Dua

89 6 0
                                    


Kiran yang ingin berucap entah mengapa merasa letih dan lunglai.

"Bie, gadis manis. Aku akan menjadi pengagummu untuk selamanya. Kau harus bangga ada artis yang menyukai gadis pendiam seperti kamu. Aku akan jadi artis terkenal meski telah mati dan bangkit lagi. Kamu akan selalu mengingat itu"
Senyuman khas Randu seakan menenggelamkan Kiran.

Kiran masih mengingat, bagaimana ia dan Randu bertemu.

Saat itu, suasana Negeri ini masih carut marut.

Setelah pemimpin negeri dikudeta untuk turun, keadaan ekonomi rakyat sangat krisis.

Pengangguran merajalela, perampokan, pencurian, bahkan pembunuhan ada di mana-mana.

Kiran sebagai pegawai perusahaan penerbitan, mendapatkan tugas untuk mewawancarai beberapa tokoh penting yang suka menyuarakan nasib rakyat pasca pemimpin lama diganti pemimpin baru.

Siang itu, Kiran memasuki area kesenian teater yang sering mengadakan pertunjukan, untuk menghibur petinggi-petinggi penting yang ada di kota propinsi.

Maklumlah, jaman sulit ini, harus ada hiburan baik untuk kalangan elit, maupun rakyat jelata.

Suasana ruang teater sedang ramai oleh pelaku-pelaku seni, mulai dari penataan panggung, lampu, bahkan penata musiknya.

Rupanya Kiran sampai, tepat pada saat mereka selesai briefing.

Astrada Randu mempersilahkan Kiran duduk di kursi yang biasa dipakai sutradara untuk mengamati langsung jalannya latihan pertunjukan.

Asap tembakau mengepul mengiringi kedatangan Randu.

Ya, sepertinya dia tidak bisa lepas dari benda sebesar jari itu.

Melihat tamu dengan paras yang cantik membuat bibirnya menyunggingkan senyuman.

"Hai.... Saya Randu Hutama"
Randu menggosokkan tangannya di kemeja lusuh yang melapisi kaos oblongnya.

"Kiran Larasati"
Sambut Kiran dengan tenang dan nampak profesional.

"Oh, jadi Anda yang akan mewawancarai saya hari ini?" Tanya Randu Basa basi. Entah mengapa ia ingin Kiran berbicara terus dengannya.

"Iya, saya dari koran Media Expres. Apa saya datang tepat waktu?" Kiran melirik rekan-rekan Randu yang nampak sibuk dari tadi.

Hanya beberapa orang lelaki yang menggoda Randu karena akan duduk bercengkrama lama dengan Kiran.

"Oh...jangan kuatir, mereka mengerjakan tugas mereka masing-masing. Kebetulan hari ini penata panggung harus merampungkan tugasnya."
Randu tersenyum lagi.

"Kalau begitu, Bisa kita mulai?"

"Silahkan.."
Randu mematikan rokoknya. Ia menyadari Kiran tidak nyaman dengan asap tembakau.

"Bagaimana peranan teater Anda sejauh ini untuk kemaslahatan orang-orang sekitar?"

"Teater kami merupakan sarana hiburan yang bisa dijangkau saat ini oleh semua kalangan. Karcis yang kami jual juga hasilnya untuk perbaikan jalan, sumbangan ke warga miskin, bahkan teater kami memegang peranan penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat, tentang isu terkini yang tengah berkembang di dalam negeri."

"Maksudnya informasi seperti apa spesifiknya?"

"Informasi tentang program pemerintah pasca reformasi. Keadaan sebenarnya negeri kita sekarang seperti apa dan langkah apa yang harus dilakukan rakyat untuk menghindari kekacauan politik dan ekonomi sekarang ini. Saya sadari, banyak kalangan atas yang tidak suka dengan apa yang kami programkan. Mudah-mudahan ada jalan keluar yang bisa membuat mereka dan kalangan bawah berdamai."

Itulah saat pertama Kiran bertemu dengan Randu. Setelah itu ada pertemuan kedua, ketiga dan seterusnya.

Tentu saja Kiran heran mengapa mereka terus bertemu.

Malam ini, tak disangkanya akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Mereka dalam satu mobil dan dalam keadaan hampir tidak sadar.

Mereka tengah diculik, untuk dijadikan tumbal sebuah jembatan yang tengah dibangun, dekat dengan desa Kiran berasal.

Jangan lupa coment ya...

Pusara Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang