Tujuh Belas

33 6 1
                                    

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!"

PRANG!!!!!

Lengkingan suara dari mulut Kiran seakan ingin membelah ubun-ubun Dedy. Lengkingan itu juga mengakibatkan kaca vestafel retak dan pecah berkeping-keping.

Tubuh Kiran luruh jatuh ke lantai dan nampak tak sadarkan diri.

Dedy segera mengangkat tubuh Kiran dan membawanya ke sofa panjang di ruang istirahat kantor.

Beberapa karyawati segera mengerubungi Kiran dan melakukan pertolongan padanya, seperti membuka sepatu, melonggarkan ikat pinggang dan memercikkan minyak kayu putih ke hidung dan lehernya.

😱😱😱

Kriiiiiiing!

Bunyi suara jam weker menyadarkan Kiran yang sudah istirahat di dalam kamar kosnya.

Eka dan Syisi ikut terbangun melihat tubuh lemah Kiran bergerak.

Rupanya mereka menemani Kiran tidur semalam setelah Kiran diantar pulang oleh Dedy dan Saras dalam keadaan tak sadarkan diri.

Tengah malam tadi, suhu tubuh Kiran sempat meningkat. Ini disebabkan Kiran tidak sarapan dan kecapean.

"Mau makan?"
Eka membantu Kiran menyandarkan tubuhnya ke dinding untuk duduk di ranjangnya.

Dari semalam Kiran belum makan karena lama baru sadarkan diri.

Pagi ini saja tubuhnya masih panas akibat lapar dan belum makan obat.

Kiran hanya mengangguk.

Syisi segera mengambil air minum dan Eka menghangatkan bubur yang dibuatnya sejak Subuh.

Kiran Sangat terharu. Di saat menghawatirkan seperti ini, banyak orang yang setia dan mau menemaninya walaupun ia tidak sadarkan diri.

Subuh tadi dia bermimpi lagi.
Entahlah, mimpinya seakan nyata.
Seakan ia menyaksikan sebuah dialog kehidupan yang melibatkannya bersama Randu.

"Dua purnama... Dua purnama ini nanda takkan pulang bunda..... Nanda dikekang, dipasung keserakahan penguasa!

Hamba dirantai, dijerat dan mereka tertawa, mereka bersuka ria.

Lihat Aku menangis, air mataku telah menjadi garam, menjadi tabir penutup kekejaman mereka!

Aku diam dianggap bisu,
Kuteriak leher dicengkeram!

Aku mati suri, tidak hidup bukan mati!"

Kiran seakan merasakan ikut berada di atas panggung.

Ia dapat menatap semua lampu sorot yang seakan ingin menelannya.
Tepuk tangan penonton mengakhiri puisi Randu.

Ketika semua lampu sorot dimatikan, terdengarlah suara sepatu pantofel yang mendekati Randu.

Dalam kegelapan, sosok itu duduk tanpa dipersilahkan. Sedikit angkuh, dan congkak.

"Kesenian macam apa yang dianut komunitasmu ini?
Mengapa isi dari penampilan kalian seolah memprovokasi kaum elit dengan masyarakat?"

Randu tersenyum.

Ia ikut duduk dan menghisap rokoknya dalam-dalam.

"Kamu tahu notifikasi?
Kami hanya notifikasi yang kalau dihiraukan akan memberikan informasi.
Kalau diabaikan, berarti hanya kepasrahan adanya.
Kami tidak merasa menjadi provokator atau apalah itu.
Lagi pula kami tak menyebut nama apalagi menyudutkan seseorang.
Kalau pun ada yang merasa tersinggung, mungkin pekerjaan mereka bukan di jalur yang benar."

Randu tersenyum lagi, sedang sosok itu mengepalkan tangannya.

"Saya hanya menyarankan saja, agar kamu lebih berhati-hati. Dunia begitu kejam sampai kau tidak bisa menghindar dari semua orang."

"Anda mengancam saya hanya karena hal sepele?"

Sosok itu bangkit dari duduknya.
"Bukan hal sepele bagi kami yang memiliki nama baik. Kau suka bermain-main dengan takdir rupanya."

Dengan tegap sosok itu pergi meninggalkan Randu.

Perlahan Randu menengok menatap Kiran tanpa kedip.

"Dia sudah berencana lebih dulu semenjak saya mengenal Harmi. Kamu tau? Walaupun dia menghilangkan jejakku, arwahku yang akan memberi tahu dunia."

Tekan bintang dan tinggalkan komentar ya, supaya diupdate secepatnya!

Pusara Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang