Iara tengah mengutip botol-botol yang berserakan karena dia tak sengaja menyenggol karungnya hingga tumpah. Iara berjongkok dan menyusunnya.
Selesai menyusunnya, Iara duduk di lantai yang dingin dengan kedua kaki terlipat. Memandangi ruangan kecil ini sebentar, rumah ini bukan milik Iara ia hanya menumpang. Ada seorang kakek yang baik hati mengizinkan Iara untuk tinggal disini setelah ia diusir dari kontrakan karena tidak membayar.
Menghela nafas pelan lantas Iara menjatuhkan tubuhnya ke karpet tipis. Iara bergeming, memikirkan nasibnya untuk ke depan.
Iara tidak memiliki uang lagi, ah tersisa 20ribu di kantongnya. Itu pun hasil ikut dengan kakek itu menjual botol-botol plastik. Iara bingung memikirkan akan jadi apa dia nantinya. Iara baru saja putus sekolah, beasiswanya dicabut karena nilai Iara turun drastis. Setelah semua yang terjadi, tidak mungkin Iara ke rumah pantinya, 'kan?
Teringat sesuatu, Iara mengambil kertas lusuh bersama liontinnya. Ada tertulis sebuah nama di kertas lusuh itu. Khiara. Hanya itu, berkat kertas itu Iara memiliki nama dari orang tua kandungnya meskipun tanpa nama belakang.
Tapi tujuan Iara mengambil kertas itu bukan ini, ia memasukan kertasnya lagi, itu cukup berharga bagi Iara. Memandangi liontin tersebut Iara berpikir.
Haruskah ia menjualnya? Tapi hanya ini benda yang ia miliki dari keluarga aslinya.
Bimbang, Iara jelas bimbang. Saat diusir dari kontrakan karena tidak membayar 4 bulan. Sebenarnya bukan maksud Iara tidak membayar ia jelas sudah menabung dari hasil gajinya bekerja menjadi pembantu di rumah orang kaya tapi salah satu anak pembantu itu menuduh Iara mencuri jamnya dan alhasil ia di pecat. Saat Iara pulang pun ia dicopet, semua uangnya hilang termasuk seluruh gaji Iara yang ia rencana akan di simpan di tempat aman mengingat kontrakannya sering ke malingan. Tapi Iara sial dalam satu hari.
"Permisi," tersentak, Iara menoleh ke pintu kayu yang terlihat hampir rubuh. Padahal ketukan itu terlihat pelan.
Membuka pintu, Iara menemukan seorang lelaki tua yang memakai seragam rapi berdiri di depannya.
"Ada apa ya, pak?" Iara kikuk melihat bagaimana lelaki tua itu memandanginya intens dan terlihat terkejut untuk beberapa saat.
"Apa benar ini dengan non Iara?"
"Iya. Saya sendiri," Iara bingung. Apa dia seorang polisi? Dan ingin menangkap Iara? Tapi Iara jelas tidak pernah berbuat jahat di luar sana, 'kan?
Lelaki tua itu tampak tersenyum dan menunduk ringisan pelan terdengar. "Ah, saya bingung harus menjelaskan seperti apa. Singkat saja, anda adalah anak majikan saya dan tujuan saya menjemput nona adalah membawa anda pulang."
Terkejut? Iya. Baru saja Iara memikirkan keluarganya dan secepat ini mereka juga menemukannya? Ah, tidak 16 tahun itu lama.
Saking terkejutnya tubuh Iara membeku sejenak. Ia bahkan hampir lupa caranya bernafas.
"A-apa?"
"Nona ikutlah dengan saya."
"Tunggu!" Iara tidak bisa untuk ikut dengan orang sembarangan, entah bagaimana kedua matanya berkaca-kaca. "Paman apa benar kamu adalah orang yang bekerja dengan orang tua saya?"
"Tentu saja," dia mengangguk mantap.
"Tapi kenapa bukan mereka yang menjemput saya?" Diremas Iara erat pintu kayu tersebut, merasa orang tuanya tidak menyayanginya.
"Nona Iara, Tuan dan Nyonya ada urusan penting yang tidak bisa ditinggal. Ini pun menyangkut tentang anda. Jadi mereka menyuruh saya yang menjemput anda. Nona Iara tenang saja, karena kalian akan bertemu dirumah."
"Benarkah?" Tanya Iara ragu.
"Tentu saja!" Dia tersenyum meyakinkan. "Dan juga bukan hanya saya," lelaki tua itu menunjuk mobil hitam yang sangat keren di mata Iara. "Ada saudari anda di dalam yang menunggu nona Iara."
Mata Iara melebar. Dia mempunyai saudari!
"Nona akan ikut, bukan?" Tanya lelaki tua itu harap-harap.
Iara dengan ragu mengangguk. "Ada barang saya di dalam. Biar saya ambil dulu?"
"Biar saya yang ambil," lelaki tua itu ikut masuk, Iara menunjuk dua tasnya yang berisi baju-baju. Saat mereka keluar dari pintu langkah Iara terhenti.
"Tapi saya belum bilang pada kakek baik yang udah ngasih saya tempat tinggal," ragu-ragu Iara berucap.
"Nona tenang saja, Ayah nona sudah mengatakannya dan bahkan memberi imbalan pada kakek tua yang memberi anda tumpangan."
Iara tampak terkejut, mereka melangkah sambil berbincang. "Apakah ayah saya orang kaya?"
Lelaki tua itu tak bisa menahan tawanya. "Tentu saja. Orang tua nona bahkan memiliki sekolah sendiri."
"Wah," Iara terpukai. "Apa menurut paman mereka akan suka dengan saya?" Iara menjadi sedih. "Mau bagaimana pun kami baru bertemu. Tidak mustahil jika mereka bisa saja tidak suka dengan saya," Iara merasa nyaman mengungkapkan segala yang ia pendam pada lelaki parubayah tersebut.
Dia tersenyum. "Nona tidak tau bahwa mereka berusaha sekeras mungkin demi menemukan nona."
Mata Iara berair. "Saya merasa senang karena mereka berusaha sekeras itu. Ah, bagaimana dengan saudari saya, paman?"
Senyum lelaki itu meluntur. Percakapan terhenti kala mereka sudah sampai di depan mobil.
Sejenak Iara merasa gugup yang bukan main.
Dia membukakan pintu dengan lebar untuk Iara. "Masuklah nona, kakak anda menunggu di dalam."
Iara menunduk cepat-cepat, sehingga rambutnya yang panjang dan lurus berjatuhan menutupi wajah Iara. Dengan gerakan tergesa ia masuk sampai kepalanya terantuk.
"Hati-hati, nona!"
Iara meringis. "M-maaf."
Rasanya sangat canggung ketika Iara sudah duduk dan lelaki tua itu melajukan mobilnya. Iara meremas kedua tangannya gugup, wajahnya serta merta masih menunduk dalam. Walaupun rambut menghalau pandangannya Iara tidak terganggu.
Iara tidak memiliki keberanian untuk sekedar mengintip seperti apa rupa saudarinya.
See you next part~♥️
ListaChoco^^
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twins Girl (End)
Teen Fiction#School Hanbashri Series 1 Kehidupan Khaira yang tenang dan damai kini berubah 180 derajat karena kehadiran Khiara, kembarannya yang sudah lama hilang. ... Ini karya terburukku:> dibuat sudah lama, dan aku terlalu malas merombak/mengubahnya sehingga...