Dokter mengatakan, bahwa Aksa terjangkit demam berdarah. Mendengar hal itu, Raya sedikit bersyukur dan terus menjaga Aksa setiap saat.
Aksa yang diperlakukan layaknya seorang raja mendadak sedih. Tak seharusnya Raya begitu memperhatikannya. Aksa bukanlah Karsa maupun Nanda. Karsa yang rela berkorban demi Raya dan Nanda yang rela melepas gadis itu demi kebahagiaannya.
Aksa pengecut.
Dia tak pantas untuk bersama dengan Raya.
"Kata dokter, hari ini kamu udah boleh pulang, Sa."
Raya menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulut Aksa. Membantu laki-laki yang baru pulih dari sakitnya itu setelah satu Minggu lamanya.
Aksa menatap dalam gadis bersurai legam itu. Dengan baik hatinya, Raya terlihat tidak membencinya. Bukankah kebanyakan wanita akan langsung membenci ketika tahu fakta bahwa mereka telah diperdaya.
Tidak, Aksa tidak memperdaya Raya. Hanya sedikit mengulur waktu.
"Kamu ga benci sama saya?"
Pertanyaan itu berhasil dilontarkan oleh Aksa. Raya tersenyum simpul, mengelap halus wajah Aksa menggunakan handuk. "Ga ada alasan untuk aku membenci kamu, Sa."
Aksa termangu, sekian detik kemudian dia terkekeh, meneteskan air mata.
"Jangan pernah merasa terbebani dengan mata Karsa, Sa. Anggap itu hadiah dari Tuhan yang diberi lewat Karsa. Aku malah berterimakasih sekali sama kamu, karena kamu selalu ada di sisi Karsa di saat aku ga ada di samping dia," kata Raya menghapus bulir bening milik Aksa.
Tangis Aksa pecah di hadapan Raya. Segala hal yang disimpannya, telah keluar bersama tangisnya. Setelah hari itu, keduanya semakin dekat, semakin sering menghabiskan waktu bersama.
Raya kerap kali membantu Aksa berjualan di toko rotinya. Sedang Aksa dengan siaga, membantu persiapan Raya untuk kuliah di tahun ajaran baru nanti.
Musim penghujan telah berlalu. Langit biru akhirnya dapat menaungi kedua insan yang perlahan mulai merasakan benih cinta tumbuh di antara keduanya. Aksa sama sekali tak menyangkal, tapi Raya, gadis itu selalu menyangkal, dia beranggap, bahwa rasa itu hanya akan membuatnya sakit.
Setiap momen yang dilewati oleh Aksa dan Raya tentunya sangat berharga. Aksa selalu mengabadikannya lewat kamera kesayangannya. Sedang Raya, tak pernah lupa untuk menyimpannya dalam sebuah sketsa.
Menikmati semilir angin di bawah rindangnya pohon beringin kembar adalah hal favorit bagi mereka. Tak hanya itu, bersepeda berdua, naik andong, berjalan sore di sekitaran jalan Malioboro juga rutin dilakukan setiap Minggu selama dua bulan terakhir.
"Nona cantik, boleh saya bilang sesuatu?"
Raya yang masih memejamkan mata tiba-tiba saja tersenyum. Gadis itu beranjak dari tempat, menghampiri laki-laki yang masih terbaring di atas rerumputan hijau. Dia mengulurkan tangan.
"Kalau ngomong jangan setengah-setengah," balas Raya membuat Aksa tertawa.
Aksa berlutut di depan Raya, mengambil setangkai bunga dari kantong sakunya. Aksa mengulurkan setangkai mawar putih kepada Raya. "Saya suka sama nona cantik. Apa nona cantik mau menerima perasaan saya?"
Satu detik.
Dua detik.
Raya terdiam di tempat selama satu menit. Suara tawa lirih terdengar begitu saja pada gendang telinga Aksa. Mulut Raya kelu, gadis itu tak bisa berucap apa-apa. Tetes demi tetes air mata mulai membasahi pipinya.
"Maaf, Sa. Maaf, aku ga bisa ...." Raya berlari, meninggalkan Aksa dari tempatnya.
Sesak memenuhi relungnya, Raya bukan tak mau menerima perasaan Aksa, hanya saja, hatinya belum siap untuk menerima hati baru, dia takut apa yang dirasakan oleh Nanda kembali terulang pada Aksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Tanah Jogja [END]
Teen FictionIni tentang Raya yang belum lama ditinggal pergi oleh kekasih hatinya. Namun, takdir begitu cepat memindahtangankan pilihan kepadanya. Dia dipaksa memilih. Memilih Aksa-laki-laki yang mirip dengan masalalunya, atau Nanda-laki-laki yang telah menjad...