Mungkin, karena musim penghujan sudah tiba, setiap paginya akan selalu disambut oleh rintikan air dari langit itu. Tak masalah sih, hujan itu berkah, tapi kalau sampai membuat aktivitas terganggu malah repot jadinya.Seperti Aksa yang tidak dapat pergi ke toko rotinya pagi ini. Hujannya kelihatannya awet, bisa sampai siang mungkin. Sudah gitu, dia tak punya jadwal kuliah pada akhir pekan. Harinya jadi terasa membosankan.
Aksa membanting diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar yang dihiasi bintang-bintang. Dia menyungging senyum. Tak pernah disangka, bahwa Tuhan mengizinkannya untuk bisa melihat bintang-bintang indah itu. Aksa senang jadinya.
Aksa mengambil cermin kecil di atas nakas, mendekatkannya ke arah bola matanya. Warnanya sangat cantik, coklat terang seperti madu. Namun, ini bukan miliknya. Hanya titipan sementara dari Tuhan.
Dia beranjak dari kasur, mengambil sebuah kotak dari dalam lemari. Hatinya sesak melihat isi kotak itu. Kotak yang berisi kenangan bersama kawan lamanya di Singapura satu tahun lalu.
Brak!
"If you walk with your eyes!"
Pemuda berkemeja putih itu hanya dapat meminta maaf, tangannya meraba lantai, mencari di mana tongkatnya berada. Nihil, dia tak menemukan tongkatnya.
Tangannya berpegangan pada dinding rumah sakit. Jika tak ada tongkat bantunya, dia juga bingung harus berjalan ke arah mana.
"Ini punya, Lo?"
Aksa, pemuda tuna netra itu mencari di mana sosok pemilik suara. Namun, si pemilik suara sudah lebih dulu menggenggam tangannya, memberikan tongkat yang telah dicarinya.
"Makasih." Aksa membuka lipatan tongkatnya, mengarahkannya ke arah depan.
"Orang Indonesia?"
Satu pertanyaan itu berhasil menghentikan langkahnya. Aksa memutar balik badannya, menghampiri orang yang menolongnya tadi.
Aksa mengangguk, "Kenapa memang?"
Jika didengar dari suaranya, orang yang mengajaknya bicara adalah seorang laki-laki. Mungkin seumuran dengannya. Laki-laki itu terdiam cukup lama dan kembali bersuara.
"Karsa."
Pemuda bernama Karsa itu mengambil telapak tangan Aksa, mengajaknya untuk berjabat tangan. Aksa sedikit bingung, tapi tetap menjabat balik tangannya. Mungkin saja pemuda itu mengajaknya berkenalan.
"Rayaksa."
Karsa tak kembali bersuara, hanya menepuk pelan pundak Aksa dan berkata bahwa mereka akan bertemu kembali. Seumur-umur tinggal di Singapura, Aksa tidak pernah bertemu dengan orang yang terang-terangan mau berkenalan langsung dengannya.
Sampai tak pernah menyangka, bahwa takdir kembali mempertemukan keduanya. Namun, kali ini mereka berbincang cukup lama.
Karsa adalah pasien kanker paru-paru stadium 3. Kedatangannya di Singapura belum lama, dan ingin langsung melakukan operasi pengangkatan tumor. Namun, Karsa masih ingin mencoba lewat kemoterapi lebih dulu, jika memang tidak ada perubahan, baru dia akan menjalankan operasi.
Tapi, ada satu hal yang membuat Aksa penasaran. Kenapa Karsa begitu terobsesi untuk sembuh?
"Jawabannya simpel, Ray. Ada seseorang yang nunggu saya untuk pulang," jawab Karsa masih sibuk dengan kamera di tangannya.
"Pacar?" Karsa tertawa mendengarnya.
"Kita ga punya hubungan si, tapi saya sayang banget sama dia. Namanya Raya, dia cantik banget. Raya segalanya buat saya. Saya janji untuk kembali lagi dan menjalani hari yang lebih indah dari sebelumnya," jelas Karsa membuat Aksa tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Tanah Jogja [END]
Ficção AdolescenteIni tentang Raya yang belum lama ditinggal pergi oleh kekasih hatinya. Namun, takdir begitu cepat memindahtangankan pilihan kepadanya. Dia dipaksa memilih. Memilih Aksa-laki-laki yang mirip dengan masalalunya, atau Nanda-laki-laki yang telah menjad...