14. Sengkuni

323 25 0
                                    

jgn lupa pencet love yah

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo enjoy

~~~~~

Guyon Waton - Pelanggaran

~~~~~

“Dia yang bertahan adalah deretan kesungguhan, meski yang diperjuangkan hanya bersikap sederhana.”

~~~~~

Keheningan pagi menyapa sosok tampan yang tengah duduk di teras rumah, menatap kumpulan awan hitam yang sudah berkumpul di atas siap menimpa apapun di bumi. Elang tidak tahu jika langit akan mendukung perasaan hatinya pada hari ini, hari perpisahan sekolah seharusnya merupakan hari bahagia namun entah kenapa hatinya gundah gulana. Perasaan cemas melingkupi dirinya, perasaan tidak rela juga menghampirinya.

“El gak mau kalau harus pisah sama Bunda.”

“El gak akan pergi kalau Bunda gak ikut.”

“El mau sama Bunda terus.”

Remaja itu meracau tidak jelas diiringi dengan tangan mengepal kuat. “El gamau sama Ayah.”

“Loh kok gamau si, kan Elang bisa beli apa aja kalau sama Ayah.”

Elang terlonjak kaget mendengar seruan dari depan, sosok nenek yang tidak menyenangkan tengah berdiri tepat di depannya. “Nenek kapan sampai?” meskipun tidak suka dengan sang nenek tapi Elang masih menghormatinya.

“Baru aja kok sayang, ih kamu makin mirip aja sama Ayah. Elang udah sarapan? Nenek bawa bento kesukaan kamu,” ujar Ardiyanti dengan menyodorkan sekotak nasi makan.

Raut bahagia mendatangi wajah Elang, ia memang suka terhadap setiap makanan yang dibawakan nenek ataupun ayahnya. Maklum di desa tidak ada yang menjual makanan seperti itu.

“Aduh cucu nenek pinter ih langsung salim.”

Elang terlena dengan semua pemberian hadiah dari sang nenek, makanan, minuman, bahkan handpone keluaran terbaru juga diberikan neneknya. Kegiatan unboxing hadiah itu tidak luput dari pandangan Adi, sosok pria dewasa dengan tatapan teduh melihat kebersamaan ibu dan anaknya.

“Silahkan masuk, anggap saja seperti rumah sendiri Nak.”

Adi menolehkan kepala dan tersenyum terhadap calon mertuanya yang tidak jadi-jadi itu. Selama dua belas tahun dia telah mencoba meruntuhkan pendirian Widya, selama dua belas tahun pula dia ditolak dengan sopan. Dia bisa saja menikahi Widya tanpa sepengetahuan Widya, namun jika dia melakukannya maka perempuan itu akan semakin membencinya. Jika ditanya apakah dia sudah lelah dan menyerah untuk ibu dari anaknya itu maka jawabannya adalah iya, ia sudah memutuskan untuk mengagumi Widya dalam diam.

“Iya Pak, Bapak sehat?” ujar Adi basa-basi.

“Sehat Nak, ini udah mau berangkat kah soalnya Widya berpesan acaranya jam sembilan pagi.”

“Iya pak, setelah ini langsung berangkat kok.”

Adi tersenyum masam mendengar Widya tidak berada di rumah, bagaimana mungkin perempuan itu egois dengan tidak hadir di acara perpisahan sang anak? Mengesampingkan emosi yang akan meluap-luap, Adi memilih untuk bergabung dengan anaknya. “Yaudah El ayo siap-siap berangkat.”

Adi mengetahui jika sang anak sangat canggung terhadap dirinya, kehadirannya yang hanya dua kali setahun berkunjung membuat jarak diantara dirinya dan juga Elang.

Acara sekolah yang dinantikan berjalan dengan lancar, para siswa terlampau senang dengan meriahnya acara. Sesi foto di isi dengan lancar hingga tiba giliran di mana Elang akan berfoto, remaja itu tampak gelisah dengan keringat yang menetes dari dahi. “Bunda kemana?” tanyanya kepada diri sendiri.

Adi yang melihat kegelisahan sang anak kemudian bertanya. “Ada apa El?” tanyanya lembut.

Elang tidak langsung menjawab namun tersenyum singkat dan melihat ke arah belakang, mencari sosok yang telah merawatnya dengan penuh kasih sayang. “Bunda? Bunda kemana, Yah?”

“Bunda?”

Adi seperti orang bingung, dirinya bahkan ikut bertanya selayaknya sang anak. Widya tidak akan mungkin berpamitan kepada dirinya, tentu dia bukan siapa-siapanya. “Tadi Bunda bilang dateng?”
Elang mengangguk.

“Yaudah tunggu aja sebentar lagi juga dateng.”

Waktu terus berjalan hingga tiba di mana dia akan maju ke depan untuk sesi foto, Elang semakin gelisah dan sedih. Remaja itu berjalan ke arah sang fotografer dan meminta untuk memita urutannya, namun sayang karena hal itu tidak bisa dilakukan karena sudah sesuai dengan NISN.

“Ada apa Di? Kenapa cucu mama terlihat resah seperti itu?”

Adi menolehkan kepala ke arah sang mama dan tersenyu singkat. “Nggak ada apa-apa Ma, Elang hanya gugup saja.”

Ardiyanti menautkan kedua alisnya merasa curiga, ia melihat jelas jika Adi tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Tidak ingin diam seperti orang linglung, Ardiyanti mengedarkan pandangan mencari sesuatu yang sedang dicari Elang. Ia baru menyadari jika semua orang tua di sini rata-rata terdiri dari ayah dan ibu, mungkin saja cucunya itu tengah menunggu sosok perempuan angkuh yang sayangnya sangat di damba oleh sang anak, siapa lagi jika bukan ibu dari Elang yaitu Widya.

Keberadaan Widya tidak terlihat di sorot matanya, memang perempuan itu seenaknya sendiri tidak memikirkan perasaan sang anak. “Oalah Elang lagi nyari Bundanya yah, iya El kamu lagi nyari Bunda?” tanyanya dengan menekankan kata bunda di setiap kalimat.

Anggukan pelan dari Elang membuat Ardiyanti semakin memupuk rasa tidak sukanya kepada Widya, kekuasaan yang dia punya seolah sirna karena keangkuhan Widya. Dia hampir bisa menculik Elang di masa kecil namun aksinya di gagalkan oleh Widya yang melapor ke polisi, maka dari itu wajahnya sudah ditandai oleh pihak kepolisian hingga sekarang.

“Perempuan angkuh sepertinya mana mungkin aku terima menjadi menantuku, jika pun iya maka kesempatannya akan sangat kecil,” ucapnya lirih. Ardiyanti berjalan menghampiri sang cucuk dan menepuk ujung kepalanya pelan.

“Udah gapapa El foto berdua aja sama Ayah, lagian foto sama Ayah atau Bunda juga sama aja kok.”
Elang menggeleng menolak pernyataan sang nenek, anak kecil beranjak remaja itu sudah tau arti dari keluarga retak miliknya. “Mau sama Bunda, Nek.”

Ardiyanti hanya bisa memutar bola mata malas mendengarnya, Elang seperti sudah di cuci otaknya oleh Widya hingga membuat cucunya selalu memikirkan Widya. “Sama Ayah aja gapapa, lagian kan foto Bunda bisa di edit digabung sama fotonya Elang,” bujuknya.

“Jangan sedih El, Bunda pasti dateng kok.” Adi menyemangati sang anak dengan menepuk bahu remaja itu, tidak bisa menyalahkan posisi Widya jika perempuan itu tidak bisa datang.

“Oke siap senyum semuanya, hitungan ke tiga yah. Satu, Dua, Tig-”

“Sebentar Pak…..”

Seruan lantang dari arah belakang membuat sang fotografer menghentikan gerakan kemudian segera mengarahkan seseorang yang berteriak itu untuk segera mengambil posisi di samping Elang.

“Bunda dateng?” tanya Elang tidak percaya melihat kedatangan sang bunda.

“Maaf Bunda telat, ayo senyum El,” ucap Widya mengarahkan kepala sang anak untuk menatap kamera.

Adi senang bukan main, setelah sekian lama akhirnya dia memiliki foto keluarga. Adi akan memberikan uang pesangon kepada sang fotografer atas jasanya ini.
.
.
.

STAY SAFE

maaf ya rek bru bsa update, kmrn charger laptop rusak jdi hrus nunggu paket charger dteng dulu hiksss. sekali lgi maaf chingu 🙏🏻😭

14 Januari 2024

AsmaralayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang