Yoo Shin mematikan sambungannya dengan yang lain, melepaskan tangannya yang lain yang sejak tadi membekap mulut An Na. Perempuan itu langsung tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk rumah Tuan Rui yang sudah setengah hancur.
"Kamu lihat itu?" Tanyanya, menunjuk bangunan yang baru saja meledak dengan senyum lebar kekanak-kanakkan.
"Aku bukan orang buta," sahut Yoo Shin, mendesah panjang.
"Hahahahhahahaa! Sudah lama aku nggak merasa sesenang ini!" Kata An Na. Yoo Shin mengalihkan pandangan, memastikan tidak ada orang lain yang bisa mendengar histeria An Na. "Cukup untuk menghilangkan kekesalanku."
Yoo Shin geleng-geleng kepala sebelum menarik tangan An Na lagi.
"Ayo, kita harus segera pulang. Mumpung kamu punya alasan yang bagus," katanya."Shin," An Na memanggil beberapa saat kemudian, yang di jawab dengan gumaman singkat. "Soal tato itu, apa kamu nggak mau kasih tau yang lain?"
Yoo Shin berhenti berjalan untuk menatap An Na. Entah mengapa, ada raut menyesal dan bersalah di sana.
"Apa yang kamu khawatirin?" Tanya Yoo Shin pada akhirnya.
"Yah..." An Na mengangkat bahu. "Kayaknya tato itu nggak begitu berpengaruh disini. Maksudku, kalau ternyata benar-benar nggak berpengaruh, aku bisa nyeret semuanya ke dalam bahaya, kan?"
"Kenapa kamu mikir gitu?" Yoo Shin menahan senyum geli.
"Kamu tau kenapa!" Tukas An Na kesal. "Aku pikir, tato itu bisa untuk ngelindungin kalian! Nggak kusangka, orang macam Rui berani mengabaikan tato itu! Kalau ternyata tidak berpengaruh, atau malah justru menarik pihak lain untuk mendatangi kita mmhh--?"
Yoo Shin tidak tahan, dengan cepat di tariknya tubuh An Na mendekat untuk mencium bibir perempuan itu. An Na terbelalak kaget.
"Nggak usah panik begitu. Aku pikir rencanamu sudah bagus. Tinggal menunggu alat-alat yang dibuat Jae Min dan Rae Hyun jadi," sahut Yoo Shin dengan nada pelan. "Atau, kamu bisa laporin ini dan nunggu balasan dari sana."
An Na terdiam memikirkan kata-kata Yoo Shin sebelum akhirnya mengangguk. "Tapi, apa menurutmu lebih baik kita katakan saja pada yang lain? Biar gimana pun, ini bisa jadi bahaya."
Yoo Shin melepas jasnya dan menyampirkan jas itu ke tubuh An Na. "Terserah kamu saja," katanya, kembali menggandeng tangan An Na. "Tapi, mereka pasti akan tanya macam-macam, kan?"
An Na diam, tidak menjawab.
"Kita bisa ngelakuin ini tanpa mengikutsertakan kelompok lain," lanjut Yoo Shin. An Na kemudian mendesah panjang.
"Aku bodoh karena nyuruh kamu pakai tato itu kalau mereka macam-macam," gerutunya, masih menyalahkan diri sendiri.
"Nggak, kok. Kalau bukan karena itu, aku, Dae Han dan Rae Hyun pasti sudah jadi bangkai sekarang. Kamu sudah dengar sendiri, kami ditodong pistol," bantah Yoo Shin lagi. "Semangat, dong! Kalau kamu mulai ragu dengan rencanamu, bagaimana dengan yang lain?"
"Shin, kenapa kamu minta aku buat bantu masalah Dae Han?" Sekali lagi, Yoo Shin berhenti berjalan untuk menatap An Na. Raut cemberut perempuan itu membuatnya tersenyum kecil.
"Karena kamu punya segalanya, hal yang bisa bantu Dae Han," jawab Yoo Shin jujur. "Dari segi manapun, dalam aspek apapun, kamu bisa bantu kami."
"Wah, kalau di dengar secara langsung, ternyata bikin sakit hati, ya?" Gumam An Na, menyindir. "Jadi, kalau aku nggak kaya, nggak pintar, nggak... Problematik, kamu nggak akan ngenalin aku ke yang lain?"
"Nggak," jawab Yoo Shin mantap. "Buat apa? Nggak berguna, kan?"
"Wah!" An Na ternganga mendengar pengakuan kurang ajar itu. Yoo Shin kembali tersenyum dan menarik tangan An Na ke dadanya.