Senja Yang Abu

202 11 1
                                    

Ketika bertemu Senja untuk kedua kalinya, Akasa berharap doanya pada tuhan saat sedang mengunjungi makan sang Mama akan segera menjadi kenyataan, doa bahwa ia ingin hidup bahagia. Tentunya, ia berpikir orang itu adalah Senja.

Tapi, semuanya berakhir.

Jika awalnya ia hanya membenci Langit, sekarang ia juga membenci senja, membenci matahari terbenam tersebut. Karna saat-saat matahari tenggelam, di atas bukit, Senja meninggalkan Akasa.

Sekarang sudah enam bulan sejak Senja pergi, enam bulan Akasa hidup luntang-lantung. Dulu ia masih punya kegiatan lain selain bekerja, sekarang setelah pekerjaannya selesai, ia langsung pulang ke rumahnya dan kemudian tidur.

Tidak ada lagi keinginan melihat matahari terbenam, ataupun pergi jalan-jalan menghabiskan hari libur.

Akasa sibuk merenung, berharap tiba-tiba Senja meneleponnya dan memintanya untuk menjemput gadis itu di kosan. Ah, sayangnya nomor Senja sudah tidak aktif lagi meski di telfon berkali-kali.

Benar-benar hidup yang menyedihkan.

Senja bagaimana? Sama saja.

Ia kembali pergi merantau, tapi bukan di kota kali ini, Senja ada di perkampungan yang jauh dari kota, letaknya ada di kaki bukit. Setiap hari, gadis itu harus latihan fisik. Tidak bersama orang tuanya, Senja pergi sendiri. Walau begitu, Ayahnya selalu mengontrol dan mengirim beberapa orang untuk mengetes kemampuan Senja setiap bulannya.

Di perkampungan itu, selain latihan fisik, Senja di kenal sebagai gadis ceria yang selalu membantu para warga. Ia bahkan selalu di gemari karna selain ramah, gadis itu juga pintar dan tahu segala hal. Namun, Ia tidak di kenal sebagai Senja, namanya Amalia.

Amalia, si gadis kota yang memutuskan pindah ke kampung karna orang tuanya bercerai dan pergi meninggalkannya, ia memutuskan hidup di kampung karna biaya hidup di kampung lebih murah.

Setidaknya, itu cerita awal tentang Senja atau Amalia yang beredar di masyarakat kampung.

Senja yang hidup serba berkecukupan saat bersama orang tuanya, kini ia harus menjadi Amalia yang bekerja terlebih dahulu agar mendapatkan uang. Gadis itu selalu menerima segala bentuk pekerjaan yang warga berikan padanya, termasuk mengumpulkan kayu bakar, menanam padi, hingga mengembala ternak.

"Kak Lia, sebelah sini!!"

Seperti pagi ini, Senja mendapat panggilan untuk membantu salah satu warga menanam jagung. Ia diberikan upah sekitar 10ribu rupiah setelah 5 jam bekerja.

"Amalia, jangan lamban, kau harus menanam 200 meter lagi!"

Yah, sekalipun Senja sangat rajin dan pintar, ia tidak bisa sekaligus menguasai segala macam pekerjaan orang kampung dengan cekatan. Namun, sudah lebih mendingan dari pada awal-awal ia tinggal disini.

"Setelah makan siang, kau pergilah ke rumah Pak Ridwan, beliau ada acara di kota siang ini dan tidak bisa menjemput ternaknya yang ada di atas bukit. Dia pasti butuh bantuanmu," kata salah seorang warga yang sudah akrab dengan Senja.

"Ia Kak, nanti Sita temani Kaka, ternak Pak Ridwan dan ternak Bapa ada di bukit yang sama."

Senja mengangguk sembari menatap gadis berusia 9 tahun di depannya. "Iya, kita pergi sama-sama yaa."

Keluarga ini lumayan dekat dengan Senja, sekaligus keluarga pertama yang memberi Senja pekerjaan. Kepala keluarga bernama Sulkan, istrinya bernama Darmi dan anak tunggal mereka bernama Sita.

Keluarga itu begitu menyayangi Senja, hingga memberi Senja sebidang tanah di perkebunan mereka untuk di tinggali.

Perkebunan itu ada di belakang rumah milik keluarga ini, Senja tinggal di sana. Ia di bantu para warga membangun gubuk, lalu di beri beberapa bantal dan selimut karna dari kota ia hanya membawa beberapa lembar baju juga sebuah ponselnya. Gubuknya tidak memiliki aliran listrik, sehingga ketika ingin mengisi daya pada ponselnya, ia harus ke rumah Pak Sulkan, atau mengunjungi warung yang ada di sana.

"Ini buatmu, makanlah di warung Mbah Siti, beli nasi campur dengan lauk ayam goreng. Kau pasti rindu makan ayam 'kan?" Senja menerima uang selembar 20ribu perasaan bahagia.

"Tapi Bu, bukannya saya hanya dibayar 10ribu?"

Wanita paruh baya di hadapannya tersenyum hangat, "Tidak apa, kemarin kami baru saja menjual hasil panen cabai di pasar, jadi bisa memberimu upah lebih."

"Wahh, terima kasih Bu!!" Senja berseru dengan semangat.

Gadis itu melompat-lompat kegirangan, lalu kemudian berpamitan untuk pulang. Seperti permintaan Bu Darmi tadi, Senja bergegas membeli makan siang. Namun, Ia harus kembali ke gubuknya dahulu untuk mengambil ponsel serta chargernya. Entah kapan terakhir benda persegi itu menyala.

Begitulah kehidupan Senja, terlihat menyedihkan namun ia menjalani dengan baik.

"Mbak Lia, saya dengan desas-desus, ada orang-orang dari kota hendak mendirikan perusahaan tambang disini." Lia memang panggilannya, Senja bahkan sudah terbiasa.

"Tambang apa Mbah?"

"Ndak tau, Tambang batu-batuan sepertinya."

Senja berpikir sebentar, namun kemudian matanya membulat. "Apa Kepala desa setuju?"

"Saya dengar sih, beliau setuju dan nantinya orang-orang dari kota itu akan datang kemari untuk mengecek lokasi."

Senja tidak memiliki selera makan lagi, ia tiba-tiba panik namun berusaha menutupi dengan memilih menyuapi dirinya dengan paksa.

"Nanti mereka akan membayar banyak jika warga setuju menjual tanah mereka yang ada di sebelah utara, tuh.. di gunung sana."

Mengikuti telunjuk Mbah Siti, Senja dapat melihat gunung yang memang ada di sebelah utara kampung. Gunung itu tidak ditumbuhi banyak tanaman, namun banyak satwa liar bahkan yang dilindungi mendiami kawasan tersebut.

"Harusnya jangan setuju, Mbah. Nanti kampung kita jadi tidak asri, mobil-mobil besar akan hilir mudik di jalanan kampung dan membuat debu bertebaran."

Mbah Siti mengangguk setuju, "Iya Mbak Lia, saya juga berpikir begitu. Tapi keputusan kepala Desa tidak bisa di ganggu-gugat, warga tidak berani padanya."

Senja menghela napas, ia kira proyek tentang tambang itu akan dimulai setidaknya hingga tahun depan, tapi proyek itu di rencanakan lebih cepat. Gadis itu begitu gelisah, hingga notifikasi dari ponsel yang sedang ia isi baterainya berbunyi, membuat ia semakin frustasi.




 Gadis itu begitu gelisah, hingga notifikasi dari ponsel yang sedang ia isi baterainya berbunyi, membuat ia semakin frustasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



























Kira-kira kapan Akasa bisa ketemu Senja?

Senja Dan Langit [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang