Senja dan Akasa sudah bertukar nomor telfon, terlihat bahwa benar-benar status pertemanan sudah terjalin di antara mereka berdua. Akasa bahkan mengajak Senja untuk bertemu lagi, untuk melihat matahari terbenam bersama-sama.
Letaknya ada di luar kota, melimpir sedikit ke kabupaten sebelah. Perjalanan sekitar satu setengah jam mereka tempuh, kali ini Akasa menjemput Senja di kosannya. Mereka berangkat pukul tiga sore, dan akan kembali pada malam hari. Begitu kira-kira rencana yang mereka susun lewat telfon.
Sekarang Senja sudah ada atas motor Akasa, motor metic berwarna biru. Keduanya banyak mengobrol, walau sesekali Senja harus sedikit memajukan kepala agar mendengar apa yang Akasa bicarakan.
"Orang tua lo nggak nyariin? Kata lo, rumah mereka ada di Palu Barat? Berarti deket dong, kok elo ngekos?" tanya Akasa ketika mereka berhenti di lampu merah.
Senja mendengar runtutan pertanyaan itu tanpa perlu ngang-ngong dulu. "Pengen mandiri, kata Mama gue terlalu manja. Awalnya nggak suka karna apa-apa harus sendiri, tapi ternyata ngekos enak anjir, bisa kemana-mana tanpa perlu negosiasi."
Tuk!
"Dasar anak jaman sekarang! Minimal harus ijin kalo mau kemana-mana tuh, biar orang tua lo tenang." Akasa mengomeli Senja, sedikit mengetuk helm gadis itu juga tadi.
Senja tertawa kecil. "Ijinnya nanti pas udah balik, terus ceritain apa-apa yang terjadi ke Mama deh hehehehe."
Percakapan mereka terputus sejenak, Senja menikmati pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya dan Akasa yang sibuk menyetir. Sekali-sekali si tampan menatap wajah Senja dari arah spion, terlihat Senja begitu semangat sembari mengabadikan perjalanan mereka menggunakan telfon genggaamnya yang bermerek apel digigit tersebut.
Setelah mereka memasuki kabupaten tetangga dan melewati beberapa perkampungan, keduanya telah tiba di tempat tujuan. Tempatnya seperti tempat rekreasi keluarga, hanya saja sedang tidak ramai. Hanya ada anak-anak setempat yang sedang asik mandi laut, ada juga nelayan-nelayan yang tinggal di sekitaran pantai sedang bersiap akan melaut.
Senja mengabadikan objek itu, sangat unik dan sangat terasa lokal. Anak-anak dalam potretan Senja tersenyum bahagia, bahkan ketika mereka sadar bahwa Senja sedang memotret mereka, mereka turut tersenyum lalu berpose dengan jari jempol.
Si cantik terkikik melihat hasil jepretannya, anak-anak yang begitu menggemaskan. Ia kemudian menunjukan hasil gambar tersebut kepada Akasa. "Lihat deh, lucu banget 'kan merekaaa?"
Akasa tertawa perlahan melihat Senja, jika dibandingkan dengan anak-anak tadi, Senja lebih terlihat menggemaskan di mata Akasa. "Iyaa, lucu banget. Lo nggak mau join?" tanya Akasa bercanda..
Senja merengut, "Entar baliknya kedinginan gara-gara ikutan mandiii."
Akasa kembali tertawa, lalu kembali memperhatikan sekitarnya. Sementara Senja kembali fokus pada kegiatannya tadi yaitu memotret anak-anak yang sedang bermain air.
Waktu matahari terbenam masih ada satu jam lagi, langit begitu cerah hari ini dan Akasa tidak terlalu memperhatikan langit, belum bisa berdamai. Sebenarnya bagi sebagian orang, langit biru itu sangat indah, bagai dilukis langsung oleh Tuhan.
Tapi Akasa tidak tertarik, dibanding menikmati langit jam lima sore, Akasa lebih suka melihat Senja yang sudah berjalan lebih dekat ke arah anak-anak kecil tadi, gadis itu sesekali tertawa karna mungkin obrolan yang tercipta begitu seru.
Akasa membidikkan kameranya ke arah Senja, saat dia tertawa bahkan memicingkan mata karna kesal, semua ekspresi itu ada di dalam kamera tua Akasa dan bahkan akan abadi selamanya.
Detik demi detik, menit demi menit, bahkan sudah berganti jam. Waktu-wakut matahari terbenam sudah dimulai, baik Senja maupun Akasa sudah sibuk dengan kamera mereka.
"Keren banget, woaahhh!!" Itu seruan Senja kesekian kalinya, dan Akasa tertawa kecil mendengar respon Senja setiap selesai melihat hasil potretannya.
"Elo kok bisa nemu tempat ini? Jauh banget mainnya," kata Senja yang matanya masih sibuk menatap pemandangan di depannya.
Akasa menoleh, "Gue pernah kesini bareng Mama sama Ayah gue, mereka emang suka nyari-nyari tempat buat lihat senja yang indah."
"Berarti elo punya tempat lain lagi dong?"
"Adaa, nanti gue ajak elo lagi."
Keduanya kembali sibuk dengan kamera masing-masing, lalu kemudian tiba-tiba Senja menurunkan kameranya. Gadis itu berjalan ke arah depan sedikit, dan duduk di sana. Akasa melihatnya, dan turut bergabung dengan wajah bingung.
"Kok lo berenti motret?" tanya Akasa.
Senja masih fokus melihat matahari terbenam di depannya. "Gue belum pernah liat senja seindah ini, sayang banget kalo cuma gue liat dari dalam kamera aja. Gue pengen nikmatin dulu, lagian udah banyak kok yang gue foto."
Akasa tidak lagi membangun percakapan, ia bahkan turut menatap matahari terbenam di depannya. Terlalu serius hingga bayangan masa lalu kembali menerpa ingatannya.
Matanya memanas, dulu Ia, Mama dan Ayahnya pernah tertawa lepas di pantai ini. Mereka pernah berkemah seharian, menonton matahari terbenam bersama, lalu saat malamnya mereka membakar ikan hasil membeli dari nelayan yang baru saja pulang melaut. Kenangan itu begitu menyenangkan, Akasa merindukannya.
"Semua yang terjadi udah takdir, lo nggak boleh salahin siapa-siapa atas takdir tuhan. Mungkin rasa rindu yang elo rasain sekarang emang nyakitin, tapi percayalah kalo itu bisa bikin elo lebih kuat dan lebih dewasa."
Akasa menoleh ke arah Senja ketika gadis itu selesai berbicara, mata Senja tetap mengarah pada laut yang mulai menelan matahari.
"Kentara banget yaa?"
Senja mengangguk, kemudian turut menoleh ke arah Akasa yang sekarang juga sedang menatapnya. Senja menujuk wajah Akasa, "Banget, mata ini bikin semuanya terlihat jelas."
Akasa menghela napas. "Gue malah curiga elo cenayang, elo bisa baca pikiran gue 'kan?"
"Ini cuma bakat istimewa dari seorang perempuan," kata Senja kemudian tertawa.
Akasa kembali menatap ke arah depan, namun Senja kembali menemukan guratan rindu bahkan kesedihan di mata Akasa.
"Nangis aja, gue bakal pake earphone sambil tutup mata biar elo nggak malu."
"Ishh, elo nyebelin Senjaaa!!"
Senja tertawa, begitu juga dengan Akasa yang tidak jadi bersedih. Akasa malah bersyukur mengunjungi tempat ini lagi dengan Senja Maharani di sampingnya, si perempuan cenayang.
Tawa mereka menggema, bersatu dengan alunan deburan ombak juga kicauan burung kutilang. Sore itu, baik Akasa maupun Senja sama-sama merasa bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dan Langit [✓]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] Terbit di Ralafa Publisher. Senja adalah bagian dari langit, dan langit adalah bagian dari Senja. Mereka tidak akan pernah berpisah karna keduanya adalah satu kesatuan. Senja Maharani juga berharap kisahnya dengan Akasa Chandrakala ju...