Senjaku, Sayang

135 13 2
                                    


Akasa berjalan mengelilingi kampung, sejauh mata memandang banyak sekali sawah-sawah yang letaknya ada di belakang rumah warga, ada juga sesekali kebun mini di halaman rumah yang ditanami dengan sayur-sayuran berupa tomat, cabai juga bawang.

Begitu asri kampung ini, begitu sejuk dan nyaman padahal sudah sore hari. Banyak warga mulai menggiring hewan ternak mereka kembali ke kandang, ada juga sesekali melewati Akasa dengan memikul kayu bakar. Mereka semua sangat ramah, terus tersenyum pada Akasa padahal mereka tidak kenal.

Disini nyaman, itu yang Akasa rasakan.

Tadinya ia akan kembali ke kantor desa tempatnya dan teman kerjanya tadi berhenti, karna hari semakin sore dan matahari akan segera tenggelam. Tapi tungkainya malah membawa ia ke sebuah bukit yang dekat dengan sawah-sawah warga di arah timur.

Senja, waktu saat matahari terbenam. Itu akan terjadi sebentar lagi, beberapa menit lagi. Matahari itu semakin turun, membuatnya berada diantara dua gunung di depan Akasa. Sejujurnya, ini indah. Biasanya ia melihat matahari tenggelam pada lautan lepas, kini ada dua gunung yang menenggelamkannya.

Ah, andai ia membawa kamera.

"Bagus 'kan, senjanya?"

Akasa menoleh spontan, perempuan berhoodie abu-abu berjalan ke arahnya. Kepalanya di tutupi penutup Hoodie tersebut, ia berjalan sembari menunduk. "Ini tempat gue nonton senja, kaget karna tiba-tiba malah ada elo."

"Se..nja?"

"Hal yang nggak pernah gue bayangin selama hampir setahun ini, elo tiba-tiba datang ke gue. Ya ampun, Sa.. padahal gue udah bilang bakal datang sendiri ke elo, elo tuh cuma perlu nunggu, bandel yaaa!"

Perempuan berhoodie itu, benar Senja. Lagi dan lagi. Mereka bertemu, kali ini bukan Akasa yang menghampirinya, ia yang menghampiri Akasa.

"Ada banyak hal yang nggak bakal elo ngerti tentang gue, Sa. Hal yang nggak bakal elo bisa terima kalaupun elo tau gue yang sebenarnya gimana, takdir buruk gue."

Senja menoleh pada Akasa, melepas tudung hoodie dan menampilkan rambut pendeknya yang selalu ia tutupi. "Yang tadi bukan Senja, yang tadi itu Amalia. Nah ini, baru Senja."

Akasa masih terus mencerna, ia masih belum mengerti apa-apa.

"Bukan cuma elo yang kangen, gue juga. Gue kadang nangis kalo inget elo, inget gimana kita habisin hari bersama sambil lihat matahari terbenam kayak sekarang. Tapi gue nggak bisa lawan takdir, gue nggak bisa tuntasin kangen gue ke elo walaupun gue rasanya pengen meluk elo erat-erat."

Kali ini Akasa melihat mata Senja berkaca, ia terlihat bersiap menangis. Sebelum air mata itu terjatuh, Akasa lebih dulu menghentikannya, mengecup tempat jatuhnya air mata itu.

"Jangan nangis karna gue, gue bisa lebih sakit dari ini."

Senja terkaku di hadapannya, masih mencerna perilaku Akasa yang tiba-tiba tadi. Namun, lagi-lagi ia terdiam dengan perilaku Akasa selanjutnya.

Bibir mereka bertemu, awalnya hanya kecupan, terus berubah menjadi lumatan lembut. Akasa menangis, Senja menangis, ciuman mereka bercampur dengan air mata masing-masing, air mata kerinduan.

Kali ini, matahari terbenam lagi-lagi menjadi saksi bagaimana dua insan itu saling berinteraksi, menyaksikan bagaimana dua insan itu saling berpadu kasih.

"Senja, tolong yaa jangan pergi lagi dari hidup gue, biarin gue ada di samping lo bagaimanapun hidup elo sebenarnya. Biarin gue tau takdir elo yang katanya buruk ifu. Biarkan gue tau semuanya, ajak gue masuk ke kehidupan lo lebih dalam, karna sejujurnya alasan gue hidup cuma elo. Senja, gue sayang sama elo."

Senja Dan Langit [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang