"Kayaknya kamu ini bahagia banget ya bisa menghabiskan waktu seharian sama Iara, sedangkan aku harus sibuk di kantor," keluh Adi, iri melihat Ainun yang semakin dekat dengan Iara.
Ainun tertawa. "Iya, dong." Dia merangkul Iara dengan sayang. "Lagipula, kesempatan itu gak bisa aku buang gitu aja, mas. Oh iya, tadi kami belanja banyak mas. Apa gak ada masuk total uang yang udah kami habiskan?"
"Ada. 41jt."
"Uhuk-uhuk!" Iara tersedak mendengar nominal angka tersebut. "P-papa gak marah?"
Adi mengibaskan tangannya ke udara, menganggap kepanikan Iara adalah hal yang sia-sia. "Buat apa marah? Aira aja udah pernah ngabisin uang 100jt dalam sehari. Toh, Papa kerja memang buat bahagiakan istri dan anak-anak Papa. Kamu gak perlu merasa gak enak, uang Papa ini uang kamu juga, Ara." Adi sudah mengusulkan, panggilan sayangnya pada Iara menjadi Ara.
"Kamu kalah sama Aira. Mulai besok harus latihan belanja yang banyak, sayang," kata Ainun merangkul Iara yang berada di tengah mereka.
Mereka tertawa bersama, duduk di sofa sembari melihat tv yang menampilkan film komedi. Padahal Ainun sudah mematikan lampu supaya suasana lebih pas untuk mereka bertiga menonton. Tapi tampaknya mereka lebih fokus pada obrolan dibandingkan tv.
Jam sudah menunjukkan pukul 23:26, namun keluarga kecil itu belum tertidur sama sekali. Mereka benar-benar mengambil waktu yang ada untuk menghabiskan waktu bersama putri mereka yang baru ketemu setelah hilang selama 16 tahun.
Mereka sama sekali tidak menyadari sosok gadis di tangga yang menyaksikan keharmonisan tersebut dengan wajah datar. Tangannya memegang erat pegangan tangga, dia memejamkan mata guna menetralkan nafasnya yang memburu.
Gadis itu, Aira berbalik ke kamarnya. Dia yang tadinya terbangun karena haus malah menyaksikan hal yang paling dibencinya sekarang. Rasa hasunya hilang digantikan amarah.
Aira membaringkan lagi tubuhnya ke kasur, ia memejamkan dan tidur. Aira mengernyit dalam tidurnya, keningnya berkeringat dan bajunya terasa sangat basah. Dia terbangun dalam rasa gelisah.
Mata Aira membola melihat sekelilingnya, Aira berada di tengah lingkaran api. Kobaran api yang besar seakan ingin melahapnya.
"Aira!" Teriak Ainun.
Aira ingin memeluk Ainun dan menangis, namun api itu seakan menghalanginya. "Mama! Ma, tolong Aira, ma!"
"Ainun," Adi datang dan merangkul Ainun, dia melihat Aira dengan sorot dingin. "Ai, ayo kita tolong Iara."
Deg.
"Iya, Mas," Ainun mengangguk dan mereka menghilang dari pandangannya, dan tak berapa lama kemudian mereka kembali dengan Iara di sisinya. Tersenyum mengejek dan menunjuk-nunjuk Aira yang sendirian ... Menyedihkan.
Apa maksudnya semua ini? Aira akan berteriak, tapi dia tertegun begitu suaranya menghilang. Air matanya perlahan menetes, melihat mereka yang tertawa di depan tv, saling merangkul dan bahagia. Sementara Aira sendirian ... Menyedihkan.
Aira mencoba mengeluarkan suaranya, namun nihil tidak ada yang keluar. Dia akhirnya memukul-mukul dadanya dan berteriak dalam kebisuan.
"Mama!" Aira terlonjak, dia terbangun dari mimpi, matanya terbuka dan langsung melihat langit-langit kamarnya. Nafasnya memburu, dengan keringat sebesar jagung di kening.
Tangannya bergetar kala ia mengambil gelas berisi air di nakas dan meminumnya hingga tandas. Aira tertegun lama sambil melihat gelas itu. Tadi malam ... Gelas ini tidak ada. Siapa yang menaruhnya? Aira yakin sekali bahwa semalam dia tidak jadi mengambil air minum. Atau ... Yang dia lihat di ruang keluarga itu juga mimpi?
Aira merosot ke bawah tempat tidurnya, menyandar tanpa tenaga dengan nafas yang mulai stabil. Matanya melirik jam yang menunjukkan pukul 05.55.
Ah, rasanya sudah lama Aira tidak bermimpi tentang ini lagi walaupun dengan suasana yang lumayan berbeda tapi konteksnya sama.
Aira tertawa hambar, tangannya menyugar rambutnya yang basah oleh keringat ke belakang. Bergumam tidak jelas dan memejamkan mata dengan lelah.
Mimpi itu sangat menyeramkan bahkan jika menjadi nyata.
Setelah beberapa saat menenangkan diri, Aira memilih keluar dari kamarnya. Dia langsung menuju dapur dan tersenyum lebar begitu melihat Ainun sedang mengisi gelas dengan air.
"Pagi, sayang," kata Ainun begitu menyadari kehadiran Aira.
Aira bergerak memeluk Ainun, membuat wanita itu kaget namun tak berapa lama ia membalasnya dan terkekeh geli.
"Ada apa ini? Kok kamu jadi manja gini, hm?"
"Aku mimpi buruk, ma. Sangat buruk sampai aku gak mau mengingatnya."
Ainun diam, memberi ruang untuk Aira menarik nafas dan melanjutkan ucapannya.
"Di mimpi itu ... Mama dan Papa pergi ninggalin aku bersama Iara. Buruk sekali, 'kan?" Aira tertawa, seakan itu adalah hal yang sangat lucu. Padahal dia sendiri tau kalau semua itu adalah hal buruk dalam hidupnya jika terjadi. "Tapi aku tau. Kalau Mama dan Papa gak akan pernah ninggalin aku sendirian."
Ainun semakin erat memeluk Aira, bibirnya mengeluarkan nafas berat. Bagaimana cara Ainun menghilangkan segala ketakutan Aira?
"Sayang ... Hal itu gak akan pernah terjadi. Mimpi itu cuma bunga tidur yang harus kamu lupain saat bangun."
"Pagi-pagi udah pelukkan gak ngajak-ngajak Papa," Adi menggelengkan kepalanya beberapa kali, dia datang untuk minum. Adi masih memakai kaos putih tipis dan celana pendeknya.
Aira menatap Adi lama, membandingkan sorot mata Papanya dalam mimpi dan kenyataan. Sangat berbeda. Adi mungkin adalah lelaki yang tegas tapi ketika menatap anak dan istrinya sorot mata Adi sangat hangat dan bibirnya selalu mengulas senyum lebar. Yah, Ainun benar. Mimpi adalah hal yang harus ia lupakan saat bangun karena itu cuma bunga tidur.
Walaupun begitu, Aira tetap harus waspada. Karena ketakutannya bukan tanpa alasan.
See you next part~♥️
ListaChoco^^
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twins Girl (End)
Teen Fiction#School Hanbashri Series 1 Kehidupan Khaira yang tenang dan damai kini berubah 180 derajat karena kehadiran Khiara, kembarannya yang sudah lama hilang. ... Ini karya terburukku:> dibuat sudah lama, dan aku terlalu malas merombak/mengubahnya sehingga...