Langit Yang Mendung

547 23 2
                                    


Akasa tidak pernah benar-benar menyukai langit, bahkan ia sangat membencinya. Baginya langit dan segala isinya benar-benar memuakan, apalagi ketika langit cerah.

Namun lain lagi jika sedang senja, Akasa benar-benar memuja pertunjukan Tuhan tersebut. Baginya, langit ketika senja jauh lebih indah dan memiliki makna dibanding langit tanpa senja.

Kala langit sedang cerah, Akasa akan merasa kesal sembari memandang hamparan awan. Seolah sedang protes pada mereka karna mereka benar-benar bersalah. Namun kala langit mendung, Akasa tidak meresa senang, justru hampa.

"Ma, kemarin Aka ketemu perempuan. Dia cantik, manis sekali. Namanya Senja, nama yang selalu Mama impikan kalau suatu hari Mama punya anak perempuan." Akasa berbicara dengan nada yang bahagia walau tanpa sahutan, tangannya sesekali mengusap batu nisan yang betuliskan nama Mamanya disana.

"Ma, Aka belum bisa berdamai dengan langit cerah ataupun mengiklaskan langit mendung. Aka harus gimana, Ma? Aka bahkan benci arti nama Aka," kata Akasa sembari menunduk.

Alasannya membenci langit adalah karna langit, Akasa tidak bisa memenuhi permintaan terakhir Mamanya. Langit hari itu sangat mendung, tapi hujan tidak juga kunjung turun. Hanya mendung tanpa alasan dari pagi hingga sore, hingga napas terakhir sang Mama.

Padahal, Akasa sudah berdoa sedari malam, Akasa ingin hari itu cerah. Hari dimana akan menjadi hari terakhirnya melihat Mama tersenyum ke arahnya. Tapi langit mengacaukan segalanya, maka dari itu Akasa sangat membenci langit.

Akasa sangat terpukul, bahkan mulai saat itu Akasa terlihat lebih murung dan lebih menutup diri. Dahulu biasanya Akasa akan senang memotret segala hal, mulai dari awan yang begitu indah, langit biru yang menyala, bunga-bunga bermekaran bahkan sampai view laut saat pagi hari.

Sekarang tidak lagi, Akasa muak pada itu semua, muak pada warna biru atau apapun yang berhubungan dengan langit, kecuali senja. Hanya saat-saat matahari terbenam itu Akasa bisa kembali mengekspresikan diri, jiwanya yang mati pada siang hari berangsur hidup lagi. Akasa sangat suka dengan matahari terbenam, jika Mamanya masih ada dan Ayahnya masih sehat, pasti mereka akan menyaksikan pertunjukan alam tersebut bersama-sama.

"Ma, Senja juga bilang kalau kamera Ayah bagus. Ayah suka motret Mama pake kamera ini 'kan? Aka bingkai semua foto kalian dari kamera ini, rumah kita sekarang banyak foto-foto Mama, Ayah juga Aka. Seengaknya, bikin Aka nggak bener-bener ngerasa sendiri." Akasa mengusap air matanya yang perlahan mengalir, sejujurnya dia benci jadi anak cengeng seperti ini.

"Aka kangen sama Mama, Aka juga kangen sama Ayah. Ayah sakit Ma, sakit karna kehilangan Mama. Aka nggak berani jenguk dia karna Aka nggak sanggup, rasanya Aka bener-bener hancur."

Akasa yang malang. Laki-laki itu tidak pernah menyangka kalau kepergian Mamanya benar-benar mengubah hidupnya 380°. Ayahnya benar-benar terpukul karna kehilangan istrinya hingga ke tahap sedikit memiliki gangguan jiwa, sudah hampir 3 tahun tapi belum ada tanda-tanda sembuh. Beliau terus melamun bagai tubuh tak bernyawa, sesekali menatap ke arah langit lalu tersenyum kemudian melamun lagi.

Akasa begitu mengagumi Ayahnya lebih dari siapapun, maka dari itu untuk sedikit mengobati rindunya pada sang Ayah, laki-laki itu kembali terjun ke dunia fotografi yang sempat dia tinggalkan berbulan-bulan.

"Aka nggak ngerti kenapa jalan hidup Aka kayak gini, tapi Ma, Aka pengen suatu hari nanti bisa bahagia."

Harapan dan keinginan sungguh tidak bisa di paksakan jika itu menyangkut takdir, Akasa tahu itu. Tapi ia benar-benar berharap suatu hari nanti bisa tersenyum lebar dan mengiklaskan segalanya, mengiklaskan langit yang cerah atau bahkan tersenyum kala langit mendung.

"Tuhan jaga Mama, Aka sayang Mama... Amin."

Hujan turun dengan deras, seolah paham hati Akasa yang juga sedang bersedih. Di samping pusaran sang Mama, Akasa masih menundukkan kepala dan membiarkan sang hujan membasahi badannya tanpa berpikir akan sakit.

Laki-laki itu masih benar-benar terpaku di tempatnya sampai beberapa menit, kemudian tiba-tiba dia merasa tidak terguyur hujan lagi, ada sesuatu yang menghadang air itu turun mengenai kepalanya.

Akasa mendongak, menatap payung kuning bermotif emoji tersenyum. Matanya kemudian menoleh ke samping, mendapati sepasang sepatu putih yang sudah tertutup dengan percikan lumpur. Akasa mentap wajah orang tersebut kemudian terteguh.

Dia Senja, Senja tersenyum hangat sembari terus memayungi Akasa tanpa perduli badannya yang basah kuyup

"Akasa, langit dan kamu benar-benar saling terhubung yaa? Buktinya saat kamu bersedih, langit juga ikut bersedih."






























Sedih banget yaa jadi Akasa?:(

Senja Dan Langit [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang