bagian 10

166 30 3
                                    

Langkah demi langkah Raya ambil. Sambil memegang sebuah figure foto sang ayah. Matanya memandang keranda di depannya. Dua tahun silam, dua juga mengalami hal seperti ini. Mengantar jenazah sosok lelaki yang amat dicintainya.

Hari ini pun sama, dia kembali mengantarkan sosok laki-laki yang sangat dicinta, dan disayanginya. Laki-laki paling berharga di dalam hidupnya-ayahnya.

Air matanya seakan kering, hingga tak menetes lagi. Itu sama seperti air mata Nanda. Laki-laki itu ikut membantu Setiyo dan Angga untuk membawa jenazah sosok pria yang selalu memanggilnya 'si penyelamat tampan'.

Sekarang panggilan itu hanya kenangan. Kenangan yang direnggut paksa takdir dari dirinya.

Sampai prosesi pemakaman berakhir, Raya tidak menitikkan air matanya. Gadis itu tampak tegar di mata Nanda. Seperti Gani, Raya begitu pintar menyembunyikan kesedihannya.

"Ayah yang tenang di sana? Raya janji akan selalu mengirim doa untuk Ayah." Gadis itu mencium lama nisan sang ayah. Pandangannya beralih pada makam ibunya yang berada tepat di samping makan Gani.

"Assalamu'alaikum, bu. Bahagia di sana ya sama, ayah? Raya sayang, Ibu. Makasih karena telah memilih laki-laki baik seperti ayah sebagai suami Ibu," kata Raya seraya mengusap nisan sang Ibu.

Gani Ikrarna.

Niyash Aimara.

"Mempunyai orang tua seperti ayah dan ibu adalah nikmat terbesar yang Tuhan berikan untuk Raya. Raya sayang kalian berdua." Setelah mengatakan itu, Raya bangkit dari duduknya. Namun, langkahnya terhenti tepat pada satu makam. Makam yang ketika dua tahun silam selalu Raya kunjungi setiap hari Jumat.

"Terimakasih, Sa. Kamu juga bahagia ya di sana? Raya juga sayang banget sama Karsa."

Tetesan air dari langit perlahan mulai membasahi pemakaman. Raya terkekeh. Sepertinya Raya semakin membenci hujan. Namun, jika tidak ada hujan, pasti dia sudah terlihat seperti gadis cengeng sekarang.

Entahlah, Raya hanya kesal saja. Kenapa juga Tuhan menakdirkan hujan sebagai kenangan terakhir yang dia miliki bersama orang-orang berharga di dalam hidupnya.

Raya merasa bahwa hujan seperti mengejeknya.

____

"Ayah sayang banget sama Raya."

Mata Raya spontan terbuka. Tangisnya pecah begitu saja. Bohong kalau dia berkata bahwa dirinya baik-baik saja ditinggal pergi oleh sang Ayah. Bohong. Itu semua bohong. Kenyataannya, Raya sekarang jauh dari kata baik.

"Selamat ulang tahun yang ke sepuluh."

Atensinya beralih pada boneka yang berada di atas nakas. Boneka beruang yang Ayahnya rajutkan sendiri untuknya. Raya ingat momen itu. Waktu itu tangan Ayahnya ditempeli begitu banyak plester sebab tertusuk jarum.

Tapi bukankah luka yang Raya alami ini lebih sakit daripada tusukan jarum?

"Hahahaha!"

Raya menatap sekeliling kamarnya. Banyak kenangannya bersama sang ayah di dalam sini. Bagi Raya, ayahnya adalah ayah termanis sedunia. Sebab, ketika dirinya sedih, ayahnya itu selalu menghiburnya dengan cara apapun.

"Wah gambar Raya bagus banget!"

Raya mengambil bingkai foto yang berisi gambar pertamanya. Gambar itu berisikan sang ayah dan dirinya. Raya akui, gambar ini terlihat buruk, tapi gambar inilah yang menyimpan kenangan paling banyak untuknya dan juga sang ayah.

Kaki Raya perlahan melangkah keluar dari dalam kamar. Rasanya seperti mimpi bahwa ayahnya sudah tidak lagi bersamanya.

"Liat ayah bawa apa buat Raya?" Gani memberikan sebuah tote bag besar pada Raya kecil.

Hujan di Tanah Jogja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang