My twins girl (29)

153 3 0
                                    

Beberapa hari kemudian, Aira renungi semua hal. Adi menjemputnya bersama Ainun dan kali ini dia sama sekali tidak menolak. Seusai berpamitan dengan pelukan dramatis, Aira berada di mobil bersama Adi dan Ainun.

Canggung mereka rasakan. Mungkin karena Aira masih enggan bercakap dengan Ainun, hanya melihat jendela dan sekedar menjawab pertanyaan Adi.

"Pa," teringat sesuatu Aira menatap Adi yang dibalas satu alis terangkat disuruh melanjutkan. "Kemarin aku pake kartu Papa dan kayaknya habis lima puluh juta. Papa udah nerima pesannya belum sih?"

Adi tergelak. "Udah lah. Kemarin Papa mikir kalau saat sedih Aira pun tetap jadi Aira. Boros dan gak tanggung-tanggung kalau mau belanja."

"Nanti aku mau belanja lagi ya, pa. Kemarin ada Tante-tante jelek yang nabrak aku sampe baju baruku kena kopi dan gak hilang nodanya," Aira cemberut saat bercerita.

"Boleeh," Adi mengangguk santai. "Ajak Mama sama Iara sekalian."

Ainun menegang saat namanya disebut, melirik diam-diam bagaiman reaksi Aira. Putrinya itu tetap santai tapi tidak merespon.

"Aku lebih seneng sendiri deh belanjanya," kata Aira.

"Yaudah, terserah."

"Pa," Aira memanggil.

"Ya?" Sahut Adi.

"Kayaknya aku mau deh coba buat berbaikan sama Iara."

Adi tersenyum lega mendengarnya. "Kamu serius?"

"Iya."

...

Dia tadi berniat untuk turun dan makan karena melewatkan makan malam, tapi melihat cahaya dari celah pintu membuat Aira berniat mengintip sang empu kamar sedang apa.

"Ares lagi apa? Oh, aku tadi lagi belajar sih, hehe. Aku 'kan gak mau malu-maluin Papa sama Mama. Aku seneng punya keluarga jadi aku berusaha membuat mereka bangga! Kamu mau bantu? Emang gak nyusahin? Wa, makasih."

Melihat Iara Vidio call dengan Ares membuat darah Aira mendidih seketika. Ada perasaan cemburu yang menyusup. Dia saja tidak memiliki nomornya. Tapi Iara secepat kilat bisa punya dan langsung Vidio call.

Tiba-tiba dia teringat kata-kata panjang lebar Bima yang menasehatinya. Harusnya sekarang Aira merasa sadar. Tapi tidak lagi. Seperti masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Dia tidak peduli.

Perebut harus dilenyapkan. Titik!

"Terimakasih karena udah mau jadi temen aku, Ares. Kamu boleh minta ap—" ucapan Iara terhenti karena ponselnya dibanting begitu saja, tersentak begitu tahu pelakunya adalah Aira.

"Aira ... Kamu?"

"Lo!" Aira menunjuknya. "Lo itu memang dasar perebut! Orang kayak Lo pantes ada disini, Iara!"

"Kamu kenapa?" Iara menunduk melihat ponselnya sudah hancur. "Padahal aku gak rebut apa-apa."

"Masih berani jawab?!"

"Aira aku—"

"KENAPA LO GAK MATI AJA, HAH!"

Mata Iara berkaca-kaca mendengarnya. "Kamu gak berhak nyumpahi aku mati!"

Plak!

"Diam Lo, anjing!"

"Aira kamu kelewatan!" Iara berdiri, memberanikan diri menatap Aira tegas. "Aku diam bukan berarti—"

Plak!

"GUE BENCI LO!" Teriak Aira histeris.

"Aira!" Adi dan Ainun masuk dengan wajah terkejut, Ainun langsung memeluk Iara yang terisak. Adi pun tak kalah terkejutnya, melihat ponsel hancur di lantai.

"Kalian ini kenapa?!" Tanya Adi geram.

"Pa! Aku gak bisa hidup bareng dia!" Dengan wajah merahnya Aira menunjuk Iara yang dipeluk Ainun, ada rasa marah saat Iara dengan cepat merebut kasih sayang sang ibu.

Adi sekarang pun menyadari, jika mereka tidak bisa akur dan ucapan Aira di mobil hanya sekedar omongan belaka saja. Jika mereka tidak segera dipisahkan, hal ini tentu akan sering terjadi dan bisa merusak mental keduanya.

"Aira jelaskan sama Papa kenapa kamu benci sekali dengan Ara?" Tanya Adi lembut.

Aira hampir menangis dibuatnya. "Dia perebut Papa! Semua orang yang aku sayang dia rebut! Gak di mimpi gak di kehidupan nyata semua dia ribut! Aku benci dia! Bener-bener benci! Aku gak suka dia disini ... Tolong usir dia aja," lirih Aira di akhir kalimat.

Ainun tentu tidak terima. "Kamu gak berubah! Mama kira kamu akan jadi lebih baik! Gimana bisa Mama usir anak Mama sendiri, hah?! Atau kamu saja yang angkat kaki dari sini!"

"Mama lebih pilih perebut ini dari aku?!"

"ENGGAK!" Jerit Iara.

"Aku bukan perebut," Iara menggeleng pelan, dia bukan perebut, tentu saja. "Kamu selalu aja nuduh aku. Bukan kamu aja yang capek. Aku juga capek! Tiap hari kamu marah ke aku! Bilang aku perebut! Suruh aku mati! Kamu tampar aku berkali-kali! Aku punya perasaan! Aku pikir setelah aku ke mari hidupku akan dipenuhi kebahagiaan ternyata apa?! Aku makin sedih! Makin tertekan! Semua karena kamu," Iara mengeluarkan segala perasaan yang dia pendam selama ini. Digenggamnya sepucuk rambutnya. "Kamu gunting rambut aku dengan alasan biar kita bisa dibedakan! Tapi alasan yang sebenarnya kamu gak mau kita sama! Aku capek sama kamu! Capek!" Iara meluruh ke lantai dan menangis dengan suara lebih keras.

Adi dan Ainun ikut merasa sedih, keduanya menenangkan Iara yang terus menangis. Tidak merasa jika Iara merasa tertekan selama ini. Terutama Adi yang berpikir semuanya baik-baik saja.

"Salahku apa selama ini?" Tanya Iara. "SALAHKU APA?!" Tanyanya sekali lagi saat tidak ada yang menjawab.

"Gak ada sayang," Ainun mencium pucuk kepala Iara. "Kamu gak salah, Mama aja yang keliru berharap Aira bakal sayang ke kamu sebagaimana Mama sayang ke kamu. Maafkan Mama yang udah buat kamu menderita."

"Aira kamu minta maaf!"

"Pa?" Aira tidak percaya. "Papa bela dia?!"

"Aira!"

"Kenapa papa bela dia?!"

"Aira minta maaf!"

"AKU GAK MAU PINTA MAAF SAMA PEREK INI!"

"AIRA!"

PLAK!

Hening sejenak.

Aira bahkan tidak mengerti kapan telapak tangan Adi mendarat di pipinya hingga dia tertoleh hampir terjatuh karena kerasnya tamparan itu. Rasanya sakit. Perih juga. Tapi hati Aira berkali-kali lebih sakit. Matanya memanas dan siap terjatuh, hidungnya juga ikut perih.

Ketika Aira menatap Adi dengan tatapan terluka Adi sadar dia kelewatan.

"Sayang ...," Adi hendak meraih Aira ke dalam pelukannya tapi Aira menghindar.

"Jangan sentuh aku!"

"Aira!" Adi mengejar Aira yang berlari pergi.

Note : 2 Bab lagi dan Tamat:}

See you next part~♥️
ListaChoco^^

My Twins Girl (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang