lebih dalam kehidupan Adi.

Adi begitu senang melihat anaknya yang kedua ini karena mungkin ia teringat akan anaknya sendiri, entah di mana keberadaan anak Adi untuk saat ini karena pria itu benar-benar menyembunyikannya.

“Gue doa yang terbaik aja buat lo Di, kalau emang lo masih stuck di perempuan lama gue harap perempuan itu buka hati buat lo. Gue percaya sih Di kalau batu yang keras bakalan leleh selama dia di tetesin air secara terus-menerus, semoga usaha lo selama ini ada hasilnya,” ucap Bima melihat punggung Adi yang sudah menghilang.

***

Bunyi sendok beradu dengan garpu terdengar memenuhi ruangan megah nan besar, keheningan tercipta karena tiga sosok manusia di sana hanya diam menyantapa makanannya dengan tenang. Tidak ada pembicaraan berarti di antara mereka karena terlanjur lelah dengan kesibukan masing-masing.

“Rumahnya sepi banget yah, kalau ada anak kecil pasti ramai,” celetuk Ardiyanti memulai pembicaraan.

“Iya sepi Ma, mungkin jika anak kita mau menikah dan memiliki anak jelas rumah ini tidak akan sepi akan suara tawa,” sahut sang suami.

Pasangan suami istri secara terang-terangan telah menyinggungnya di depan mata, memang menyakitkan namun apa boleh buat jika memang itu kenyataannya.

“Mama kemarin bertemu dengan dokter spesialis terbaik di provinsi dan ak-”

“Tidak,” ucap Adi singkat memotong ucapan sang mama.

Ardiyanti hanya bisa menghembuskan napas lelah melihat perangai anaknya yang seolah anti terhadap perempuan, luka lama memang sulit disembuhkan meskipun sudah ada pengganti yang lebih menjanjikan untuk di bahagiakan. Dua belas tahun terlewati begitu saja, selama dua belas tahun itupun sudah berbagai cara dia lakukan untuk menikahkan sang anak namun selalu saja ditolak.

“Biarkan Mama selesai berbicara Adi, tidak sopan memotong perkataan orang tua seperti itu.”

“Maaf Mama.” Adi berucap dengan tenang dan melanjutkan acara makannya.

“Mau sampai kapan Mama dan Papa menunggu kepastian ini Adi? Setidaknya jika kamu sudah ada calon tolong sampaikan kepada kami, Mama dan Papa sudah terlalu tua untuk melihat bahagia.”

Ardiyanti memandang sang anak lurus ke depan. “Kamu sudah hampir kepala empat Nak, hanya karena satu perempuan kamu jadi seperti ini, Mama tidak tega melihatnya. Cepatlah menikah Nak, Mama ingin menimang seorang cucu,” ujar Ardiyanti pelan.
Mendengar semua keluh kesah dari sang mama membuat Adi menghentikan acara makannya, pria itu meletakkan sendok di atas piring dan meminum minumannya dengan sekali tegukan. Ia menatap sang mama dan sang papa secara bergantian, kerutan di wajah itu semakin jelas tak tertampik hingga membuatnya lupa bahwa waktu terus berjalan.

“Adi sudah menikah, Ma. Adi juga telah memiliki anak yang otomatis itu adalah cucu dari Mama, kenapa Mama sangat bersemangat menjodohkan aku?” tanya Adi dengan heran.

“Widya telah menolakmu selama dua belas tahun lamanya Adi, di mana urat malu yang ada dalam dirimu hingga mengemis-ngemis kepadanya selama ini hah?” tanya Andri terpancing emosi terhadap anaknya, “sudahlah lupakan saja perempuan itu dan mulailah kehidupanmu yang baru,” tambahnya.

Adi menggeleng dengan tegas, dia hanya akan menikah dengan perempuan yang dia sukai dan cintai. “Adi masih berpegang teguh pada janji Adi, Pa. Adi mohon biarkan Adi bahagia dengan pilihan Adi sendiri.”

“Separuh hidupmu telah terbuang sia-sia kepada ketidakpastian Nak, Mama mohon pikirkanlah lagi semuanya sebelum kamu menyesalinya di hari tua nanti,” ujar Ardiyanti memberi pengertian. Dia sendiri tidak habis pikir dengan sifat keras kepala yang tertanam di diri anaknya, dari mana sifat ini muncul dan menghancurkan semua egonya?

“Mama tidak perlu khawatir kare-, sebentar Ma.”

Adi pamit meninggalkan ruang makan untuk menjawab telepon dari seseorang yang tidak dia sangka-sangka, tidak ada angin dan tidak ada hujan namun kenapa seolah semuanya kebetulan? Adi tidak bisa berbohong bahwa tangannya saat ini gemetar hebat karena menerima sambungan telepon itu.

Assalamualaikum.”

Suara ini, suara lembut ini mau membuat hatinya berdebar hebat. “Wa-waalaikumsalam Widya.”

“Maaf telah menganggu waktu istirahatmu Adi, perpisahan Elang minggu depan perlu dihadiri oleh wali murid dan Elang menginginkan kehadiranmu jika kamu tidak sibuk.”

“Oh tentu, tentu aku akan hadir di hari perpisahan anakku. Kirim alamatnya saja, aku akan datang.”

Ardiyanti memicing mata saat mendengar nama anak yang diucapkan oleh Adi, perempuan setengah baya itu refleks berdiri menghampiri anaknya. “Elang udah mau SMP yah? Sekolah di sini aja biar mama yang nyiapin semua keperluannya,” ucapnya bersemangat. Dia sendiri tidak menampik bahwa cucunya memang tampan seperti anaknya, menjadikannya aset serius untuk meneruskan bisnis yang sedang dikejarkan oleh Adi.

“Tanya anaknya dulu Ma, kalau ga mau ya jangan di paksa.”

“Ya harus mau lah, udah terlalu lama Widya semena-mena sama kamu Di. Elang itu juga anak kamu, kamu berhak ngurus dia di sini. Mama gak tega lihat cucu mama makan tahu tempe setiap hari sedangkan di sini mama bisa makan enak, oke fine kamu ga mau nikah yaudah fine tapi mama minta cucu mama. Besok mama ikut jemput Elang!”ucap Ardiyanti final.
.
.
.

apakabar saudaraku wkwkwk maaf bru naik ke daratan nih authornya 😗

20 Desember 2023

AsmaralayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang