8. Perdebatan

384 37 3
                                    

Happy Reading
Monggo enjoy

~~~~~~

Happy Asmara – Rungkad

~~~~~

“Selagi hubungannya belum jelas jangan pernah cemburu di luar batas.”

~~~~~

Pandangan lurus ke depan sejajar dengan seseorang yang sedang dia tatap, tatapan tajam dengan segala sirat yang ada di dalam kepala. Orang lain yang melihat tatapan itu akan dengan mudah menyimpulkan bahwa seseorang itu tengah menyimpan sebuah dendam kusumat, bisa jadi orang itu juga akan membunuh seseorang yang ada di depannya. Tidak ada yang tahu bahwa nyawa seseorang akan dengan mudah hilang di tangan orang lain, semoga saja itu tidak terjadi.

“Saya mencabut laporan saya Pak, maaf atas keributan yang saya perbuat tadi,” ucap pria yang marah-marah tidak jelas beberapa saat yang lalu.

“Tidak apa-apa Pak Andri, saya memaklumi kekhawatiran bapak sebagai seorang ayah karena saya juga seorang ayah. Saya akan memproses suratnya, kedua belah pihak bisa berdamai dengan syarat yang telah ditentukan, baiklah saya akan membebaskan terlapor terlebih dahulu, permisi Tuan Andri,” ucap salah seorang polisi kepada pria yang diketahui sebagai Andri.

“Terimakasih Pak.”

Semua orang kembali sibuk dengan pekerjaannya, tidak terkecuali salah seorang polisi yang tengah membukan pintu sel tahanan terhadap perempuan cantik yang  terjebak di dalamnya. Tatapan perempuan itu mengerikan hingga dapat menembus dinding di depannya, semua orang yang tengah memperhatikan langkah perempuan itu seolah terhipnotis, begitu pula dengan seorang perempuan paruh baya yang terlihat meneguk ludahnya susah payah.

“Terimakasih pengayom masyarakat,” ucap perempuan itu kepada polisi di depannya.

“Memang lain perempuan ini.”

Ardiyanti berucap lirih saat mendengar kata yang dikeluarkan korban di depannya, niat awalnya yang ingin membangun sebuah hubungan baik menjadi terkubur karena intimidasi tatapan dari korban di depannya. Astaga dirinya bahkan bisa bingung kenapa bisa terjadi hal dejavu seperti ini, lagipula ini juga bukan sifatnya. Di mana sifat angkuhnya itu? Di mana jati diri sebenarnya hingga menghadapi perempuan muda di depannya saja seolah tidak berani?

Ah dia merasa malu.

“Mari pulang Mas, kita sudah tidak ada urusan lagi di kantor ini.”

Pengacara di samping mengangguk pelan, sedikit segan karena tidak bisa menyelamatkan terlapor, terlapor yang bersamanya bisa bebas karena adanya pencabutan laporan bukan karena dirinya. “Iya Ibu Widya, mari,” ucapnya mempersilahkan perempuan itu.

Widya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang berisikan banyak orang, orang-orang bermasalah semua yang ada di sini. Widya sebenarnya tidak sudi melihat seseorang yang telah menyakitinya, namun mau apa dikata jika orang itu ada di depannya dengan wajah menjijikan itu?
Mengesampingkan rasa sakit yang ada di dadanya, dia lebih baik segera pergi dan mengistirahatkan tubuhnya. Belum ada lima langkah dia berjalan, suara seseorang di belakang mampu menghentikan langkahnya.

“Saya mencabut laporan ini karena anak tersayang Nyonya, jika bukan karena kerendahan hati anak saya sebagai korban di sini, anda tidak akan bisa keluar dari jeruji besi.”

Widya mengulum bibirnya menahan tawa yang akan meledak, begitu lucunya dunia ini untuk dipermainkan. Dia membalikkan badan menghadap pelapor dirinya tadi, meneliti penampilan pria paruh di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Widya tidak tahu jika tatapannya itu telah mengundang amarah dari sang empu yang dipandang.

“Jaga tatapanmu Nyonya Widya, anda tidak pernah di ajari sopan santun oleh orang tua anda?” tanya Andri dengan nada tinggi.

Widya menyilangkan tangan di depan dada, mengangkat dagu tinggi tidak merasa takut dengan orang yang memiliki kekuasaan di depannya. Kenapa harus takut, lagipula masih sama-sama memakan nasi maka tidak akan takut.

“Tidak etis rasanya jika membicarakan masalah pribadi di ruang public Pak, bukan hanya aib saya yang akan terbongkar namun juga aib anak anda. Jika ingin membuat kesepakan mari kita berpindah ke tempat yang memang di khususkan ramah untuk berunding, jangan di sini.”

“Jangan bertele-tele Nyonya mari kita selesaikan di sini sekalian agar polisi juga menyaksikannya langsung, memang pada dasarnya anda salah. Menjadi perempuan malam hingga ingin menghilangkan nyawa anak saya. Bayaran anda kurang atau tidak puas dengan tubuh anak saya?”

“Papa!”

“Papa!”

Adi beserta Ardiyanti berteriak keras memperingati Andri, ayah sekaligus suami itu juga merasa terpancing amarah karena istri dan anaknya meneriakinya, bukan justru membela dirinya. “Apa? Kalian ingin menyangkal apa hah?”

“Kalian ingin membela pelacur malam ini hah? Buang jauh-jauh sifat simpatimu Mah, perempuan ini mencoba membunuh anak kita, apa yang ingin kau bela lagi dari perempuan ini?” tanya Andri dengan menunjuk Widya dengan jari telunjuknya.
“Jaga ucapan Papa, Papa tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.”

Ardiyanti memperingatkan sang suami, dia sendiri sudah ketar-ketir dengan keadaan di sini. Bisa dipastikan jika perempuan ini akan pergi dengan sendirinya karena telah dipermalukan oleh sang suami.

“Maafkan ucapan suami saya Nyonya Widya, sekali lagi maaf.”

Sang terlapor tersenyum manis, menganggukan kepala pelan-pelan menerima semua cacian dari sang pelapor. Semua sudah dia yakini di dalam hati jika akan baik-baik saja, jika dia juga tersulut emosi maka bisa dipastikan kantor polisi ini akan rubuh dalam beberapa jam di ke depan.

“Suami saya tidak tahu menahu tentang kejadian ini, mohon di maklumi. Suami saya hanya terbawa emosi karena mengetahui bahwa anaknya sedang dalam bahaya, sekali lagi saya minta maaf atas nama suami saya,” ujar Ardiyanti dengan sungguh-sungguh.

Andri semakin tersulut emosi, apa yang sedang dibicarakan istrinya saat ini? “Jangan merendah seperti itu Mama, ingatlah siapa kita!”

“Kita manusia biasa Papa, kita sama di mata Tuhan.”
Ardiyanti juga tersulut emosi, suaminya tidak tahu jika sang anak yang bermasalah. Namun justru memojokkan orang lain terhadap masalah tersebut. “Hiraukan ucapan suami saya Nyonya, sekali lagi maafkan dia. Mari kita berbicara serius tentang masalah ini dan mencari titik keluar dari semuanya.”

Widya tersenyum kecut mendengar rayuan manis itu, oh ayolah dia bukan anak kecil yang mudah diperdaya.

“Tidak perlu merasa segan seperti itu Nyonya, saya bukan siapa-siapa hingga mengharuskan Nyonya berbicara lembut seperti ini. Benar yang dikatakan suami anda jika saya merasa kurang puas, saya kurang puas mengetahui fakta orang yang sudah saya lukai masih bisa berdiri di depan saya dengan tenang,” ucap Widya meneliti pria tampan di depannya, “sepertinya goresan cutter yang saya layangkan kurang dalam hingga ke jantung, mungkin lain kali akan saya coba lagi,” tambahnya.

“Seharusnya orang itu masih terbaring di brankar rumah sakit, bukan sehat sentosa seperti ini. Ah saya masih menyesal tidak dapat membuat anak anda terluka, bisakah saya mengulangi kejadian malam itu?” tanya Widya meminta ijin.

“Tidak perlu repot-repot Nyonya, saya bersedia terluka jika memang itu keinginan anak saya,” ujar Adi dengan tenang.

“Lancang!”
.
.
.

STAY SAFE

Happy eid Mubarak guys, maafin ay yg suka ngaret ini yah 😭🙏🏻

23 April 2023

AsmaralayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang