Sejak pertemuannya dengan Aksa di alun-alun kidul kota Jogja, Raya jadi semakin sering bertemu dengan Aksa. Mungkin saja itu cuma kebetulan, tapi entah kenapa rasanya malah seperti takdir yang sudah tertulis di jalan hidup mereka berdua.
Kini Raya menghabiskan waktunya untuk menggambar sketsa di halaman rumah seperti biasa. Dia kembali memandang arsiran wajah Karsa. Kepala batu sekali dia, masih tetap ingin menggambar wajah Karsa.
Atensinya beralih pada suara hujan yang membasahi pekarangan rumah. Dia perlahan melangkah mundur, berusaha menjauh dari jangkauan hujan. Raya terkekeh, menatap kosong tetesan langit itu. Dia tak sudi jika harus bersentuhan dengan hujan.
"Dulu aku selalu ingin berteman sama hujan, Sa. Tapi sekarang rasanya aku ingin menjauh dari hujan. Aku benci hujan, Sa," lirih Raya dengan mata berair.
Gadis itu bergegas masuk ke dalam rumah, membiarkan arsiran wajah laki-laki yang dicinta dibasahi oleh hujan.
"Ga adil, Sa! Masa cuma aku yang kangen dan nangisin kamu di sini. Kamu di sana malah enak-enakan berbaring di atas tanah."
Raya meraung tak jelas di dalam kamar. Dia mengayunkan kakinya kesal di atas kasur. Tari yang baru saja pulang, tanpa lama-lama langsung bergegas ke kamar atas. Matanya membulat melihat beberapa kertas berserakan begitu saja. Daripada itu, Tari lebih terkejut melihat keponakannya terisak begitu pilu.
"Loh kamu kenapa, Ya?" Tari menduduki dirinya tepat di sebelah Raya. Tangannya mengusap lembut surai hitam Raya.
Keterkejutan tercetak jelas di wajah Raya. Gadis itu menghapus kasar air matanya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. "Raya gapapa, Tan."
Tari tersenyum, kemudian menepuk pelan pahanya. Raya yang paham pun langsung membaringkan kepalanya di atas pangkuan tantenya.
"Kalau ndak mau cerita rapopo, Ya. Tante ga maksa," ujar Tari seraya menepuk pelan kepala Raya.
Raya kembali menangis kala menceritakan alasan bahwa Karsa lah alasan mengapa air matanya jatuh hari ini. Sebenarnya, Raya sendiri juga cape, menjadi gadis cengeng setiap kali mengingat Karsa.
"Kamu mirip sekali dengan ayahmu. Sekali mencintai seseorang, sangat sulit untuk melupakannya bahkan mungkin tidak ingin mencari pengganti."
Tangis Raya berhenti. Dia menatap Tari.
"Tapi kamu ini masih muda, Ya. Jangan terlalu terpaku pada cinta pertama. Ga selamanya cinta pertama itu yang akan menjadi takdir kamu."
Tari mengusap lembut kepala Raya.
"Tante ga mau kamu sama kayak ayahmu yang hidupnya langsung suram setelah kehilangan ibumu. Tante yakin, pasti orang yang kamu cinta itu ingin kamu melanjutkan hidupmu dengan penuh kebahagiaan," jelas Tari seraya menatap lembut wajah sembab keponakannya.
Raya termenung. Perkataan tantenya tidak ada yang salah, semuanya benar. Pasti Karsa juga ingin dirinya bahagia. Namun, kalau separuh kebahagiaan Raya terletak pada Karsa, dia harus bagaimana?
____
Terik sang surya membuat Raya segera membuka payungnya. Banyak pasang mata mengarah padanya, mungkin karena penampilannya yang begitu mencolok.
Ya Raya akui, penampilannya kali ini begitu berlebihan. Sudah tahu cuaca hari ini begitu panas, tapi dia malah memakai dress panjang dilengkapi dengan cardigan tebal dan sarung tangan.
Tadi ayahnya meramal bahwa hari ini akan turun hujan. Raya sih mana percaya sama ramalan cuaca, toh biasanya ramalannya suka salah. Buktinya hari ini, langitnya cerah-cerah saja.
Raya menghela napas gusar. Atensinya tiba-tiba saja beralih pada laki-laki dengan setelan formal serba hitam. Itu Aksa. Namun, raut wajah yang ditampilkan Aksa tampak berbeda. Laki-laki itu-terlihat begitu menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Tanah Jogja [END]
Fiksi RemajaIni tentang Raya yang belum lama ditinggal pergi oleh kekasih hatinya. Namun, takdir begitu cepat memindahtangankan pilihan kepadanya. Dia dipaksa memilih. Memilih Aksa-laki-laki yang mirip dengan masalalunya, atau Nanda-laki-laki yang telah menjad...