bagian 8

172 32 0
                                    

Tenggelam dalam kesedihan, nestapa yang tak kunjung surut dari sang kalbu, membuat Raya tidak bisa tidur malam ini. Perhatiannya terkunci pada sang ayah, hatinya risau tiap kali melihat ayahnya memejamkan mata. Dia takut jika ayahnya itu malah tidur untuk selamanya.

Raya ingin menangis rasanya, tapi perkataan Aksa sore tadi, membuatnya urung untuk meneteskan air mata.

"Jangan biarkan ayahmu tau bahwa kamu sudah tau tentang penyakitnya. Jangan menangis di depannya, bertindak lah seperti tidak tau apa-apa. Dan yang perlu kamu lakukan sekarang ini adalah membalas kebaikannya. Bahagiakan dia di sisa waktu terakhirnya."

Benar kata Aksa, harusnya dia bersikap seperti itu. Yang perlu dilakukannya sekarang adalah membahagiakan ayahnya. Apapun jalan takdirnya nanti, Raya akan berusaha menerimanya dengan lapang dada.

"Cepat sembuh pahlawan Raya," gumamnya sambil mencium punggung tangan Gani. Semoga saja. Semoga saja ucapannya itu dikabulkan oleh Sang Maha Kuasa.

Hari begitu cepat berganti. Raya dikejutkan dengan permintaan Gani yang tiba-tiba saja ingin pulang ke Bandung. Tari bahkan sudah mengeluarkan pidatonya, tapi Gani tetap kepala batu. Pria paruh baya itu tetap teguh dengan keputusannya untuk pulang ke tanah kelahiran.

"Ga bisa, mbak. Gani mau pulang ke Bandung sekarang. Gani rindu dengan Niyash, mbak."

Tari menatap ke arah suaminya. Setiyo hanya mengangguk dan tersenyum. "Tapi ... Mbak sama keluarga mbak, akan ikut juga ke Bandung. Kamu ga boleh nolak."

Gani sempat ingin menolak, tapi anggukkan Raya membuatnya urung. Ya sudahlah, yang terpenting dia dibolehkan untuk pulang ke rumahnya.

"Tapi anak-anak mbak gimana? Kan mereka belum libur sekolah." Perkataan Gani membuat Tari tersenyum. Senyuman menyeramkan di mata Gani.

"Kalo cuma libur seminggu ga akan buat anak mbak bodoh. Mereka pasti bisa ngejar pelajarannya," kata Tari langsung pergi meninggalkan ruangan Gani. Setiyo dan Raya berusaha menahan tawa, jarang-jarang melihat Gani dinasehati seperti ini, biasanya kan pria itu yang selalu bersikap sok tua.

Awalnya, Raya berpikir bahwa kepulangannya ke Bandung hanya bersama sanak keluarga. Tapi keputusan Gani yang tiba-tiba mengajak Nanda, membuatnya mengelus dada.

Padahal dia sudah memberi penjelasan, bahwa mungkin saja Nanda punya pekerjaan dan kuliah yang tidak bisa ditinggal, tapi ayahnya ini malah dengan enteng berkata, "Libur beberapa hari aja gapapa kali. Pasti Nanda juga butuh liburan."

Sudah gitu, Nanda malah setuju-setuju saja. Gimana ya, kan Raya sebenarnya malas kalau Nanda ikut. Raya cuma takut nanti laki-laki itu malah canggung saat berada di Bandung nanti, tapi di luar dugaan, Nanda lebih dari kata canggung.

"Kamu tau, Nan? Dulu tuh Raya suka banget manjat-manjat pager rumah gara-gara ga dibolehin keluar sama Om waktu dulu."

Nanda menatap ke arah pagar besi yang ditunjuk Gani. Sesekali laki-laki itu juga mencuri-curi pandang dari gadis yang sedang menyiram tanaman di depannya. Agaknya lucu juga jika melihat gadis jutek itu memanjat pagar.

"Ayah udah ih, jangan ceritain masa kecil Raya ke, kak Nanda," rengek Raya sambil mengarahkan selang airnya ke sembarang arah. Niatnya sih, ingin menyiram Nanda, tapi malah mengenai ayahnya itu

"Siniin selangnya," kata Gani dingin.

Mata Raya membulat. Gawat! Pasti sebentar lagi akan turun hujan di halaman rumahnya. Lebih baik dia segera mencari perlindungan sebelum selang air itu menembak ke arahnya.

Nanda sedikit keheranan melihat Raya yang tiba-tiba berada di belakangnya. Belum sempat bertanya, air dari selang yang dipegang Gani, muncrat begitu saja di depan wajahnya. Raya dan Gani tertawa lepas melihat kondisi Nanda yang basah kuyup.

Hujan di Tanah Jogja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang