Dua Puluh Dua

31 6 0
                                    

Votment dulu, Baru Baca!

Sekitar lima tahun yang lalu, terjadi sebuah tragedi yang menyisakan perasaan trauma untuk keluarga Pak Jainudin, Ayah Randu.

Keluarga itu, adalah keluarga sederhana dan biasa saja. Memiliki dua anak dan suami istri yang pengertian dan penurut.

Keluarga yang harmonis, meski hidup apa adanya.
Meskipun hidup sederhana, Randu dan Nandi tetap bersekolah.
Randu kelas XI, sedangkan Nandi baru kelas V SD.
Kakak beradik itu terkenal sangat pandai dalam semua mata pelajaran.

Anak kepala desa saja sering iri dengan pengetahuan yang dimiliki Randu.
Meski begitu, Randu hanya menanggapi dengan biasa-biasa saja.
Menurut orang tuanya, siapa saja bisa pandai asal rajin dan ulet belajar.

Lain hal dengan Randu, Nandi sedikit arogan dan tidak sabaran.

Di kelasnya, ada seorang anak yang bernama Safitri yang suka membuly dan menghinanya.
Tapi Nandi, tidak pernah mau diam saja. Baginya, dia tidak salah hidup miskin.
Dia juga sangat ingin hidup enak dan terpenting tidak dibuly terus oleh teman-temannya.

Safitri adalah anak adik dari kepala desa. Ayahnya adalah pekerja bangunan.
Ayahnya juga dipercayakan menjadi kepala tukang pada saat jembatan di dekat rumah Randu dibangun.

Suatu hari, seperti biasanya, Jainudin akan mengajak Randu untuk mencari ikan di sungai dekat rumahnya.
Jainuddin memang sengaja membangun rumah di dekat sungai, selain dekat dengan sumber air, Jainuddin dan keluarga bisa mencari ikan di sungai untuk dijadikan lauk sehari-hari.

Hari itu, karena suntuk, Nandi juga ingin ikut ke sungai setelah pulang sekolah. Dia memang malas membantu ibunya memasak di rumah.

Karena hari yang terik, Jainuddin mengajak Nandi berteduh di bawah jembatan.

"Ayah! Abang!!!"

Jainuddin dan Randu sedang asyik menghalau ikan ke jala yang sudah mereka bentangkan ketika mendengar teriakan Nandi yang berada di bawah jembatan, tepat di sebelah tiang penyangga jembatan.

Nandi tercengang dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sedari tadi, ia asyik bermain pasir, tiba-tiba saat melompat dan berpegangan pada sisi tiang jembatan, ia melihat empat jari tangan yang menyembul dari dalam tembok.

Randu dan Ayahnya juga ikut tercengang melihat ke arah sisi tiang yang ditunjuk Nandi.

Pusara Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang