17. Loh Jadi Siapa yang Sakit?

328 29 1
                                    

jgn lupa pencet bintang yah 🌟

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo enjoy

~~~~~

Glass Animals – Heat Waves

~~~~~

“Jangan pernah mempercayai sesuatu sesuatu yang baik menjadi nyata.”

~~~~~

Tender besar yang kemungkinan tidak disetujui tidak menjadi masalah untuknya, villa miliknya yang besar dan megah harus hancur karena bencana tanah longsor juga tidak membuatnya khawatir. Pria gagah itu berkeringat melihat anak semata wayangnya yang terbaring lemah di brankar rumah sakit, Elang hanya demam biasa namun sudah membuatnya kalang kabut.

“Ada apa dengan Elang Fin? Tidak mungkin Elang hanya demam biasa sebab tadi waktu perjalanan ke sini Elang menggigil, apakah perlu penanganan ekstra?” tanya Adi beruntun kepada dokter yang merawat Elang.

Dokter berkacamata itu menggeleng pelan, dia tidak menyangka respon temannya ini terlalu berlebihan. “Elang hanya demam biasa Di, normal jika Elang menggigil suhu tubuhnya diatas rata-rata suhu orang normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dude,” ucapnya.

“Jangan bercanda Fin, lo tahu bahwa Elang ini gue.”

“Iya gue tahu Di, gue tahu. Semua orang tahu jika Elang ini anak lo yang hilang di pedesaan karena ibunya nggak mau sama lo haha- aduh….”

Alfin meringis memegang perutnya yang baru saja mendapat hadiah bogeman dari Adi, ah pria ini tidak bisa diajak bercanda sebentar saja.

“Santai kenapa si Di, galak banget kayak ayam betina mau bertelur.”

Adi menghela napas pelan, ia mendudukan diri di sofa tempat rawat anaknya. Jika istilah di pesawat ada first class maka sama, ruangan yang dia pilih untuk sang anak juga terlalu nyaman dan luas. Tidak seperti satu ruang untuk tiga orang.

“Lo tahu kalau Elang baru sebulan berada di Jakarta Fin, gue gak mau nantinya anak gue gak betah sama ayahnya sendiri. Gue memang ayah yang buruk Fin,” ucap Adi dengan penuh penyesalan.

Dokter Alfin yang tadi tengah tersenyum tiba-tiba merubah raut wajahnya, dia merasakan apa yang dirasakan oleh sang teman. Menjadi ayah memang tidak mudah apalagi jika menjadi single parent.

“Jangan punya pikiran kayak gitu Di, jangan salahin sakitnya Elang gara-gara lo juga kali. Elang butuh penyesuaian, udara sini sama desa kan emang beda. Udah pokok lo jangan khawatir, gak akan ada hal buruk yang terjadi sama Elang. Bentar lagi juga sembuh kok, kalau Elang siuman jangan disuruh makan yang berat-berat.”

Adi mengangguk paham. “Thanks ya Fin.”

Alfin memutar bola matanya malas, pria di depannya ini terlalu banyak drama sejak ditolak cintanya. “Santai kayak sama siapa aja, pencet tombol darurat di atas ranjang kalau ada apa-apa yah. Gue duluan ya Di, ada pasien lain yang harus gue cek.”

Alfin melangkah keluar dari kamar yang bersamaan dengan masuknya Ardiyanti. “Eh Tante, duluan ya Tan.”

“Iya iya Fin, makasih ya Fin.”

Ardiyanti segera melangkah menghampiri sang anak yang terduduk lesu hingga membuatnya bingung siapa yang sakit sebenarnya di sini, anaknya atau cucunya?

“Mama udah beresin administrasinya Nak, gimana keadaan cucu mama?”

“Elang hanya demam biasa Ma, obatnya udah dimasukin lewat infus jadi tinggal nunggu Elang siuman aja.”

Ardiyanti mengangguk paham, tangannya terulur mengusap puncak kepala Adi dengan sayang. “Mama udah pesen makanan, nanti kamu makan ya Nak. Papa nyusul ke sini sambil bawain baju mama, biar mama aja yang jagain Elang kamu besok kerja.”

“Biar Adi aja yang jagain El, Ma. Nggak ada meeting kok besok, kalau Mama kan ada arisan keluarga.”

“Ya kali Di mama berangkat arisan sedangkan cucu mama terbaring lemah di brankar kayak gini, mama mana tega coba,” sanggah Ardiyanti menolak usulan yang diberikan anaknya.

“Ada mama sama Papa yang jagain El, kamu nggak usah khawatir.”

“Tapi El-” Adi tidak melanjutkan ucapannya saat sang ibu menyela.

“Nak kamu punya tanggung jawab besar ke perusahaan yang menentukan hidup El kelak, kamu punya ratusan karyawan yang menggantungkan hidup ke kamu Nak. Kamu besok masuk terus baru ijin, jangan sesekali pergi tanpa alasan karena apa? Karyawanmu akan mengikuti caramu, citramu akan menjadi jelek.”

Ardiyanti yang melihat anggukan kecil dari anaknya merasa lega, ia menyuruh sang anak untuk tidur terlebih dahulu biarkan dia yang duduk di kursi samping Elang. Elang ini memang cucunya, tidak ada yang bisa membantah jika Elang bukan anak Adi.

“Sakit apa sih El? Kamu nggak kasian lihat ayahmu khawatir banget kayak gitu? Cepet sembuh El, nenek pastiin kamu dapat apapun yang tidak kamu dapatkan saat bersama Bunda,” ucap Ardiyanti menyemangati Elang.

Setelah mengucapkan itu Ardiyanti bersiap duduk, belum sampai pantatnya menempel di kursi dia mendengar sang cucu berucap. “Eh?”

“Bunda….”

“El, sadar Nak.”

“Bunda….”

Adi yang memang sedari tadi terjaga mulai bangkit dari rebahannya saat mendengar sang mama berbicara kepada anaknya, berjalan ke arah ranjang Elang. “Ada apa Ma?” tanyanya.

Ardiyanti mengangkat tangan mengisyaratkan Adi untuk diam, Adi diam namun mendekatkan diri ke arah Elang. Hati pria itu teriris mendengar nama seseorang yang dia hindari, memang benar jika Elang tidak nyaman bersamanya.

“El tidur lagi sayang, tidur lagi kamu sakit jangan banyak gerak.”

Elang terbangun dari tidurnya, menatap interior rumah sakit. Remaja itu sadar jika di rumah sakit karena pergerakan tangannya susah bergerak karena terpasang infus.

“Bunda….”

Elang berucap tanpa suara, ia mengedarkan pandangan mencari keberadaan sang bunda namun nihil. Ia mendudukan diri dibantu oleh sang ayah. Perlu waktu lima menit bagi Elang untuk mengumpulkan nyawanya, hanya diam dan menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.

“Ada yang sakit El?” tanya Adi.

Elang menggeleng pelan. “Nggak ada ayah, cuma sedikit pusing aja,” ucapnya.

“Ini minum dulu El,” Ardiyanti menyodorkan segelas air putih ke Elang yang hanya diminum satu tegukan saja. 

“Makan yah?”

Elang menggeleng.

“Buah aja yah?”

Elang kembali menggeleng.

“Yaudah El lanjut tidur aja, ini masih malam juga.”

Elang hanya diam, pandangannya kosong bagaikan orang yang tengah memiliki banyak beban pikiran. Adi semakin merasa bersalah seolah menculik anak dan memisahkannya dari sang ibu, dia tahu bahwa cinta pertama anak laki-laki adalah ibunya.

“El kamu mimisan Nak,” ujar Ardiyanti hampir menjerit.

Adi yang tadi juga melamun ikut melihat ke arah Elang, dengan segera dia menekan tombol di atas ranjang. Dia melihat jika Elang seperti menahan sakit, hidung sang anak dibersihkan oleh perawat dengan telaten. Adi tersenyum kecut melihat Elang yang justru sakit-sakitan saat bersamanya. Entah itu flu, batuk ataupun radang tenggorokan yang selalu dikeluhkan Elang.

“Ayah udah telfon Bunda, Bunda besok kesini El. Elang harus sembuh, jangan buat Bunda sedih.” ucap Adi secara tiba-tiba.
.
.
.

STAY SAFE

duh ini gmna ayah adi kok el jdi sakit-sakitan gini 😳

6 February 2024

AsmaralayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang