bagian 2

396 41 3
                                    

"Mbak Raya, bangun!"

Raya mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia terkejut melihat wajah kedua adik sepupunya ada di depan matanya. "Astaga, kalian ngagetin mbak aja."

Kia dan Mala atau kedua adik sepupu Raya, tertawa melihat keterkejutannya. Menurut mereka, ekspresi mbaknya itu sangat lucu jika diabadikan lewat foto.

"Di suruh ibu ke bawah, mbak. Katanya sarapan bareng," jelas Kia sambil membuka gorden kamarnya.

Mendengar penuturan adik sepupunya, Raya hanya tersenyum. Gadis itu segera merapikan tempat tidurnya, membantu para adik sepupunya ini membereskan kamar.

"Mbak mandi dulu, ya? Kalian duluan aja. Nanti mbak nyusul," ujar Raya sambil memandang Kia dan Mala.

"Kita tunggu mbak Raya aja. Ya 'kan, Mala?"

Mala mengangguk, membenarkan perkataan sang kakak.

Melihat interaksi kedua adik sepupunya, Raya hanya terkekeh, lalu segera mengambil handuk, dan melenggang pergi ke kamar mandi. Usai membersihkan diri, Raya memilih untuk memakai setelan rok panjang, tak lupa dengan cardigan rajut pemberian Karsa. Cardigan merah kesayangannya.

"Mala, Kia. Ayo sarapan!"

Mala dan Kia menghentikan aktivitasnya. Mereka bergegas menghampiri Raya dan saling menggenggam tangan Raya. Raya tersenyum dan menggenggam balik tangan adik-adik sepupunya. Mereka pun segera turun ke bawah untuk sarapan.

"Datang juga kalian, ayok sarapan. Si Angga udah ga sabar tuh," ujar Tari sambil melirik ke arah anak laki-lakinya.

"Lah kok jadi Angga sih bu—"

"Mas Angga lebay, gitu aja diributin," balas Kia sambil melirik sinis kakak laki-laki nya.

"Masih pagi, ga baik ribut-ribut."

Angga dan Kia seketika diam mendengar perkataan sang ibu. Mereka kemudian langsung mengambil sarapannya masing-masing. Raya hanya tersenyum tipis melihat makanannya sudah di ambilkan oleh, Mala.

"Makasih, Mala."

Mala hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban.

Selama sarapan, hanya ada suara dentingan sendok dan garpu. Meski begitu, Angga dan Kia sesekali ribut, membuat sang ibu kerap kali menegur mereka. Berbeda sekali dengan Mala yang hanya diam dan duduk cantik sambil menyantap makanannya.

Usai makan, Raya membantu Tari membersihkan meja makan. Ia juga membantu tantenya itu untuk mencuci piring.

"Tan? Sekarang Angga, Kia, sama Mala kelas berapa?" tanya Raya.

Tari menatap keponakannya sekilas. "Kalo Angga sekarang kelas sebelas SMA, kalau Kia kelas tiga SMP, kalau Mala kelas enam SD," jelasnya sambil menaruh piring ke dalam rak.

Sedangkan Raya hanya tersenyum mendengar penjelasan sang Tante. Ternyata adik sepupu masih kecil-kecil sekali, berbeda dengannya yang sudah berusia sembilan belas tahun.

"Kalo kamu sekarang kuliah toh?"

Raya menggeleng gugup. "Raya ga kuliah Tan. Katanya ayah takut Raya kenapa-napa kalau Raya kuliah," jawab gadis itu seadanya.

Tari langsung berhenti dari kegiatannya. Dia menatap sendu wajah keponakannya. Ternyata, kepergian adik iparnya itu membuat sang adik sangat-sangat menjaga putrinya.

Sepertinya, Gani takut kalau terjadi apa-apa pada putri semata wayangnya itu. Namun, di sisi lain, dia merasa kasihan pada Raya. Pasti selama ini, gadis itu merasa begitu kesepian.

______

"Angga! Beliin sayuran di pasar!"

Sang empu yang dipanggil lantas langsung berlari menghampiri ibunya. "Ada upahnya ga, Bu?" Angga mengedipkan sebelah matanya. Tari menatap jengkel sang anak dan langsung menyentil telinga anaknya itu.

"Kalo bantu ibu itu yang iklhas. Nanti Allah ga rida terus kamu bisa masuk—"

"Angga cuma bercanda kok, Bu. Mana daftar belanjanya?" Angga memotong omongan ibunya. Dia bukan bermaksud tidak sopan, hanya saja ibunya ini sekali ceramah pasti sudah seperti pidatonya singa podium.

Tari geleng-geleng melihat tingkah putranya. Tidak sopan, seperti tak punya orang tua. Dia segera memberikan daftar belanjanya. Angga yang melihat daftar belanja sang ibu mendadak menjadi lemas seketika, panjang sekali, sudah seperti catatan sejarah .

"Ajak mbakmu ya? Sekalian ajak dia keliling-keliling Jogja," pinta Tari seraya menatap ke arah Raya.

Mata Angga langsung bersemangat mendengar bahwa kakak sepupunya itu akan ikut. Kan jarang-jarang dirinya memboncengi gadis cantik seperti mbaknya itu. "Ayok mbak!" Semangatnya sambil menarik tangan Raya.

"Mbak belum izin ke ayah."

"Sudah Tante izinin, kata ayahmu boleh kok."

Kedua sudut bibir Raya naik. Gadis kepang satu itu segera menghampiri adik sepupunya, dan mendudukkan diri dengan posisi miring pada jok motor. Merasa Raya sudah siap, Angga langsung menancapkan gas motornya dan melambaikan tangan kepada ibunya.

Selama perjalanan, Angga terus saja mengoceh tidak jelas. Remaja itu mulai menceritakan tentang Yogyakarta kepada Raya. Dia juga sesekali memberikan lelucon aneh yang kerap kali membuat Raya tertawa.

Sesampainya di pasar, Raya membantu Angga untuk membeli bahan makanan yang ada di daftar belanjaan tantenya. Raya sedikit heran dengan perilaku Angga yang sesekali menawar harga di pasar. Bukannya harga di pasar cukup murah? Mengapa harus ditawar lagi?

Hampir dua jam Raya dan Angga berada di pasar. Kini mereka tengah menenteng kantong belanjaan yang cukup banyak.

"Mbak Raya maaf ya. Mbak jadi harus bantuin Angga deh beli belanjaan ibu," kata Angga merasa bersalah.

"Gapapa. Mbak malah seneng bisa diajak belanja ke pasar kayak gini."

Angga mendadak sumringah. Dia langsung menaruh belanjaan ibunya di jok motor, dan mengajak Raya untuk pergi ke alun-alun kidul kota Jogja. Selain untuk mematuhi perintah sang ibu, ia juga mengajak Raya ke alun-alun sebagai permintaan maafnya kepada Raya.

Tiba di alun-alun, Angga mengajak Raya berkeliling sambil berjalan kaki. Dia menjelaskan apa pun yang ditanya oleh kakak sepupunya itu.

"Pokoknya ya mbak. Angga yakin mbak pasti suka kalau Angga ajak pergi ke jalan Malioboro. Di sana ramai banget! Penuh sejarah juga. Apalagi kalau mau jajan jajanan khas Jogja di sana tuh banyak banget mbak!"

Raya menjadi antusias mendengar penjelasan tentang Jl. Malioboro. Dia jadi mengingat perkataan Karsa bahwa suatu hari Karsa ingin membawa dirinya untuk berjalan-jalan di Jl. Malioboro.

"Ra, kalau kita ada kesempatan untuk pergi tour bersama ke Yogyakarta. Aku ingin ajak kamu untuk berjalan-jalan di jalan Malioboro."

Senyuman tipis Raya terbitkan mengingat wajah Karsa pada saat itu. Andai kata, perkataan Karsa bisa menjadi kenyataan. Pasti Raya adalah gadis paling bahagia di dunia.

"Mbak duduk di sini sebentar, ya? Angga mau beli es sama cemilan dulu."

Raya mengangguk, "Hati-hati!" Angga mengacungkan jempolnya kepada Raya. Sedangkan Raya hanya terkekeh lalu kembali melihat sekitar. Suasananya ramai, tapi menyejukkan hati Raya.

Sedetik kemudian, Raya merasa kepalanya terkena tetesan air. Gadis itu perlahan mendongak. Ternyata, tetesan air dari langit mulai turun membasahi alun-alun. Raya tak bergeming dari tempatnya, dia malah membayangkan pertemuan pertamanya dengan Karsa. Iya, pertemuan romantis di bawah hujan.

Raya memejamkan kelopak matanya. Pada saat itu, tepatnya di akhir tahun, di bawah naungan hujan, Karsa mendatanginya sambil berkata—

"Pakailah ini, nanti kamu bisa sakit."

Mata Raya terbuka. Kata-kata ini, kata-kata yang waktu itu Karsa katakan padanya di pertemuan pertama mereka. Raya mendongak, menatap laki-laki yang memberikan payung hitam kepada dirinya.

"Karsa?"

Hujan di Tanah Jogja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang