Dua Puluh Empat

31 6 0
                                    

Mata Safitri langsung memerah mendengar Ayahnya difitnah seperti itu. Nandi Hanya tersenyum puas dengan Safitri yang sudah kalah debat.

"Bohong! Pasti kamu ngarang kan anak gembel?!" Teriak Safitri yang hampir meneteskan air mata.

"Kalau kalian nggak percaya coba periksa nanti pulang." Sahut Nandi santai.

Safitri pulang ke rumah dan mengadukan tuduhan Nandi ke ayahnya.

Alangkah murkanya Adik ipar dari kepala desa itu, tapi dia diam saja, tidak berani berbicara membuat Safitri percaya dengan apa yang dikatakan Nandi.

Ayahnya telah menculik orang untuk dijadikan tumbal jembatan. Hatinya hancur, dan rasa malu membuatnya membenci Ayahnya yang tidak berbicara apalagi menyangkal.

😱😱😱😱

Hari begitu panas. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, ketika Randu telah sampai di dekat jembatan yang tidak jauh dari rumahnya.

Sudah menjadi rutinitas setiap hari Randu dan teman-temannya yang tidak mampu naik angkot untuk lebih memilih jalan kaki dari sekolahnya yang berada di desa seberang jembatan.

Setiap akan melewati jembatan Randu akan teringat peristiwa bulan lalu yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Bagaimana ini Pak Mandor, kayaknya ada yang melihat kelalaian itu. Anak-anak di sekolah SD semuanya sudah tahu."

Randu menghentikan langkahnya di balik tiang jembatan. Nampak di sisi jembatan ada material sisa pembangunan yang menumpuk, sehingga bisa menutupi keberadaan Randu. Ia mencuri dengar ada orang lain yang sedang bercakap.

"Sudah bereskan tembok itu. Potong saja dan... Cungkil saja matanya. Akan kubawa pulang untuk patung kucing di rumah. Beri pelajaran yang suka melihat hal yang tidak seharusnya."
Sosok laki-laki itu pun membuang puntung rokoknya dan menggilasnya dengan sepatu pantofel miliknya.

Dengan elegan, ia mengeluarkan amplop kuning yang berisi uang yang banyak dan menyerahkannya kepada seseorang yang ada di depannya.

Randu menatap seseorang yang berjalan menuju mobil mewah dengan seseorang yang sedari tadi menunggunya. Tidak lama mobil mewah membawa pergi sang mandor.

Saat Randu akan mengintip teman bicaranya tadi, ia sudah tidak menemukan siapapun di sana. Nampaknya orang tadi mengetahui keberadaan Randu.

Randu pulang dengan hati yang resah. Apalagi keberadaan empat jari itu telah raib ditutupi dengan campuran semen baru.

'Apa mungkin Nandi menceritakan hal tersebut kepada orang lain?'
Pikiran Randu sudah tidak tenang lagi.

"Assalamualaikum, Ayah, Ibu! Nandi!?"

"Wa Alaikum salam, Randu? Kenapa berteriak seperti itu nak?"
Tanya Ibu Ria dengan bingung.

"Nandi mana Bu?" Randu masih tidak sabar.

"Belum pulang nak..."

Jangan lupa votment ya..

Pusara Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang