Ditunggu vote dan komennya!
###
Semua berdiam diri setelah An Na menyelesaikan ceritanya mengenai keadaan mereka dan juga masalah Min Gi. Tentu saja, Dae Han lah yang tidak bisa berkutik meski sebelum sempat marah besar.
"Tetap saja, menurutku nggak perlu nambah anggota lagi," Dae Han akhirnya bergumam. "Ini terlalu bahaya buat Ae Rae."
"Aduh! Iya! Buat kami yang lain nggak bahaya sama sekali, kok!" Sindir An Na. "Lagian, kami juga kasih pilihan sama Ae Rae sebelumnya!"
"Jujur saja, sampai sekarang aku belum ngapa-ngapain. Maksudku, yang bisa dikatakan 'bahaya'" sahut Rae Hyun.
"Iya, kan? Dae Han cuma overprotektif saja, kan?" An Na menimpali Rae Hyun dengan nada mengeluh.
"An benar," Ae Rae juga berbicara. "Mereka memberiku pilihan, dan keputusan akhir tetap berada di tanganku. Seperti yang kamu lihat, ini lah yang aku pilih."
"Apa kamu nggak sadar kalau yang kamu lakuin ini hal yang paling berbahaya?" Dae Han melotot pada Ae Rae sebelum beralih pada An Na.
"Nggak mungkin Ae Rae yang menyusup ke SMA Saerim, kan?" An Na kembali mengeluh, tampak mulai muak dengan sikap Dae Han. "Kamu tau? Kamu harus mulai belajar menerima kalau banyak hal di dunia ini yang tidak sesuai dengan maumu."
"Apa!" Dae Han kembali geram. Dia tidak menyangka, teman baru yang dibawa Yoo Shin ternyata sangat menyebalkan. Mereka bahkan belum saling kenal, tau apa An Na tentang dirinya?
"Sudah cukup!" Jae Min menggebrak meja. "Dae Han, selain ini adalah pilihan Ae Rae sendiri, kami semua juga berpikir ini adalah cara terbaik! An tadi bilang akan mengikuti rencanamu kalau kamu punya cara lain. Nggak perlu terus-terusan debat tentang hal ini!"
An Na tersenyum ke arah Dae Han, senyum penuh kemenangan.
"Lagian, kalian kan sudah putus. Kamu nggak punya hak untuk ngelarang Ae Rae," tambah Rae Hyun, membuat Dae Han tersentak.
"Ini adalah masalahku," Dae Han mengingatkan.
"Dan seingatku, kamu minta bantuan kami. Jadi, bukannya itu artinya ini juga urusan kami?" Sahut An Na. Ae Rae berdiri dan memihak An Na.
Ae Rae melihat raut cemas di mata Dae Han saat lelaki itu menatapnya. Ae Rae hanya tersenyum kecil, tidak berniat mundur dari rencana mereka.
"Selain itu, percuma kamu khawatir ke Ae Rae. Aku jamin dia tidak akan kenapa-napa," An Na meraih dan menggenggam tangan Ae Rae yang berdiri di sampingnya. "Kami sedang berusaha mengumpulkan dan membuat peralatan yang bisa menjamin keselamatan kita meski dalam jarak jauh. Menurutku, seharusnya kamu lebih mengkhawatirkan adikmu."
"Ah, benar! Berapa jumlah uang yang perlu di bayar Min Gi?" Ae Rae bertanya kepada An Na.
An Na mengeluarkan amplop dari dalam tasnya, mengulurkannya pada Dae Han. Wajah lelaki itu menjadi bingung melihat tagihan sekolah adiknya.
"Ini nggak mungkin! Aku sudah kasih Min Gi uang SPP setiap bulan! Kenapa disini masih ada lagi?" Dae Han memprotes.
"Sudah jelas, Min Gi nggak bayarin," jawab An Na. "Tapi masalah itu bisa menunggu." An Na meraih lengan Yoo Shin yang sejak tadi diam di hadapannya. "Lebih baik kalian menjual lukisan itu secepatnya."
Yoo Shin mengangguk dan mencari ponselnya yang entah berada di mana. Sementara keadaan sudah lebih tenang, An Na menoleh ke arah Ae Rae.
"Apa kamu sudah punya cukup informasi?" Tanyanya.
"Belum. Baru sampai ke organisasi di tempat itu saja. Aku tau, ada bos yang lebih besar, yang memegang semua tempat judi di daerah itu, tapi belum banyak yang bisa aku laporkan," jawab Ae Rae.