"Huhhhh..."
Entah sudah helaan napas yang ke berapa kali terdengar di gubug Senja, gadis itu sedang frustasi dan pusing sekarang.
Sudah hampir seminggu, Akasa kala itu datang menemuinya dengan tiba-tiba. Senja tidak tahu bagaimana laki-laki itu bisa menemukan keberadaanya, yang Senja tahu, laki-laki itu datang dengan seceleng rindu, memeluk Senja dengan sangat erat.
Akasa menangis, Senja tahu walau Akasa tidak menunjukkannya. Lalu mereka harus terpaksa berpisah, dengan Akasa yang dibuat pingsan oleh anak buah Papanya dan langsung diantar kembali ke kediaman laki-laki bertubuh tinggi itu. Awalnya Senja marah, tentu. Lalu ketika Papanya menelepon, ia tidak punya pilihan lain lagi.
Laki-laki itu, terlihat sangat kurus dan seperti kehilangan separuh hidupnya. Senja tidak tahu apakah itu adalah dampak dari kepergiannya, atau apa.
"Argghh, kalo kayak gini kapan gue bisa fokus!!"
Senja mengacak rambutnya frustasi, gadis itu masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia harus jadi seorang pembunuh. Senja masih terpaku, dan terlalu takut menjalankan rencana yang sudah ia buat matang 100%.
Harusnya, sudah dari kemarin ia mulai memancarkan aksi, tapi masih saja terus ragu. Bahkan anak buah papanya yang ada di kampung sebelah menawarkan ingin mewakili Senja saja, mereka sudah gregetan. Tapi gadis itu mana mau, yang ada nanti Papanya marah padanya karna tidak melakukan pekerjaan pertamanya dengan baik.
"Malam ini aja apa yaa? Tapi kalo ketahuan gimana??" Senja terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika ia teledor dalam menjalankan rencananya.
Alat-alat sudah di siapkan, sebisa mungkin terlihat dengan sangat sederhana hingga orang-orang tidak ada yang akan menyangka jika itu adalah perlengkapan membunuh.
Tok..
Tok..
Tok..Ketukan di pintu gubuknya membuat Senja berhenti melamun, ia menyerong sedikit lalu membuka pintu, terlihat ada Sita yang tengah tersenyum lebar sembari memperlihatkan giginya yang ompong.
"Selamat Pagi, Kak Liaaa!!" sapa gadis kecil itu dengan ceria.
Senja tersenyum hangat."Pagi, Sitaaa.. ada apa nih pagi-pagi datang ke Kak Lia, ada pekerjaan kah?"
Sita, anak pak Sulkan yang baru saja naik ke kelas 3 SD itu mengangguk. "Di sawah Pak Tejo sedang ada panen, Bapak minta Sita buat kasih tau Kakak, Kakak bisa bantu-bantu disana biar dapat upah."
"Oalah gitu, jadi Kak Lia ada kerjaan mendadak lagi dong ini? Okedeh, Kak Lia ikut. Tapi, Sita temani Kak Lia dulu yaa disana, Kak Lia masih takut-takut."
"Iyaa sudah pasti, Sita udah bilang juga sama Bapak, dibolehin."
Senja mengangguk mantap, gadis itu kemudian mengganti bajunya menjadi kaus kerja yang biasa ia gunakan untuk bekerja memanen sawah. Sita sudah kembali ke rumahnya, gadis kecil itu bilang ia akan mengambil bekal makan siang yang Ibunya sudah buat untuk mereka.
Lihat keluarga ini, begitu baik.
Selesai dengan pakaian, Senja menguncir rambutnya menjadi dua. Setelah itu mengambil Toru atau topi petani khas tanah Sulawesi, topi ini mirip seperti Caping, hanya saja lebih khas.
Setelahnya, ia berjalan meninggalkan gubuknya lalu menunggu Sita dan berangkat bersama.
"Itu ada Nasi kuning sama sayur uta dada ya nak, nanti makan siang sama Sita yaa. Buat kamu tempat makannya warna Biru, Sita punya warna merah, minta dia menghabiskan nasinya ya nanti, akhir-akhir ini makanya sedikit."
Senja tersenyum sembari menerima botol minum besar yang Bu Darmi berikan padanya, di hadapannya sudah ada Sita yang menenteng dua kotak bekal.
"Terima kasih Bu, kami pergi dulu."
Wanita setengah baya itu tersenyum ramah. "Iya, hati-hati. Pulanglah sebelum Senja yaaa, jangan hiraukan jika Sita ingin bermain."
"Iyaa Bu."
Senja dan Sita berjalan beriringan menuju sawah tempat tujuan mereka, Sawahnya ada di dekat perbatasan kampung, bersebelahan dengan gapura selamat datang. Sepanjang jalan, banyak yang menyapa Senja dan Sita, sesekali Sita berlarian dan Senja mengejarnya.
Momen-momen seperti ini yang membuat Senja bersyukur ada di kampung ini, walau tujuannya tidak mulia, tapi banyak sekali pelajaran yang ia dapatkan.
"Itu siapa yaa? Baru datang dari kota?"
"Sepertinya begitu, mau apa mereka kemari?"
"Pakaianya seperti orang pemerintah, rapih."
Senja dan Sita saling pandang-pandangan, menatap penasaran pada sekumpulan warga yang berkumpul di depan warung Mbok Lasmi.
"Ada apa ini Ibu-ibu dan Bapak-bapak?" tanya Senja ramah.
Beberapa warga kampung menoleh ke arah Senja. "Ah, itu Neng Lia, ada orang-orang sepertinya dari kota. Entah ingin apa."
"Sepertinya ingin melakukan pengambilan bahan baku dari kampung ini, perusahaan apa yaa namanya? Saya pernah dengar dari anak saya, tapi saya lupa."
Senja berpikir sejenak. "Perusahan Manufaktur?"
"Nah iyaa, betul. Saya dengar juga tadi mereka membicarakan itu."
Senja mengangguk, ia tidak penasaran lagi. Segera gadis itu menarik tangan Sita agar perjalanan mereka ke sawah berlanjut.
Orang-orang kota yang warga kampung maksud itu sedang berada di kantor desa, kantor desa memang berdekatan dengan warung Mbok Lasmi, makanya mereka bisa berghibah di warung Mbok Lasmi sembari menonton secara langsung.
Tungkai Senja berjalan dengan pelan, melintasi kantor desa dengan santai tanpa mau tahu apa orang-orang kota yang menjadi pembicaraan hangat warga kampung.
Begitu hampir sampai di sawah, Senja merasa ada yang sedang berlari ke arahnya. Gadis itu menoleh, lalu membulatkan mata dan membeku.
"Huhh... huh... Senja, gue pikir tadi bukan elo."
Akasa, benar Akasa.
Lagi-lagi Akasa menemukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dan Langit [✓]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] Terbit di Ralafa Publisher. Senja adalah bagian dari langit, dan langit adalah bagian dari Senja. Mereka tidak akan pernah berpisah karna keduanya adalah satu kesatuan. Senja Maharani juga berharap kisahnya dengan Akasa Chandrakala ju...