bagian 11

163 33 13
                                    

Setelah tujuh hari kepergian Gani, Raya memutuskan untuk tinggal bersama Tari di Jogja. Raya juga memutuskan untuk menjual rumah yang telah menjadi saksi atas kebersamaannya dengan sang ayah.

"Kamu benar mau jual rumah ini, Ya?" Tari memegang pundak Raya.

"Kan tante bilang, ayah udah beli rumah untuk Raya di Jogja. Jadi buat apa Raya punya rumah di Bandung. Lagipula kalau rumah ini dijual, ayah ga akan pergi kok. Kan ayah selalu ada di hati Raya," kata Raya sambil memasang palang 'rumah ini dijual' di depan pagar rumahnya.

Tari memeluk erat keponakannya. "Yo wes kalau itu maunya kamu, Ya. Tante akan dukung apapun yang kamu lakukan."

Raya membalas pelukan Tari. "Makasih, tan."

"Bu! Kia sama Mala sama mas Angga mau pulang duluan bareng mbak Raya," ujar Kia sambil memegang tangan sang ibu. Tari menatap ke arah Setiyo sejenak, suaminya itu mengangguk.

"Ya sudah kalau kamu maunya gitu. Tapi ingat toh, jangan nyusahin mbak Raya dan mas Nanda?" Peringat Tari membuat Kia langsung memeluk tubuh Raya.

"Siap ibu!"

Raya tertawa dan mengusap lembut kepala adik sepupunya itu. Meski Ayahnya sudah pergi ke pangkuan Tuhan, Raya masih bersyukur karena masih memiliki keluarga yang peduli padanya.

Matanya kembali memandang rumah sederhana yang pernah menjadi tempat berteduhnya selama sembilan belas tahun. Rumah yang menjadi saksi atas moment bahagianya bersama sang ayah dan juga Karsa. Rasanya baru kemarin Raya menghabiskan waktu bersama Gani di rumah ini, tapi sekarang diia harus meninggalkannya untuk selamanya.

"Makasih untuk semuanya. Raya sayang ayah, ibu, dan Karsa."

Mulai hari ini, Raya harus memulai lembaran baru dalam hidupnya. Lembaran cerita yang tak lagi berisikan sang ayah maupun cinta pertamanya. Lembaran cerita yang harus ditulis ulang agar menghasilkan akhir yang bahagia, bukan kematian seperti sediakala.

"Mbak duduk di belakang ya bareng-"

Angga membekap mulut Mala. Adiknya yang satu ini tidak bisa mengerti situasi. Kia yang melihat Mala diperlakukan seperti itu menghempas kasar tangan kakaknya.

"Mas Angga jahat ih sama Mala!"

"Habisnya tuh adik kesayangan kamu ga ngerti situasi. Malah nyuruh mbak Raya duduk di belakang," ujar Angga membela diri.

"Lah emangnya kenapa?" tanya Kia.

Angga menghela napas. Punya adik kok dua-duanya telmi sekali. Lemot, lelet, tidak bisa mengerti situasi. "Kalo mbak Raya duduk di belakang, nanti kasian mas Nandanya, Kia," bisiknya membuat Kia langsung paham.

Kia merangkul pundak Mala. "Kita duduk di belakang aja ya, dek? Soalnya mas Angga mau ajak nonton film di hape," bujuknya.

Raya mengernyit heran mendengar perdebatan sepupunya. "Kalo Mala mau duduk sama mbak gapapa, kok. Nanti Angga yang di depan."

Kia dan Angga menggeleng spontan, menatap adik bungsunya agar mengatakan tidak.

"Mala ..."

Mala menatap ke arah kedua kakaknya.

"Mala mau duduk sama mas Angga dan mbak Kia aja, mbak. Mbak di depan aja."

Angga dan Kia bernapas lega. Untung saja adik bungsunya itu tidak memaksa. Soalnya, semenjak mbak Raya tinggal bersama mereka, Mala sangat enggan dipisahkan dari Raya. Sedikit-sedikit pasti selalu menempel dengan mbaknya itu. Manja memang.

"Beneran gapapa?" Mala mengangguk.

Raya hanya tersenyum lalu segera masuk ke dalam mobil. Matanya memandang Nanda yang sedari tadi hanya celingak-celinguk tak jelas. "Ayok kak berangkat," ujarnya.

Hujan di Tanah Jogja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang