bagian 7

189 35 1
                                    

Sambil memegang payung di bawah sinar mentari, manik hitam Raya menulusuri sekitar alun-alun kidul kota Jogja. Matanya mencari sosok laki-laki yang tak dijumpainya selama satu pekan ini. Di mana Aksa?

Pandangan Raya terkunci pada sosok laki-laki berkemeja putih yang tengah membagikan balon kepada anak-anak. Itu Aksa.

Raya melangkah ke arah Aksa. Gadis berkepang dua itu mulai menutup payung hitamnya. Beriringan dengan langkah kakinya, tangan Raya melambai-lambai ke arah Aksa.

"Aksa!" sapanya.

Mata Aksa menyipit, ia menatap bingung gadis cantik yang melambaikan tangan ke arahnya. Sadar bahwa gadis itu adalah Raya, Aksa melepaskan balon yang ada di genggaman tangannya. Laki-laki itu berlari menghampiri Raya. "Raya!"

Raya melambai-lambaikan tangannya. Wajahnya langsung sumringah melihat laki-laki yang berlari ke arahnya.

"Kita bertemu lagi nona cantik," ujar Aksa sambil mengulurkan tangan.

Mata Raya menatap lekat telapak tangan laki-laki di depannya. Senyumnya terbit. Gadis itu dengan senang hati memberikan payung hitam yang ada pada genggaman.

Tangan Aksa langsung membuka kembali payung itu untuk memayunginya dengan gadis di sampingnya. Seperti biasa, Aksa memulai obrolannya dengan basa-basi pasaran, membuat Raya sedikit bosan mendengarnya.

"Jadi, selama ini kamu sibuk kerja atau kuliah?" tanya Raya seraya menatap manik coklat Aksa.

"Keduanya. Saya sibuk kerja dan kuliah. Baru hari ini saya kembali mencari gadis cantik di alun-alun kota." Jawaban Aksa membuat Raya memalingkan muka. Gadis itu berusaha menahan tawanya.

"Bukannya kamu bilang sudah bertemu dengan gadis cantik itu? Kenapa masih mencari?" Raya mengalihkan pandangannya pada langit.

Aksa ikut mengalihkan pandangannya ke arah langit. Laki-laki itu terkekeh lalu kembali memandang Raya. "Gadis cantik itu kamu, Raya. Makanya saya mencari kamu yang tidak kunjung terlihat di alun-alun kota selama satu pekan ini," jelasnya.

Raya tertawa. Gadis itu menganggap bahwa perkataan laki-laki di sampingnya hanya bercandaan belaka.

"Bercanda kamu lucu juga."

Tangan Aksa mengambil daun kering yang ada di kepala Raya. Ia menutup payung dan memandang dalam Raya. "Muka saya kelihatan bercanda, ya?"

Raya terdiam. Gadis itu menatap lekat wajah laki-laki di depannya. Satu detik. Dua detik. Di detik ke tiga, tawa Raya lepas. Di mata Raya, wajah Aksa hanya seperti laki-laki yang sok menampilkan tampang seriusnya.

"Ada yang salah dengan wajah saya?" Aksa mengaca pada layar ponsel untuk melihat kondisi wajahnya. Tidak ada yang aneh, masih tampan seperti biasa.

"Wajah kamu ga salah. Cuma tingkah kamu lucu. Kamu mirip seseorang, Aksa. Seseorang yang sangat berarti buat aku," jawab Raya membuat Aksa langsung menyungging senyum.

"Orang itu pasti cinta pertamamu, kan?"

Raya mengangguk sambil tersenyum kecut. Setetes air matanya tak sengaja terjatuh. Sungguh, sepertinya Raya sekarang sedang terbawa suasana, tapi harusnya tidak seperti ini. Aksa memberikan sapu tangannya, membuat Raya terkekeh dan malu sendiri.

"Maaf, ga seharusnya aku terbawa suasana," ujarnya membuat Aksa semakin menatap iba dirinya.

"Hari ini langitnya cerah ya?" tanya Aksa.

Atensi Raya beralih pada langit. Memang benar sih hari ini langitnya cerah dan warnanya sangat biru. Sepertinya Raya tahu lanjutan kata yang akan diucapkan oleh Aksa.

"Sebiru cintaku padanya."

Ah, tapi tidak mungkin. Perkataan itu kan hanya Karsa dan dirinya yang tahu. Tidak mungkin laki-laki di sampingnya ini tahu kalimat yang sering Karsa ucapkan ketika dia sedang merasa sedih.

"Sebiru cintaku padanya," kata Aksa sambil menoleh pada Raya.

Raya membeku. Tidak mungkin Aksa juga tahu kalimat itu. Aksa itu bukan Karsa, rasanya mustahil jika Aksa mengetahui kalimat yang Karsa buat sendiri.

"Kenapa kamu bisa begitu mirip dengan dia Aksa?"

Pertanyaan Raya membuat Aksa terdiam. Hati Aksa jadi sesak melihat air mata Raya mengalir begitu saja. Aksa tidak bisa menjawab pertanyaan Raya. Karena, itu bukanlah kewajibannya.

Keterdiaman Aksa membuat Raya berlari begitu saja. Dia sama sekali tak menghiraukan panggilan Aksa. Sungguh, jika begini terus Raya tidak akan bisa mengikhlaskan kepergian Karsa.

"Kenapa sih? Aksa harus mirip banget sama Karsa!" monolognya.

Drrtr.... Drrttt ...

Atensi Raya beralih pada ponselnya. Jantungnya berpacu lebih cepat membaca pesan yang dikirimkan oleh adik sepupunya.

______

Raya berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Mencari di mana ruang rawat sang ayah berada. Sekarang Raya panik tak kepalang. Mulutnya hanya terus merapalkan doa agar kondisi ayahnya baik-baik saja.

"Ayah!" panggilnya langsung memeluk Gani yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Gani terkejut. Pria paruh baya itu tersenyum dan mengusap lembut surai putrinya. "Loh kamu ga jadi makan anginnya?"

"Emangnya makan angin lebih penting daripada kesehatan ayah?" Mata Raya berair membuat Gani langsung mengusapnya.

"Cengeng banget sih putri Ayah." Gani mencubit pipi Raya.

Raya melepaskan tangan Gani dari pipinya. Gadis itu membaringkan kepala ayahnya dengan benar, menyelimutinya, dan mengecek suhu tubuhnya.

"Panas, yah." Matanya menatap wajah pucat Gani. "Ayah sakit apa?"

Gani hanya diam, enggan memberi jawaban kepada putrinya. Sebenarnya Gani takut. Takut kalau putrinya tidak bisa tidur nyenyak memikirkan penyakitnya. Lagipula di usianya yang sekarang, memang rentan terkena penyakit kan?

"Yaudah, gapapa kalo Ayah emang ga mau jawab pertanyaan Raya. Tapi yang penting Ayah istirahat, ya? Janji untuk sembuh ya, Yah?" Raya tersenyum membuat hati Gani menghangat. Gani mendekap dan mengusap lembut kepala putrinya.

"Putri Ayah udah besar, ya?" Raya menatap wajah sang Ayah.

"Iyalah. Masa Raya mau jadi anak kecil terus," balas Raya memeluk erat sang Ayah.

Gani terus memeluk putrinya sampai dirinya tertidur. Raya yang menyadari bahwa sang Ayah sudah masuk ke alam mimpi, mencoba untuk melepaskan pelukan Ayahnya secara perlahan.

Namun, pandangan Raya terkunci pada amplop putih di balik selimut sang Ayah. Karena penasaran, Raya segera mengambil amplop putih yang ada pada balik selimut.

Mata Raya membulat seketika. Ini adalah surat keterangan rumah sakit tentang penyakit yang diderita Ayahnya. Raya segera membuka lipatan kertas itu dan membacanya.

Setetes air mata Raya terjatuh membaca kalimat bahwa Ayahnya divonis menderita kanker paru stadium akhir.

Tidak mungkin. Ayahnya tidak mungkin menderita penyakit mematikan seperti yang Karsa alami. Melihat pergerakan Gani, Raya buru-buru merapikan surat itu dan meletakkannya kembali ke tempat semula.

Gadis itu langsung bergegas keluar, tak ingin sang ayah mendengar isak tangisnya. Raya berlari cukup jauh dari ruang inap Gani. Dia menyenderkan kepala pada dinding koridor rumah sakit.

Suara isak tangisnya terdengar nyaring di penjuru koridor. Air matanya berjatuhan tanpa di minta. Kilas balik kepergian Karsa terputar begitu saja di benaknya.

"Tuhan," panggilnya.

"Raya mohon, jangan ambil ayah. Cukup Karsa sama Ibu aja yang pergi. Jangan ayah, Tuhan. Cuma Ayah yang Raya punya," lirihnya.

Isak tangisnya semakin pilu. Rasa sesak menjerumus masuk ke dalam dadanya. Raya sungguh tidak mau kehilangan siapapun lagi di dalam hidupnya. Cukup. Raya lelah dipaksa untuk iklhas dengan takdir.

"Raya?"

Tangis Raya terhenti, matanya memandang mata laki-laki yang dijumpainya siang ini. "Aksa?"

Hujan di Tanah Jogja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang