2

331 56 10
                                    

Dae Han merasa ada yang tidak beres setelah Yoo Shin memutuskan sambungan telepon. Lelaki itu segera melanjutkan perjalanan menuju kampus Ae Rae meski dengan banyak pikiran.

"Terimakasih, Dae Han," ucap Ae Rae saat turun dari motor yang dipinjamkan Yoo Shin. Dae Han hanya mengangguk singkat.

"Kalau begitu, aku pergi dulu," lelaki itu segera pamit.

"Soal yang tadi--" sahut Ae Rae, menghentikan Dae Han yang hendak memutar stang gas. "Maksudku, saat Yoo Shin meneleponmu. Apa ada masalah? Mungkin aku bisa bantu?"

Dae Han menatap Ae Rae dengan perasaan campur aduk sebelum kemudian menjawab dengan nada yang lebih ketus daripada yang dia inginkan.
"Bukan urusanmu!"

"Ah," Ae Rae terdengar tercekat dan tampak sakit hati. "Betul juga. Maaf."

Hal itu membuat Dae Han salah tingkah. Perasaan bersalah karena telah berkata kasar pada Ae Rae membuat lelaki itu membuang muka.

"Maaf, aku nggak bermaksud kasar," gumam Dae Han beberapa saat kemudian, batal untuk segera pergi. Ae Rae mengangguk singkat.

"Nggak masalah. Udah biasa, kok," sekali lagi Dae Han merasa hatinya tercubit, apalagi Ae Rae mengatakan hal itu sambil tersenyum masam. "Aku tau, apapun yang terjadi padamu tidak akan pernah jadi urusanku. Baik dulu, sekarang ataupun di masa depan. Terimakasih udah nganter sampai kampus. Aku harap ... Apapun masalahmu, akan segera selesai."

Lidah Dae Han menjadi kelu, ketika Ae Rae melempar senyum singkat sebelum masuk ke gedung kampus. Perasaan lelaki itu menjadi campur aduk selama memandangi punggung Ae Rae. Dia ingin menceritakan semuanya pada perempuan itu, tapi dia tau, dia tidak bisa melakukannya. Ae Rae pantas mendapatkan yang lebih baik dari dirinya.

Setelah menenangkan diri selama beberapa saat, Dae Han menyalakan kembali mesin motor. Begitu sampai di bengkel keluarga Kim, Dae Han melihat teman-temannya telah berkumpul di studio dengan Yoo Shin sebagai pusat perhatian. Itu adalah sesuatu yang tidak biasa.

"Ada apa?" Dae Han bertanya sambil meleparkan kunci pada Yoo Shin.

Jae Min melotot padanya, sementara Rae Hyun melirik Yoo Shin gugup. Yoo Shin sendiri, seperti biasa, tampak diam dan tenang.

"Aku nggak mau basa-basi," kata Jae Min, nada suaranya getas. "Ayo kita laporin orangtua mu ke polisi!"

Dae Han jelas kaget dengan permintaan Jae Min itu.
"Kenapa?" Tanya Dae Han, syok.

"Karena, gara-gara mereka--"

"Jae Min, stop," gumam Yoo Shin pendek. Jae Min menggertakkan gigi, beralih memelototi Yoo Shin.

"Tadi, debt collector datang kemari mencarimu. Dan, ugh, mereka sempat mengacak-acak bengkel," ucap Rae Hyun tanpa memandang Yoo Shin yang kalaupun kesal, tidak menunjukkan ekspresi.

"Hah?" Gumam Dae Han dengan hati mencelus. Bagaimana mereka tau tentang studio ini?

"Orangtua mu memberi tau mereka kalau kamu ada disini! Mereka datang ke sini nyari kamu, dan ngobrak-abrik bengkel padahal masih ada pelanggan dan pekerja yang lain!" Jae Min menyemburkan emosi yang sempat di tahannya pada Dae Han. "Nah! Bagaimana? Kamu setuju untuk memenjarakan orangtua mu, kan?"

Dae Han tidak menggubris Jae Min, tapi menatap Yoo Shin seolah menuntut penjelasan. Yoo Shin tidak menghindari pandangan Dae Han, tapi juga tidak buru-buru mengeluarkan suara.

"Ya, yang mereka bilang benar," ucap Yoo Shin beberapa saat kemudian. "Apa yang mau kamu lakukan?"

###

Yoo Shin sudah menduga kalau Dae Han tidak akan sanggup untuk melakukan tindakan tegas kepada orangtuanya. Lelaki itu hanya akan depresi dalam diam.

"Aku punya teman yang bisa membantu, mau aku kenalin?" Tanya Yoo Shin setelah merasa punya cukup energi untuk berbicara.

"Membantu dalam hal apa?" Tanya Dae Han dengan nada skiptis dan getir.

"Dalam banyak hal," jawab Yoo Shin singkat.

Dae Han melepaskan kedua tangannya dari kepala dan menatap Yoo Shin dengan mata menyipit.
"Siapa teman yang kamu maksud itu?" Tanyanya curiga. Yoo Shin hanya tersenyum sebelum meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Ada waktu?" Yoo Shin bertanya pada temannya di telepon, sementara Dae Han kembali ke mode depresinya. "Ada pasien sakit jiwa disini. Kamu bisa bantu?"

Yoo Shin melirik Dae Han yang sama sekali tidak bereaksi dengan kalimatnya barusan. Yoo Shin tersenyum tipis mendengar jawaban temannya di ujung lain telepon.
"Aku jemput jam berapa?"

Ternyata dia tidak perlu menunggu lama. Seorang perempuan berambut pendek sebahu yang terlihat kelelahan setengah mati baru saja keluar dari pintu utama gedung kampus.

"Bajumu kenapa?" Yoo Shin bertanya, memperhatikan cara berpakaian perempuan itu yang tampak seperti gembel alih-alih mahasiswi kedokteran.

"Memang bajuku kenapa?" Perempuan itu balas bertanya dengan wajah merengut. "Dimana temanmu yang sedang sakit jiwa itu?"

"Sedang menunggu di tempat lain. Ayo naik," jawab Yoo Shin, mengulurkan tangan pada perempuan dengan tinggi badan sekitar 160cm itu agar naik ke motornya.

"Belikan aku makanan dan kopi, aku perlu mengisi ulang daya hidupku," ucap perempuan itu, merambat naik ke atas motor Yoo Shin.

"Terserah," sahut Yoo Shin kemudian melajukan motornya.

Setibanya di bengkel, perempuan yang dibawanya benar-benar tertidur. Yoo Shin tidak menyadarinya, padahal hal itu sangat berbahaya. Dan bagaimana mungkin perempuan itu tidur dengan nyaman di boncengan belakang tanpa kehilangan keseimbangannya? Yoo Shin menggelengkan kepalanya tidak percaya. Entah terlalu mujur atau punya sembilan nyawa, yang jelas Yoo Shin belum pernah melihat perempuan itu terluka.

"An, bangun! Kita sudah sampai! An Na! Yun An Na!" Meski suara Yoo Shin sudah dalam taraf membentak, kelopak mata An Na hanya bergetar sedikit. "Aku akan membuang sandwich dan kopimu ke tong sampah dalam hitungan ke tiga!"

Ancaman itu sangat ampuh hingga mata An Na membelalak terbuka meski tampak linglung.

"Huh! Sudah sampai?" Tanyanya kemudian menguap lebar. "Bantu aku."

Yoo Shin mengangkat tubuh An Na dari atas motornya, mengambil tas dan makanan perempuan itu dengan satu tangan, sementara tangan lain membantu An Na berjalan. Semua hal itu dia lakukan tanpa protes.

"Sudah berapa lama kamu nggak tidur?" Yoo Shin bertanya sementara An Na menyeret kakinya tanpa tau kemana dia berjalan.

"Tiga hari," jawab An Na lesu. Yoo Shin mengernyitkan dahi, tapi tidak berkomentar.

Jae Min, Rae Hyun dan Dae Han masih ada disana, menunggu Yoo Shin dan temannya yang hampir tepar itu.

"Dia tidak apa-apa?" Dae Han terlihat cemas melihat kondisi An Na.

"Sekarat," jawab An Na dengan nada serak. "Kopi..."

An Na meraih udara kosong, dan Yoo Shin segera menyorongkan kopi yang dipegangnya ke mulut perempuan itu.

"Dia siapa?" Yoo Shin mendongak saat mendengar Rae Hyun bertanya. Di kursi yang lebih dekat, Jae Min memandangi An Na dengan satu alis terangkat tinggi.

"Panggil saja, An," lagi-lagi An Na menjawab sebelum kemudian berdiri tegak. Yoo Shin menangkap ekspresi kasihan di wajah Dae Han ketika melihat An Na. "Jadi, mana pasienku?"

"Duduk dulu, ceritanya agak panjang," kata Yoo Shin, menunjuk kursi yang tersedia di sebelah Jae Min.

"Ah, mereka bertiga? Semuanya?" An Na akhirnya menyadari dimana dia berada. "Masalahnya apa? Cinta segitiga?"

"Bukan," Dae Han menjawab sementara Jae Min mendengus.

"Sepertinya kamu terlalu mengantuk," ucap Rae Hyun memberi komentar.

"Kalau begitu, silakan mulai cerita," kata An Na, merebut kopi dari tangan Yoo Shin dan duduk di dekat Jae Min. Matanya yang mengantuk tertuju pada Dae Han.

###

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444H ya gaes...
Mohon maaf lahir dan batin ✌️

ACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang