Langit Merindukan Hujannya

170 10 1
                                    

Duarr!!

Jazzzz!!

"Ah, hujan!"

Akasa yang sedang berdoa di makam mamanya, menatap langit yang mulai menjatuhkan tetesan hujan. Laki-laki itu tersenyum miris.

Dejavu lagi.

Beberapa bulan lalu, saat ia mengunjungi makam sang Mama dan bercerita hingga berujung menangis, hujan turun dengan deras tanpa pamit. Kini, hujan itu datang lagi, tapi jika dulu ada yang memayunginya, sekarang tidak.

"Dia pernah bilang Ma, kalo Aka sedih, dia bakal datang dan ngajak Aka main hujan bareng, sekarang dia malah ngilang."

Padahal Senja hanya singgah sebentar, mereka menghabiskan waktu selama 3 bulan, tapi rasa kehilangan Akasa terhadap Senja seakan-akan Senja sudah bersamanya selama puluhan tahun.

Bahkan mereka belum saling mengungkap perasaan masing-masing, Senja belum mendengar bait-bait indah yang rencananya akan Akasa ucapkan ketika menyatakan perasaan nanti, dan Akasa belum melihat bagaimana Senja akan benar-benar mencintainya.

Keduanya berpisah, tanpa mengetahui apa yang di rasakan masing-masing. Kisah mereka berakhir bahkan sebelum di mulai. Lebih menyedihkan daripada waktu matahari terbenam yang indah namun sementara.

Hujan semakin deras, tubuh Akasa pun semakin kuyup. Namun si tampan enggan beranjak dari tempatnya barang sedikitpun, dalam hati ia masih berharap ada Senja yang datang dengan payung kuning bermotif emoji tersenyum.

Hingga 30 menit, hujan tidak kunjung reda, bahkan hari semakin sore, Akasa kembali tersadar bahwa semuanya sia-sia.

Senja tidak akan datang padanya, sekalipun ia bertahan hingga malam tiba. Seperti cuaca gelap sore ini, gelap dan sangat menyedihkan.

Tapi Hujan ini, hujan yang Akasa rindukan.

***

Disisi lain, Senja merasa bimbang juga kebingungan. Sejujurnya, ia belum pernah membunuh orang, membunuh semut saja ia kadang merasa kasihan. Namun, inilah yang akan menjadi pekerjaannya mulai sekarang.

"Duh, gimana yaaa? Apa balik aja dulu minta saran dari Papa? Nanti di bolehin nggak yaaa?"

Gadis itu terus saja kebingungan, di dalam gubuknya ia dari tadi menghela napas frustasi. Walau sudah banyak latihan fisik dan semacamnya, Senja benar-benar pemula dalam dunia ini. Ia tidak cekatan, dan bahkan mungkin bisa ceroboh.

Jadi, keputusan terakhir adalah kembali ke rumah dulu dan kemudian tanya Papanya.

Gadis itu kemudian mengambil rambut panjang palsunya, lalu kemudian memakai rambut tersebut agar orang-orang kampung tidak curiga. Biar bagaimanapun, ia masih di kenal sebagai Amalia, bukan Senja.

Sekarang jam setengah 5 sore, perjalanan dari kampung ke kota tentu tidak dekat, maka dari itu Senja berencana berjalan keluar dulu dari kampung tempatnya tinggal ke kampung sebelah yang jaraknya lumayan, 3 kilo. Ia akan di jemput di kampung sebelah, oleh anak buah Papanya.

Sebelum benar-benar keluar dari gubuknya, Senja menulis sesuatu di kertas lalu menempelkannya di pintu gubuk, agar keluarga pak Sulkan tidak mencarinya, ini caranya berpamitan.

Setelahnya, Senja bergegas pergi dari gubuk tersebut, ia berjalan dengan tenang meninggalkan pekarangan kebun Pak Sulkan, hingga tiba di jalan raya kampung. Sebisa mungkin, Senja berjalan dengan tanpa membuat orang-orang curiga.

Banyak warga kampung hilir-mudik, kebanyakan mereka baru saja pulang dari sawah, atau mengantar hewan ternak kembali ke kandang. Senja sesekali menyapa mereka dengan ramah.

Beberapa rumah sudah di lewati Senja, gadis itu bahkan juga sapa oleh sekelompok bapak-bapak yang duduk-duduk di pos ronda, menanyakan Senja hendak kemana dan di jawab jujur oleh Senja. Mereka menawari Senja tumpangan, walau sudah di tolak Senja dengan halus mereka tetap memaksa dan akhirnya mengantar Senja pergi ke kampung sebelah.

"Ndak apa-apa ini Neng Lia diturunkan di sini? Ndak mau sampai di jalan besar saja? Biar saya antar Neng," tawar pak Tarjo.

Senja dengan rambut panjangnya, menggeleng, "Gapapa Pak, Kakak saya sudah dekat kok. Terima kasih tumpangannya Pak."

Warga kampung bernama pak Tarjo itu akhirnya mengalah, dan membiarkan Senja menunggu di salah satu warung yang lumayan ramai di kampung tersebut. Senja berucap terima kasih sebelum Pak Tarjo menghilang dari pandangannya.

Gadis itu, hanya memakai hoodie juga celana training, lalu sendal jepit bertali hijau. Benar-benar sangat sederhana. Ia membawa tas kecil, namun di simpan di dalam bajunya, tertutup oleh hoodie. Tas itu berisi ponsel juga beberapa lembar uang.

Beberapa menit setelahnya, datang salah satu anak buah Papanya yang tinggal di kampung ini. Ia memang di tugaskan memantau Senja dari jauh, dan ia juga seorang penyamar.

"Ada apa sampai harus jauh-jauh ke kota Mbak?" tanya anak buah papanya.

Senja mengambil helm yang di serahkan. "Ada yang mau di tanya-tanya Om. Udah ayo jalan, keburu makin malam."

Dengan mengendarai motor vario berwana hitam tersebut, Senja meninggalkan perkampungan untuk menuju ke kota. Kota yang sebenarnya masih menjadi luka basah bagi Senja.

Sebenarnya untuk kembali, ia masih berat karna ada suatu yang akan membuatnya lemah. Sesuatu itu adalah Akasa.

Bahkan ketika memasuki kota, Ia tidak sanggup menatap segala jalanan yang penuh dengan kenangan bersama Akasa beberapa bulan lalu, atau di saat hujan seperti sekarang.

Ia bersyukur langit mendung hingga cahaya jingga di ufuk Barat tidak terlihat, tertutup dengan awan berwarna abu. Hujan yang indah di sepanjang jalanan kota.

Namun, semakin di terpa hujan, Senja semakin merasa aneh. Seakan Hujan ini, adalah hujan yang ia rindukan.





























Senja udah ke kota, apa bakal ketemu sama Akasa? Gatau sih hehehe

Senja Dan Langit [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang