"Jangan cari dukungan dari warga sekitar, Senja nggak boleh terlihat terang-terangan nolak pembangunan tambang itu, nanti mereka bakal curiga."
Senja menyimak ucapan Papanya, mencerna kata demi kata dan menyimpannya dalam otak dengan rapih.
"Senja nggak perlu sampai kampanye penolakan, jangan bertele-tele. Bunuh kepala desanya saat beliau jalan sendirian, dan buat pembunuhan itu seakan dia bunuh diri."
Jujur saja, kepala Senja sangat pening. Ia belum terbiasa dengan dunia baru ini, masih banyak hal yang harus dia pelajari. Bahkan saat Papanya menjelaskan cara-cara membuat pembunuhan jadi terkesan bunuh diri, sangat sulit di terima otaknya walau dia mencerna dengan baik.
"Senja harus kuat ya nak, ini belum apa-apa." Gadis itu menatap Mamanya yang juga sedang terlihat sangat mencemaskannya, lagipula Ibu mana yang mengikhlaskan anaknya menjadi seorang pembunuhan.
Dari lubuk hati Senja yang paling dalam, ada sedikit rasa benci pada Papanya yang membuat ia seperti ini, namun inilah takdirnya. Takdir sebagai anak seorang pembunuh dan bahkan akan menjadi pembunuh.
Senja mengangguk sembari memegang tangan Mamanya. "Doain Senja biar selamat Ma."
Setelah selesai dengan urusannya, gadis itu segera bergegas kembali ke kampung sebelum malam semakin larut. Ia juga bahkan diminta sang Papa memakai motornya lagi agar rencananya bisa berjalan dengan lancar.
Tentunya dengan anak buah Papanya yang sedari awal mengantarnya pulang ke kota, kini mereka berdua beriringan menuju perkampungan yang letaknya ada sekitar 2 jam perjalanan.
Hari semakin larut, Senja dan anak buah papanya menepi ke warung makan 24 jam untuk beristirahat di sana sembari mengisi bensin juga nutrisi, sedari di kota mereka belum makan sama sekali.
"Om, om pernah nggak kepikiran buat berhenti dari kerjaan ini?" tanya Senja random.
Anak buah Papanya itu terlihat berpikir, kemudian dengan lesuh ia menjawab, "Dari awal, saya tau ini salah neng, tapi mau bagaimana lagi saya sudah terlanjur jatuh di dalam pekerjaan ini, akan sulit jika harus berhenti. Lagipula, anak istri saya juga harus tetap dapat biaya, dan mereka makan dari hasil kerja saya yang ini."
Senja mengangguk, kehidupan ternyata sesulit itu. Jika berbicara tentang takdir, tentu orang ingin takdir yang bagus, bukan jahat dan kotor seperti yang sedang ia jalani sekarang.
"Tapi, Om pernah nggak kepikiran buat bikin anak Om ngikut jalan Om?"
Pria berotot itu menggeleng keras. "Cukup saya neng, biarkan saya menempuh jalan ini, jangan dia. Dia bisa dapat masa depan yang cerah, dan saya sedang mengusahakan masa depan cerah itu walau dengan pekerjaan ini."
Senya mengerti sekali dengan apa yang pria setengah baya itu pikirkan, ekonomi keluarga pasti sangat membuatnya frustasi hingga akhirnya bergabung di pekerjaan kotor ini.
"Tapi kenapa Papa saya beda ya Om? Kenapa yaa Papa malah mau anaknya turun ke pekerjaan kotor ini?"
Anak buah Papanya itu terlihat memikirkan sesuatu, entah ada hal yang dia sembunyikan atau tidak tapi ia terlihat ragu untuk berbicara.
"Heheh udah lah Om nggak us--"
"Ini cara Boss buat jagain neng, biar kalau suatu saat dia udah nggak ada, dia bisa tenang karna neng bisa jaga diri dengan jadi seperti dia. Musuh Boss itu banyak neng, dan kelemahannya adalah neng dan Ibu. Beliau bahkan pernah menangis ketika memikirkan bagaimana hari-hari neng sebagai orang lain, nggak jadi diri sendiri. Itu semua bukan mau Boss, itu semua takdir. Bukan cuma eneng yang benci takdir eneng, Boss juga. Bahkan kalau bisa, saat itu dia milih buat nggak menikah biar dia nggak punya eneng sama Ibu, dia terlalu takut, takut nggak bisa jagain kalian."
Senja terteguh mendengar deretan kalimat yang keluar dari mulut anak buah Papanya ini, hal yang terdengar seperti mustahil namun ternyata benar.
Senja pikir, ia yang selalu menjadi orang lain itu semata-mata agar identitas papanya tidak di ketahui musuh, dan papanya semena-mena mengganti namanya seperti tidak punya rasa bersalah sama sekali. Ternyata papanya juga merasa bersalah, bahkan sangat merasa bersalah.
"Kalau ada orang yang paling takut kehilangan eneng, itu bukan laki-laki yang selalu nemenin eneng liat senja, tapi itu Boss, bapaknya eneng."
Senja menatap pria setengah baya di sampingnya dengan tatapan terkejut. "Om tau Akasa?"
"Bukan cuma saya neng, semua anak buah bapak tahu siapa dia. Bahkan, sebenarnya Ibu laki-laki itu jadi korban kotor pemerintah. Waktu itu, salah satu anak buah boss pernah di tawari buat bunuh Ayahnya, tapi karna yang minta dari pihak pemerintah, kami menolak. Ternyata mereka menyuruh pembunuh bayaran lain, salah sasaran sudah. Tapi tetap mereka merasa menang karna beliau berakhir di rumah sakit jiwa."
Senja syok mendengar deretan fakta barusan, hal yang baru saja dia ketahui. Hatinya begitu sakit mendengarnya, apalagi saat mendengar bahwa anak buah Papanya hampir membunuh Ayah Akasa.
Akasa, malang sekali nasibmu.
Siapa yang pusing sama alurnya? Akuuuuuu😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dan Langit [✓]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] Terbit di Ralafa Publisher. Senja adalah bagian dari langit, dan langit adalah bagian dari Senja. Mereka tidak akan pernah berpisah karna keduanya adalah satu kesatuan. Senja Maharani juga berharap kisahnya dengan Akasa Chandrakala ju...