16

269 50 35
                                    

Ditunggu komennya 😚
###
Sepeninggal Yoo Shin dan An Na, tidak butuh waktu lama untuk Jae Min menyusul keluar. Ketika ruangan itu hanya tinggal Rae Hyun, Ae Rae dan Dae Han, saat itu lah ponsel Dae Han berdering dan nomor tanpa nama muncul.

"Siapa?" Tanya Ae Rae, menatap Dae Han penasaran saat melihat nomor asing di ponsel lelaki itu.

Dae Han menggeleng tidak tau sebelum menjawabnya.
"Halo?"

"Im Dae Han?" Suara asing dari seorang lelaki membuat punggung Dae Han otomatis menegak.

"Ya, ini siapa?" Sahut Dae Han waspada.

"Kalau aku jawab, tentang hutang orangtua mu yang akan jatuh tempo minggu depan, apa kamu akan kenal siapa aku?" Sahut orang itu, sok misterius tapi membuat hati Dae Han mencelos.

"Apa yang kamu bicarakan? Aku sudah melunasinya beberapa minggu yang lalu," jawab Dae Han dengan nada getir. Dalam hati, dia sudah bisa menebak bahwa orang tuanya telah berulah lagi.

"Siapkan saja uangnya, atau kamu akan tau akibatnya!" Dan orang itu menutup telepon begitu saja.

"Dae Han?" Panggil Ae Rae cemas saat melihat wajah Dae Han menjadi kecut. Lelaki itu mengabaikan Ae Rae untuk menghubungi adiknya.

"Im Min Gi, kamu lagi dimana?" Dae Han yang awalnya hendak menyapa dengan ramah, lebih dulu curiga mendengar suara-suara aneh dari pihak adiknya. Padahal seharusnya, adiknya saat ini masih di sekolah.

"Warnet," jawab Im Min Gi tenang. "Tumben tanya, kenapa?"

"Kamu nggak sekolah?" Tuntut Dae Han, merasa tidak terima karena dia sudah membayar lunas seluruh biaya sekolah adiknya yang sempat menunggak.

"Ck! Kalau mau ngomel, aku matiin, nih?" Ancam Im Min Gi, cuek.

"Nggak, tunggu!" Cegah Dae Han, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Ibu dan ayah main judi lagi?"

"Lo? Kamu kaget?" Balas Im Min Gi heran.

Dae Han menggigit bibir, menahan sakit hati sementara Ae Rae dan Rae Hyun saling bertukar pandang.

"Ya sudah kalau gitu," jawab Dae Han, kembali mengalah pada akhirnya. Begitu menutup sambungan telepon, Dae Han terpuruk lagi, menutup wajahnya dengan tangan hingga tidak ada yang bisa melihat bagaimana ekspresinya saat ini.

Tidak lama setelah itu, ponselnya berbunyi lagi, kali ini dari wali kelas Im Min Gi. Pasti untuk menanyakan keberadaan adiknya, batin Dae Han, sudah menyiapkan alasan untuk keabsenan Im Min Gi.

"Selamat malam, Pak Ko," sapa Dae Han ramah, terdengar baik-baik saja terlepas dari kejadian beberapa saat yang lalu.

"Selamat malam juga, maaf mengganggu, tapi apa anda tau mengenai keabsenan Im Min Gi hari ini?" Pak Ko menyahut, langsung ke intinya dan terdengar benar-benar khawatir. Sepanjang yang Dae Han ingat, Pak Ko adalah satu-satunya guru yang benar-benar peduli pada adiknya.

"Ah, maaf saya lupa menyampaikan kalau Im Min Gi sakit," jawab Dae Han, berbohong dengan amat lancar.

"Ah, begitu rupanya," sahut Pak Ko, menghela napas lega. "Saya harap Min Gi segera sehat," lanjutnya.

"Terimakasih atas doanya," sahut Dae Han, tersenyum sedikit mendengar ketulusan dari walikelas adiknya.

"Maaf, saya ingin bertanya tentang biaya sekolah Min Gi yang masih menunggak. Kira-kira, kapan akan di lunasi? Saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengulur waktu, tapi kalau tidak kunjung di bayarkan, saya takut Im Min Gi benar-benar harus meninggalkan sekolah," ucapan Pak Ko selanjutnya membuat Dae Han membatu.

"Bukankah seharusnya semua sudah lunas?" Sahut Dae Han bingung.

"Ya?" Pak Ko juga terdengar bingung.

"Saya sudah menitipkan uangnya pada Min Gi beberapa minggu yang lalu--" Dae Han menjawab dengan nada tercekat. Lelaki itu kemudian sadar, bahwa kemungkinan Im Min Gi sudah memakai uang yang diberikannya untuk hal lain. "Ah, tidak. Saya akan membayar secepatnya."

Pak Ko juga tampaknya menyadari sesuatu dari ucapan Dae Han dan tidak mendesak lebih jauh. Wali kelas Min Gi itu kemudian memilih untuk menutup sambungan telepon.

"Dae Han?" Rae Hyun dan Ae Rae memanggil dengan nada terkejut saat Dae Han tidak bisa lagi menyembunyikan air matanya.

###

An Na membawa Yoo Shin ke sebuah tempat penyimpanan alat-alat SST (Special Service Tools) dan bersidekap.

"Nah! Sekarang, katakan apa maumu?" Ucap An Na.

"Kupikir kamu yang ingin bicara?" Balas Yoo Shin sama tenangnya dengan perempuan itu.

"Jujur saja! Kamu sedang ingin bunuh diri?" Sahut An Na dengan nada menuduh. "Cuma itu alasan kamu ngotot ingin melanjutkan misi ini, kan?"

"Tentu saja, enggak," sahut Yoo Shin, membantah dengan satu alis terangkat tinggi. "Aku nggak punya alasan lain, kecuali yang sudah aku ucapin tadi."

"Kamu mau bunuh teman-temanmu?" Kini An Na terdengar seperti menahan tawa geli. "Kamu umpanin mereka ke mafia?"

"An..." Gumam Yoo Shin, menghela napas lelah.

"Terus kenapa? Aku masih nggak paham!" Balas An Na, tidak sabar. "Kita semua dalam bahaya, Shin! Apalagi kamu! Kamu sendiri tau, nama 'Demon' itu semacam umpan menggiurkan di pasar gelap! Harga kepalamu itu lebih mahal daripada harga kepala Presiden!" Omel An Na penuh emosi.

"Kalau kita hati-hati, kita nggak akan ketangkap," jawab Yoo Shin, menenangkan.

"Siapa yang bisa jamin?" Bentak An Na.

"Aku yang jamin," balas Yoo Shin lagi. "Kamu akan punya sejuta ide untuk selamatkan kita semua. Aku jamin itu."

"Kamu gila!" Sembur An Na, semakin geram. "Kamu pikir, aku akan setakut ini kalau aku punya banyak ide? Kamu pikir, kamu sanggup dengan akibatnya kalau aku gagal dan semua temanmu terbunuh?"

Yoo Shin terdiam sesaat, lalu menyentuh puncak kepala An Na lembut. Biar bagaimana pun, An Na tau sisi terburuk dirinya dan Yoo Shin tau perempuan itu sedang khawatir.

"An," gumamnya pelan. "Kamu sudah tau bagaimana Dae Han dan hidupnya. Aku minta bantuanmu, karena aku tau kamu sanggup."

"Dengan catatan, tanpa melibatkan mafia dan semacamnya," An Na kembali mendesis galak. Yoo Shin tersenyum kecil.

"Semuanya akan baik-baik saja, karena kamu nggak bekerja sendiri. Kita punya tim, dan kita bisa dapatkan segala sesuatu yang kita butuh," kata Yoo Shin, membujuk. "Kalau pun hal terburuk terjadi, kita akan selamatkan mereka apapun resikonya. Aku janji!"

Mata An Na memicing, memastikan ucapan Yoo Shin serius. Ekspresi An Na mulai melembut setelah beberapa saat. Perempuan itu menghela napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri.

"Awas kalau kamu berani punya pikiran untuk bunuh diri," An Na bergumam mengancam. "Ingat saja, kalau nyawamu itu punyaku!"

Yoo Shin tergelak geli, memeluk tubuh An Na yang hanya sebahunya itu dengan lembut.

"Iya, aku tau," jawab lelaki itu, terdengar lega.

###

ACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang