9. Penolakan

415 42 0
                                    

Selamat Membaca
Monggo enjoy

~~~~~

Olivia Rodrigo – Traitor

~~~~~

“Sesungguhnya pertolongan akan datang bersama dengan kesabaran.”

~~~~~

“Lancang!”

Gertakan keras keluar dari bibir mungilnya, tangan yang mengepal kuat beserta sorot mata tajam ditunjukkan oleh Widya. Perempuan itu terpancing emosi saat sang lawan bicara mengeluarkan kata-kata yang tidak ingin dia dengar sejak kejadian malam itu.

“Berpikirlah kembali sebelum mengucapkan sesuatu Tuan, tidakkah ucapanmu itu sebuah kebohongan yang luar biasa?”

“Ibu Widya,” panggil sang pengacara.

Widya sadar bahwa saat ini dia tengah dijebak, dia dengan segera menormalkan napas dan mencoba ke posisi awal yang tenang. Dia tidak boleh tenggelam dalam jebakan orang kaya di depannya ini, tidak boleh. “Ah sudahlah saya akan membuang-buang waktu jika terus berada di sini, lagipula masalah kecil seperti ini tidak perlu di bawa hingga ke meja pengadilan.”

Setelah mengucapkan itu, Widya segera meninggalkan ruangan kantor polisi dan berjalan menuju mobil pengacara miliknya. Dirinya yang di jemput menggunakan mobil dinas polisi membuatnya merasakan sensasi baru jika mobil penjemput terlapor tidak seburuk itu karena air pendingin di dalam mobil masih berfungsi dengan baik. Tidak buruk juga pikirnya.

“Saya antar pulang ke kantor Bu.”

“Tolong antar saya ke rumah saja Mas, saya butuh istirahat yang cukup menghadapi masalah sepele ini,” ujar Widya meminta bantuan.

“Baik Bu.”

Widya berdecak tidak suka saat seseorang di belakang memanggil namanya dengan lantang,  seolah ingin menganggu dirinya dan tidak ingin dirinya hidup tenang bagaikan orang-orang di luar sana.

“Widya… Nyonya Widya tolong tunggu sebentar,” ucap seseorang itu.

“Ada keperluan apa lagi nyonya, saya sudah memaafkan kesalahan anak anda dan suami anda, maka saya mohon jangan ganggu saya lagi.”

“Jangan seperti ini Widya, mari kita bicarakan semua hal dengan baik dan dengan kepala dingin.”
Widya menggeleng. “Saya tidak memiliki banyak waktu untuk itu nyonya, maaf jika kali ini saya menolak undangan terhormat ini,” ujarnya dengan kepala menunduk menolak dengan hormat.

“Aku mohon untuk kebaikan bersama.”

Kepala cantiknya menoleh ke belakang seolah meminta pendapat dari sang pengacara, mendapat anggukan pelan akhirnya dapat meluluhkan hatinya untuk membicarakan semua ini. “Baiklah akan saya tunggu di restoran table seven, dalam waktu setengah jam dari perjanjian belum ada yang datang maka akan saya tinggal pulang.”

“Di mana restoran itu?” tanya perempuan di depannya.

“Pengacara saya akan memberikan alamatnya kepada anda,” jawab Widya singkat dan memasuki mobil dengan tenang.

Semua respon yang diberikan dan ditunjukkan oleh Widya mampu membuat sang lawan bicara kesal bukan main, di aini lebih tua dari Widya namun kenapa perempuan muda ini seolah justru lebih ingin dihormati?

“Seberapa mahal harga dirimu anak muda hingga mempermainkanku seperti ini hah? Jika bukan karena masalah yang timbul akibat anakku, aku jika tidak mau repot-repot seperti ini,” ucap Ardiyanti dengan kesal.

***

Berada di ruangan VVIP dengan dinginnya AC yang menyelimuti seluruh ruangan tidak membuat beberapa orang di dalamnya berpikir dengan kepala dingin. Keringat bercucuran dengan lumayan membasahi salah seorang pemuda di sana, katakanlah dia pengecut.

“Maafkan kesalahan saya Nyonya Widya, saya menuduh hal yang kejam terhadap anda padahal anak saya yang lebih kejam melakukan kegiatan keji itu kepada anda.”

Widya tidak menanggap omongan orang di depannya dengan begitu serius karena dia tengah menatap makanan di depannya. “Tidak perlu lansung di ulti seperti itu Tuan, saya telah memesan makanan dan sebaiknya di makan terlebih dahulu daripada dingin,” ujarnya dengan mendekatkan makanan kepada pasangan suami istri di depannya, “makan-makan dulu lah kita, jangan terlalu di bawa serius,” tambahnya.

Ketiga orang itu saling berpandangan, mengangkat alis merasa bingung dengan sifat ramah yang ditunjukkan Widya.

“Apa? Kalian berpikir bahwa aku telah mencampur racun di dalam semua makanan ini?”

Mereka semua diam, bahkan pengacara Widya juga ikut terdiam dengan berdiri di samping sang nyonya.
“Oh ayolah aku tidak sekejam anak kalian untuk melakukan itu semua, lagipula hanya ada waktu setengah jam untuk mempersiapkan ini, jelas saya belum membeli racunnya.”

Melihat keterdiaman semua orang membuat Widya tidak mampu menahan tawanya, orang-orang ini benar takut jika dia telah meletakkan racun ke dalam makanannya. “Hahaha astagfirullah apa yang kalian pikirkan, saya tidak menaruh zat apapun di dalam makanan ini.”

“Saya ingin langsung kepada intinya Nyonya Widya, memang pada saat itu saya di bawah pengaruh obat perangsang dan tidak mampu menahan hasrat saya untuk bersetubuh dengan seseorang. Di pikiran saya hanya terlintas anda karena pada saat anda juga yang telah membantu saya berdiri, walaupun saya di bawah pengaruh obat namun saya masih bisa berpikir dan memilah siapa perempuan yang akan saya tiduri.”

Semua orang diam tidak terkecuali Widya, perempuan itu menjaga jarak dengan meja dan duduk tegak menghadap seorang pria tampan yang telah menodainya beberapa malam yang lalu.
Tidak punya malu pria ini.

“Saya salah dan saya mengakuinya, saya rasa kita sudah sama-sama dewasa dan tidak perlu mengambil banyak keputusan kecuali menikah saja. Umur kita juga sudah matang, dan saya ingin menebus semua kesalahan saya,” ujar Adi panjang lebar.

“Tidak perlu buru-buru menikah Tuan, masih banyak hal yang harus anda capai di dunia contohnya kewarasan.”

Deg.

Semua orang diam, perkataan Widya sudah terlalu di luar konteks pembicaraan mereka yang awal.

“Kenapa, tidak terima dengan perkataan saya?” tanyanya seolah menantang keluarga cemara di depannya. “Saya tadi sudah mengatakan jika think before you speak, tidakkah korban dari semua bencana ini memiliki trauma? Tidakkah dia perlu di beri pengertian untuk hidup tenang dan menikmati masa-masa suramnya?”

“Oh ayolah perempuan waras mana yang mau menerima pinangan dari sang pemerkosa? Jikalaupun ada maka perempuan itu juga tidak waras, saya beruntung masih diberi kewarasan oleh sang Maha Kuasa sebelum kembali lagi terjatuh di dalam lubang hitam yang pada akhirnya juga akan membunuh saya secara perlahan.”

“Jika boleh jujur saya ingin mencabik-cabik wajah anda dengan kuku saya, menguliti kulit anda dan menjualnya di pasar illegal. Namun apa boleh buat jika malaikat yang berada di tubuh saya lebih dominan, maka dari itu saya mohon lupakan semua ini dan mari hidup sesuai dengan hari-hari biasanya.”

Widya memasukan ponsel miliknya ke dalam tas bersiap untuk meninggalkan ruangan. “Saya baik-baik saja tuan, jangan merasa kasihan kepada saya. Anda tidak perlu bertanggung jawab atas apapun, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi mungkin memang sudah garis Tuhan. Tidak perlu merasa khawatir, tidak perlu merasa simpati karena saya bisa mengurus diri saya sendiri dengan baik.”
.
.
.

STAY SAFE

25 April 2023

AsmaralayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang