Nestapa membelenggu kalbu Raya ketika memandang sendu sebuah bangunan dua lantai di depannya. Jari-jemarinya membuka gembok besi yang selama ini terkunci. Di bukanya gerbang rumah, seolah mendapati bahwa sang pemberi ada di sini.
"Ayah," gumamnya.
Kakinya melangkah dengan perlahan, mengamati setiap inci struktur bangunan tempat tinggal barunya. Sebutlah ini sebagai rumah pemberian untuk Raya dari sang ayah.
Rumah ini begitu mirip dengan rumahnya di Bandung. Yang membedakan hanya halaman luas dengan ayunan kayu di teras depan. Raya tersenyum kecil, ternyata ayahnya masih mengingat permintaannya waktu kecil.
"Ayah! Raya mau punya rumah yang halamannya besar!"
"Kenapa emangnya?"
"Supaya Raya bisa main kejar-kejaran sama Ayah!"
Raya tertawa hambar mengingat itu. Bahkan jika halaman rumahnya menjadi lebih luas, dia tak akan bisa bermain kejar-kejaran bersama ayahnya lagi. Karena sekarang, ayahnya itu hanya kenangan seperti Karsa di dalam hatinya.
"Om sama Tante mau kan tinggal di sini? Temenin Raya?" Tanyanya seraya menatap penuh harap pada Setiyo dan Tari.
Setiyo dan Tari saling menatap, tak lama kemudian, kedua pasangan paruh baya itu tersenyum sembari memeluk Raya. Tari mengeratkan pelukannya pada Raya. Dia sudah berjanji pada adiknya untuk menemani keponakannya ini dalam kondisi apapun.
"Tante mau kok tinggal bareng sama kamu, Ya."
Raya langsung sumringah dan mengajak para adik sepupunya untuk masuk ke dalam rumah barunya. Tidak, sekarang rumah ini bukan hanya miliknya, tetapi miliknya dan juga keluarga barunya.
Setiyo dan Tari saling merangkul melihat pemandangan hangat di depannya. Mereka menatap satu sama lain.
"Anak kita nambah satu mas," ujar Tari diangguki Setiyo.
"Semoga mereka bahagia terus ya, de." Setiyo mengecup puncak kepala istrinya. Keduanya ikut menyusul anak-anak mereka yang sudah masuk lebih dulu ke dalam rumah barunya.
Satu pekan dijalani begitu indah oleh Raya sekeluarga. Canda tawa tak pernah sekalipun menghilang dari indra pendengaran. Semuanya terlihat begitu bahagia, seolah kesedihan tidak pernah menghantam mereka.
Namun itu tidak berlaku untuk Raya, gadis itu masih merasakan sesuatu yang mengganjal dari hatinya. Cinta pertamanya-Karsa, datang begitu saja ke dalam mimpi tanpa diundang.
Cukup. Kalau begini caranya, Raya tidak akan bisa membuka hati untuk Nanda. Hatinya malah akan semakin tertutup, karena perasaannya kepada Karsa semakin kuat. Baik rasa cinta, maupun rasa bersalah.
"Semua sudah ada yang mengatur. Jikalau memang takdir, kita pasti bertemu kembali, Ra. Aku berjanji akan berjuang untuk kesembuhanku agar kita bertemu kembali, Ra."
Tangis Raya runtuh. Mengapa di saat dia baru saja bisa merelakan kepergian ayah, bayang-bayang tentang Karsa, kembali terputar di dalam benaknya.
"Kamu bohong, Sa. Kamu ingkar janji. Kamu ingkar janji untuk bertemu lagi sama aku, Sa."
Kedua telapak tangan Raya menjadi tumpuan untuk menumpahkan bendungan air dari pelupuk matanya. "Kenapa di saat aku mau buka hati untuk orang lain. Kamu malah hadir kembali di hidup aku dalam bentuk mimpi, Sa? Kenapa?!"
"Aku selalu ada bersamamu, Ra."
Raya melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah pintu kamar. Bertepatan dengan itu, sosok laki-laki berkemeja coklat, membuka pintu kamar Raya. Tangannya dengan sigap menangkap bantal yang dilempar ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Tanah Jogja [END]
Fiksi RemajaIni tentang Raya yang belum lama ditinggal pergi oleh kekasih hatinya. Namun, takdir begitu cepat memindahtangankan pilihan kepadanya. Dia dipaksa memilih. Memilih Aksa-laki-laki yang mirip dengan masalalunya, atau Nanda-laki-laki yang telah menjad...